MOJOK.CO – Suasana hutan Gunung Salak terasa sunyi dan asri, tapi siapa sangka ternyata malah menyimpan berbagai kejadian-kejadian aneh. Ini petualangan terbaru saya bersama Bambang.
Halo pembaca setia Mojok, kembali lagi dengan saya, Agnes. Kali ini saya ingin bercerita mengenai pengalaman mendaki Gunung Salak bersama Bambang. Ini Bambang yang sama dengan cerita saya sebelumnya saat mendaki Gunung Pulosari.
Cerita ini benar-benar masih hangat karena saya mendaki seminggu sebelum Ramadan. Waktu itu, tiba-tiba Bambang menelepon. Ia mengajak saya untuk mendaki Gunung Salak sebelum puasa. Kalau katanya sih silaturahmi. Saya sempat agak ragu karena cuaca yang tak menentu kala itu. Namun, Bambang bersikeras pergi.
“Udah, nggak usah banyak mikir, gimana lu mau nggak?” Tanya Bambang dengan nada memaksa. Saya menanyakan ke Bambang, mau ke Salak 1 atau Salak 2. Bambang memilih untuk mendaki ke Puncak Salak 2. Alasannya, Puncak Salak 1 merupakan jalur peziarah yang pastinya bakal terlalu padat menjelang puasa.
Gunung angker yang katanya pusat kerajaan jin
Malam sebelum mendaki, saya tercetus untuk mendaki Gunung Salak bersama Snowy. Snowy adalah anjing husky peliharaan saya yang berusia 2 tahun. Pikir saya, akan seru mendaki gunung bersama anabul seperti orang luar negeri yang solo traveling. Saat itu juga saya menelepon Bambang untuk menanyakan apakah bisa membawa anjing untuk hiking.
Bambang mengingatkan, jalur ke Salak 2 itu vegetasinya rapat dan trek yang mereka lalui akan menguras energi. “Kamu tahu lah, kadang hewan itu lebih sensitif, dan jalurnya ada manjat-manjat sedikit,” kata Bambang memberikan pertimbangan yang membuat saya membatalkan rencana membaca Snowy.
Bambang menyarankan saya untuk membawa logistik yang lebih banyak. Saya paham maksudnya. Dari riset saya tentang jalur pendakian di Salak 2, vegetasi hutan di gunung ini rapat, medan tanah yang miring dan juga beberapa hewan buas cukup menantang. Jadi perlu logistik yang cukup.
Kalau dengar cerita saat kecil, Gunung Salak itu katanya gunung angker yang merupakan tempat atau pusat kerajaan para jin dan makhluk halus. Konon katanya, Prabu Siliwangi menjadikan Gunung Salak sebagai tempat bertapanya. Mendengar cerita ini saja, saya sudah sangat bersemangat. Meski agak penakut, saya selalu penasaran kalau ada yang membahas tentang hal-hal sejarah dan mistisnya.
Perjalanan menuju Gunung Salak
Pada hari yang sudah kami tentukan, perjalanan ke Gunung Salak kami mulai. Rasa deg-degan sebelum mendaki itu terasa di dada. Perasaan yang mengingatkan pada omongan Simbah tentang saya yang katanya disukai makhluk halus.
Saat mulai berjalan, saya menyadari Bambang ternyata membawa begitu banyak kamera. Teringat tentang kelakuannya yang FOMO.
“Lu mau bikin konten lagi ya? Belum puas kemarin action camera lu ilang?” goda saya membahas tentang kameranya yang hilang.
“Iyalah, kan gue mau banget terkenal jadi traveler kayak orang-orang itu loh dan explore gunung-gunung di Indonesia. Kali ini gue well-prepared banget kok, jadi lihat aja nanti,” kata Bambang penuh percaya diri. Matanya penuh ambisi dan pastinya berpikir untuk cuan-cuan.
Saya menepuk pundaknya, mencoba untuk mengerti ke-FOMO-an nya itu. Entah ada apa, tiba-tiba saja dia nyeletuk sehabis dari Gunung Salak, pengen ngajak saya ke Gunung Slamet sehabis Lebaran.
“Gimana, asik kan? Nanti habis dari Salak, kita ke Slamet yak. Abis itu kita ke Arjuno sama Argopuro,” oceh Bambang dengan nada riang dan ceria.
Saya pun menolak ajakan tersebut karena mengingat suami saya sudah pasti ngomel kalau kebanyakan naik gunung.
“Duh, gue skip dulu ya naik gunung sama lu. Laki gue bisa-bisa ngamuk. Gue habis Lebaran ada rencana pergi ke Kalimantan bareng laki gue. Kayaknya gue mau explore cagar alam di sana. Bosen di Jawa mulu,” balas saya penuh candaan.
