MOJOK.CO – Saat bertugas jaga keliling kompleks tangki kilang minyak, Hadi mendengar suara anak kecil nangis dan, sialnya, ia harus mengalami kisah menyeramkan.
Ayah bekerja di kilang minyak kota kami dengan sistem sif. Suatu hari, giliran Ayah masuk malam tiba dan aku mengantarnya sampai ke pagar luar rumah pukul 11 malam.
“Hati-hati, Yah. Sekarang kan malam Jumat, nanti ada momo, loh…” ujarku, menakut-nakuti. Momo adalah setan—bahasa yang sering dipakai di keluarga kami.
Ayah cuma tertawa dan bilang bahwa dia akan pulang dengan membawa cerita mengerikan untukku. Kami pikir dialog itu cuma candaan semata, tapi siapa sangka malam itu Ayah benar-benar mengalami hal mengerikan di tempatnya bekerja.
“Semuanya dimulai gara-gara seorang kawan Ayah mendengar suara anak kecil nangis,” cerita Ayah ketika pagi harinya sudah pulang ke rumah. Aku mendengarkannya dengan saksama.
Nama kawan Ayah tadi adalah Hadi, usianya masih muda—sekitar 25 tahun. Di kilang minyak tempat mereka bekerja, setiap pukul 12 malam memang ada tugas piket berjaga keliling di antara banyaknya tangki yang ada. Saat itu, Hadi-lah yang bertugas.
Sebagai supervisor, ayah memantau di ruang panel. Hadi, ayah, dan seluruh kru yang berjaga malam itu memegang HT (Handy Talky) untuk saling memantau keadaan. Segalanya berjalan baik-baik saja sampai sesuatu yang aneh terjadi.
“Ada suara anak kecil nangis,” kata Hadi melalui HT-nya.
Ayah merespons, “Gimana, Di? Di mana?”
“Ada suara anak kecil nangis,” ulang Hadi, “di tangki….”
Suara Hadi menghilang, kian tak jelas. Ayah dan kru lainnya coba memanggil Hadi melalui HT, tapi tak ada jawaban. Selama beberapa menit, mereka benar-benar tak mendengar tanggapan apa pun dari Hadi.
“Tolong berpencar cari Hadi,” perintah Ayah pada HT-nya, diikuti dengan “siap” dari kru yang tersisa. Masing-masing dari mereka, tengah malam itu, lantas berkeliling kompleks kilang minyak demi menemukan Hadi yang mendadak tak bisa dihubungi.
“Nggak ada, Pak, sudah dicari di jalur tangki yang biasa tapi nggak ada Hadi,” lapor salah seorang kru pada Ayah.
Ayah jadi panik. Sebagai supervisor, tentu ia juga bertanggung jawab pada jalannya piket di sif malam saat itu. Ia berusaha memutar otak dan mengingat-ingat kata-kata terakhir Hadi.
“Ah!” seru Ayah tiba-tiba, “Ini agak impossible, tapi coba tolong dicari ke tangki 207.”
Hening sejenak dari HT, sampai salah seorang kru menjawab, “Maksud Bapak, tangki yang bekas kuburan itu?”
“Iya.”
Maka berangkatlah dua orang ke kawasan tangki kilang minyak nomor 207. Sebagai gambaran, kompleks tangki kilang minyak ini sangat luas. Satu tangkinya berukuran cukup besar dan masing-masing tangki dipisah oleh jalan panjang yang terdiri dari dinding beton serta parit.
Tangki nomor 207 adalah tangki di paling ujung dan hampir tidak pernah dilewati saat berjaga. Dulunya, ia adalah kuburan yang kemudian tanahnya dipakai untuk melengkapi kompleks tangki.
Tak berapa lama, Ayah mendengar suara dari HT, “Ketemu, Pak! Hadi di sini, sedang duduk dan bersikap agak aneh. Sebentar lagi kami ke sana.”
Tak berapa lama, Hadi dipapah kedua orang kru tadi ke ruang panel. Ayah dan beberapa orang di sekitarnya langsung mengerumuni ingin tahu.
Selepas minum air putih, Hadi baru bisa bercerita.
“Jadi tadi saya beneran dengar suara anak kecil nangis waktu lewat tangki nomor 206. Karena penasaran, saya cari sumber suaranya.”
“Dan kamu beneran nemu anaknya?”
“Iya, ada anak kecil jongkok sambil nangis di dekat dinding pertama pemisah tangki 206 dan 207. Saya tanya kenapa, dia masih nangis dan nunjuk-nunjuk ke arah tangki 207, minta diantar.”
“Dan kamu turuti?”
“Iya, saya gandeng anaknya dan kami pergi ke tangki 207.”
“Gila!”
Hadi berdeham, “Saya juga nggak tahu kenapa saya iyain aja, padahal saya udah merinding dan merasa ada yang nggak beres. Soalnya, jalan antara 206 dan 207 rasanya luruuuuus sekali. Tanpa ada dinding dan parit!”
Semua orang yang mendengarnya menarik napas. “Lalu, apa yang terjadi?” tanya Ayah.
“Anak kecil tadi tiba-tiba sudah bermuka rata, Pak. Saya kaget dan langsung lemas, mau bicara saja nggak kuat. HT saya nggak tahu di mana. Si anak ini tahu-tahu jalan ke depan dan berhenti di semacam kubangan air, lalu bermain di sana. Berkali-kali dia melambai ke saya, meminta saya mendekati dia.”
Kali ini semua orang diam, merinding membayangkan sosok anak kecil bermuka rata yang berjongkok dan main air.
Tiba-tiba, suara anak kecil nangis terdengar di HT. Hadi terkesiap dan pucat pasi. Semua orang terkejut bukan kepalang.
“Itu,” tutur Ayah saat becerita padaku, “mungkin berasal dari HT Hadi yang hilang entah ke mana.” (A/K)