Betapa pun semarak dan menyenangkan hidup kita di luar sana, pada suatu waktu, terutama kala terbit perasaan lelah, sunyi, dan nglangut karena sadar bahwa semua akan berakhir saat napas terakhir usai. Tiba-tiba muncul rasa rindu pada “rumah”, tempat kita mengistirahatkan diri dari pergulatan kita di tengah pasang surut kehidupan. Lalu mungkin kita bertanya-tanya: walau orang punya keluarga dan rumah sendiri, tetapi mengapa banyak orang merasa kurang jika belum mudik ke rumah di kampung halaman pada hari raya Idul Fitri?
Setiap kali mendengar kata rumah, barangkali akan terbayang pada suasana yang dekat, nyaman. Setiap orang bisa pergi ke mana saja ia suka jika mampu, tapi bila ditanya “Di mana rumahmu?” maka yang terbayang pertama kali biasanya bukan bangunan, melainkan suasana yang mana kita merasa tenang seperti kala berada dalam dekapan kasih sayang hangat orang tua. Pada momen itulah sesungguhnya manusia sedang diingatkan bahwa sejauh-jauhnya kita pergi, suatu waktu harus pulang juga ke tempat kita seharusnya pulang—tempat seseorang berasal: kampung halaman.
Dan karena kesibukan, kebanyakan kita memanfaatkan momen Idul Fitri untuk mudik, menjumpai kembali asal kita beserta seluruh kenangannya.
Kata ‘id itu berasal dari akar kata yang sama dengan ‘awdah atau ‘aadah yang bermakna ‘kembali’ atau ‘terulang kembali’. Fitri, yang sering dimaknai kembali ke asal-diri yang bersih, fithrah, sesungguhnya juga berarti ‘berbuka puasa’ yang berakar dari kata ifthar.
Idul Fitri adalah perayaan (festival) manakala umat Islam merayakan “hari kemenangan” sehingga Kanjeng Nabi menyarankan agar kita berhias sewajarnya dan mengenakan pakaian yang bagus—yang diterjemahkan oleh orang sekarang sebagai baju baru. Tetapi, orang yang dekat dengan Tuhan juga memandangnya sebagai hari kesedihan. Sebab, Kanjeng Nabi mengatakan bahwa barang siapa yang mengetahui keutamaan bulan Ramadan niscaya akan sedih ketika ditinggalkan olehnya.
Lalu kalau kita bersedih, bagaimana kita merayakan kemenangan yang menggembirakan ini?
Masa lalu selalu punya elemen nostalgia. Kenangan keakraban masa silam, masa-masa ketika diri belum begitu banyak dijejali kepentingan nafsu dan keinginan; dan diam-diam kita ingin mengulanginya. Mudik dalam pengertian sesungguhnya seperti menziarahi kembali masa lalu yang masih murni, masa-masa ketika beban hidup begitu ringan dan penuh kegembiraan.
Barangkali melalui kenangan ini Tuhan mengingatkan kita pada hal-hal yang lebih mendalam ketimbang sekadar pulang ke kampung halaman. Yakni bahwa pada suatu saat kita mesti pulang ke kampung halaman abadi, tempat dulu kita pernah bergembira karena bercakap-cakap akrab dengan Tuhan, bersaksi dan mengakui diri sebagai hamba yang tiada arti dalam naungan kebesaran-Nya.
Karena itu, di setiap Idul Fitri kita dianjurkan ziarah kubur untuk mengingat kematian yang merupakan pintu untuk pulang ke kampung halaman abadi, sekaligus dianjurkan bertakbir dan memuji-Nya sepanjang malam hingga pagi menjelang salat Id.
Takbir bukan untuk menyatakan bahwa Allah lebih besar daripada sesuatu, sebab kebesaran-Nya tak dapat dibandingkan. Kalimah Allahuakbar adalah pintu kesadaran yang membawa kita ke dalam naungan kebesaran Tuhan. Setiap kita mengucap Allahuakbar, sesungguhnya kita harus menghilangkan setiap waham kebesaran diri; dan jika kebesaran dan keagungan-Nya mengejawantah, semua fana dan akan musnah dalam lautan kemahabesaran-Nya.
Pengulangan takbir adalah dalam rangka mendidik kita untuk menyadari hal ini. Dan setelah itu kita salat untuk menjumpai-Nya. Sebab, melalui salatlah kita mikraj, melakukan perjalanan naik untuk bercakap-cakap dengan Tuhan.
Kita mengulang-ulang puasa dan Idul Fitri setiap tahun, mengulang-ulang salat setiap hari, dengan harapan kita semakin mengenal arah kita pulang; mudik ke hakikat diri kita yang pada zaman azali pernah diajak berbicang dengan Tuhan dan kemudian ditanya: “Alastu bi rabbikum?” (Bukankah Aku Tuhan kalian?)
Maka, idealnya, semakin kita sering mengingat Tuhan dan kebesaran-Nya, kita akan semakin rindu untuk pulang; semakin senja usia, kerinduan untuk pulang semakin pekat. Sebab, kita semakin sadar akan segera meninggalkan dunia, dipanggil untuk menghadap-Nya.
Walhasil, Idul Fitri adalah momen kesedihan yang menggembirakan. Dengan disuruh berbuka, makan dan minum kembali, kita diingatkan lagi pada amanah kita sebagai manusia. Kita mensyukuri hidup karena membawa amanah dari Tuhan, bersyukur karena kita diajak ingat lagi kepada-Nya melalui “takbiran”. Namun juga sedih karena kita masih berjarak dengan-Nya lantaran kita sering gagal mengemban amanah sebagaimana mestinya; sekaligus sedih karena kerinduan untuk pulang ke hakikat diri kita, pulang menghadap Tuhan kita untuk berbincang dengannya. Karena kesedihan yang kedua ini, kita juga rindu untuk taubat, yang artinya juga “kembali”.
Hakikatnya, kembalinya (taubat) seorang hamba pada jalan Tuhan adalah perwujudan dari kerinduan Tuhan kepada hamba-Nya. Kanjeng Nabi pernah mengatakan yang kira-kira maknanya begini: bayangkan perasaan seorang ibu yang telah lama ditinggal anaknya yang disayangi, lalu anaknya pulang dan sungkem kepadanya. “Kebahagiaan” Tuhan atas kembalinya hamba melebihi kebahagiaan ibu itu.
Minimal setahun sekali secara kolektif kita seakan ditanya oleh Tuhan yang ingin kita kembali kepada-Nya: “Siapakah yang tak rindu untuk mendengar kembali suara-Ku?”
Allahu akbar, walillahil hamd.