Mendengar kata explore Kalimantan, Bambang pun menyarankan saya untuk membuat konten juga seperti dirinya. Tapi sayang, mau dia mengoceh bagaimanapun saya tetap tidak begitu tertarik karena saya adalah definisi orang yang mageran dan males ribet. Menurut saya menulis lebih asyik daripada harus capek-capek mengedit dan merekam video.
Pendakian Gunung Salak via Curug Nangka
Setiap mendaki sama Bambang, saya tidak pernah menanyakan mau lewat jalur mana. Walaupun saya selalu riset terlebih dahulu sebelum pergi mendaki, tapi untuk masalah jalur pendakian biasanya saya tidak pernah ambil pusing. Saya serahkan sepenuhnya kepada Bambang.
Hitung-hitung dapat pengalaman seru juga. Saya ingat waktu mendaki Gunung Gede Pangrango, bisa-bisanya saya yang masih belum terbiasa saat itu malah mendaki lewat jalur Selabintana. Kalau kaki saya bisa menangis dan menjerit, mungkin udah kenceng banget suaranya.
Balik lagi ke cerita pendakian saya kali ini, kami tiba di basecamp kayaknya masih jam 7-an. Saya lupa jam berapa, tapi pastinya masih pagi. Sesampainya di area Curug Nangka, Bambang langsung meminta tolong akamsi di sana untuk parkir mobil.
Kalau dilihat-lihat agak sepi sih, tapi bukan yang nggak ada orang sama sekali. Ya mungkin juga karena pada saat itu cuaca juga lagi nggak menentu. Apalagi kalau kata Bambang buat sampai ke puncak Salak 2 itu cukup berat.
Seperti biasa, kami meminta izin terlebih dahulu untuk mendaki kepada petugas setempat. Setelah mengurus izin, petugas memastikan apakah betul hanya kami berdua saja. Bambang mengiyakan dengan mantap terlebih lagi dia juga emang anak gunung banget dan pernah naik Gunung Salak via Curug Nangka ini. Saya mempercayakan semuanya ke dia.
Kami memulai perjalanan ini dengan membaca bismillah.
Hawa mistis yang pekat
Setelah pulang dari liburan di rumah Simbah, indera saya terasa lebih tajam dari sebelumnya. Entah kenapa, baru saja saya mulai menjejakan kaki masuk hutan, hawa mistis di hutan Salak saat itu terasa begitu pekat. Padahal masih pagi dan matahari masih menyinari hutan. Ada perasaan ragu yang muncul saat itu.
Muncul perasaan, lanjut atau tidak. Hawa itu semakin pekat begitu saya sudah agak masuk ke dalam hutan. Langkah saya terhenti dan jantung berdegup kencang. Bambang saat itu menanyakan ada apa dengan saya.
“Pulang aja gak sih cuy? Gue kok ngerasa ini jalur nyeremin banget,” kata saya dengan nada ragu. Saya menarik lengan Bambang karena entah kenapa rasanya seperti banyak sekali yang memperhatikan kami.
“Masa iya pulang sih nes? Capek-capek kesini. Lu tuh kebiasaan deh, baru begini aja udah ciut,” ucap Bambang agak kesal. Ia meyakinkan saya untuk tetap melanjutkan pendakian. Mau tidak mau saya akhirnya melanjutkan perjalanan, walaupun pendakian kali ini saya merasa tidak nyaman.
Penampakan di hutan bambu
Setelah berjalan dengan santai, kami sudah harus menghadapi trek dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Lumayan banget buat melatih otot paha. Saya juga harus berusaha untuk memanjat sampai rasanya saya benar-benar lelah. Mungkin efek dari logistik yang saya bawa begitu banyak.
Untungnya saya tidak membawa Snowy kesini. Bisa-bisa pendakian ini akan memakan waktu yang cukup lama. Bambang menjelaskan bahwa jalur yang kami lewati bakalan berat. Jarak untuk sampai ke puncak Salak 2, sebenarnya terkenal pendek, tapi rintangan yang dihadapi cukup berat.
Sekitar 15 menit, kami tiba di hutan bambu Gunung Salak. Saat itu kondisi hutan bambu berselimut kabut tipis, suasana begitu sepi, tak ada seorang pun saya lihat melintas, cukup menyeramkan bagi saya. Padahal tadi di basecamp, ada banyak orang. Saya tidak banyak ngobrol dengan Bambang karena fokus saya pada jalur yang sedang hadapi. Kami berjalan pelan dan santai untuk menjaga ritme berjalan supaya tidak kelelahan di tengah perjalanan.
Sebelum sampai di pos 1, kami sepertinya sudah melewati 3 hutan bambu. Saya ingat betul saat melewati hutan bambu, kami agak kesulitan karena jalur yang agak sempit. Ketika berjalan pelan melewati batang bambu itu, entah kenapa ekor mata saya menangkap suatu sosok yang berdiri agak jauh di samping kiri saya.
Banyak kuntilanak di hutan bambu
Awalnya Bambang sibuk nge-vlog, tapi entah kenapa kok lama-lama jadi tambah sunyi. Terlalu sunyi sampai saya bisa mendengar suara gesekan angin dan nafas saya sendiri. Kabut tipis agak sedikit menyelimuti hutan bambu itu.
Kami berjalan dan terus berjalan, sampai akhirnya saya tidak sengaja menoleh ke samping dan mendapati sosok kuntilanak berdiri di sana. Diam memperhatikan kami. Langsung saja saya refleks menundukan kepala dan berpegangan ke Bambang.
Masih pagi begini bisa-bisanya melihat penampakan. Saya memejamkan mata dan berpegangan erat ke Bambang. Laki-laki itu memberi tahu untuk permisi dan juga bersikap cuek. Tapi gimana mau cuek kalau lagi jalan begini ada sosok kuntilanak yang ngliatin. Masih mending satu terus hilang, lah ini ada banyaaak! Seperti seakan saya masuk ke sarang kuntilanak.
“Gua takut bang, cepetan pergi dari sini. Lu gak denger ada suara ketawa?” bisik Saya yang enggan untuk membuka mata. Rasanya saya ingin berlari secepat mungkin dari sini.
“Udah jangan takut, diem aja. Misi-misi…” kata Bambang sembari terus baca ayat kursi dan terus jalan.
Kami akhirnya melewati hutan bambu yang banyak kuntilanaknya itu. Kalau dari informasi orang-orang, hutan bambu memang tempatnya makhluk halus seperti pocong dan kuntilanak. Saya salut banget sama nyali orang yang berani solo travelling ke gunung.
Bukan orang jadi-jadian
Rasanya pendakian Gunung Salak kali ini cukup melelahkan, mungkin karena medannya yang miring serta vegetasi hutan yang rapat membuat saya lebih cepat merasa lelah. Akhirnya karena kaki saya sudah tidak sanggup melangkah, saya meminta istirahat ke Bambang sebelum melanjutkan perjalanan ke Pos 1.
Saya dan Bambang beristirahat sejenak, duduk di pinggiran batang pohon. Rasa haus ini tidak bisa dihindari lagi, tanpa sadar saya sudah cukup banyak menghabiskan air minum. Bambang sendiri masih sibuk nge-vlog. Saya hanya melihat langit-langit hutan untuk menikmati pemandangan sejenak. Kami akhirnya melanjutkan perjalanan lagi setelah 15 menitan beristirahat.
Saat di perjalanan, saya dan Bambang sempat berpapasan dengan warga lokal yang sedang mencari kayu bakar. Saya awalnya sempat ragu, ini orang “beneran” atau “jadi-jadian”. Tapi ya Bambang memberanikan diri untuk bertegur sapa.
“Misi pak, punten yah pak numpang lewat,” kata Bambang sembari sedikit menundukkan kepala untuk memberi rasa hormat.
“Pagi juga, mau ke puncak yah? Berdua aja?” Tanya bapak-bapak tua tersebut sembari tersenyum ramah ke kami. Bambang mengiyakan pertanyaan bapak tersebut. Dia cukup ramah dan baik sampai menjelaskan trek-trek dan medan yang akan kami hadapi nanti saat menuju pos 1.
“Pokoknya neng sama akangnya nanti ketemu sama tanjakan akar, nah dari situ nggak jauh ada pos pendakian,” kata bapak tua tersebut sembari mengarahkan tangannya ke arah kanan.
Kami mengucapkan terima kasih dan melanjutkan perjalanan kembali. Saya berbisik sedikit ke Bambang, waktu itu saya agak sedikit bercanda tentang bapak-bapak tadi.
“Gue kayaknya udah suudzon aja tadi. Gue pikir orang jadi-jadian. Ternyata orang beneran tuh,” celetuk saya dengan suara pelan. Si Bambang pun mengejek saya dan mengatakan saya itu terlalu parno sama hal begitu.
Ia selalu menasihati saya kalau naik gunung berusaha untuk membaur dan cuek saja sama hal-hal yang terjadi di luar nalar. Namanya juga alam bebas. Saya hanya mengiyakan saja. Bosen denger nasihat darinya yang begitu terus. Kalau saya gak sensitif sama hal mistis, mungkin saya tidak sepenakut sekarang.
Pos 1 yang penuh drama
Sesampainya di Pos 1, saya buru-buru mengisi ulang air dari pipa aliran penduduk. Pendakian tadi sangat melelahkan. Kali ini saya meminta Bambang untuk membawa sebagian logistik yang saya bawa. Karena jujur saya nggak kuat.
Saat mau nanjak naik akar sudah oleng karena beratnya logistik yang saya bawa. Alhasil, kami sibuk membongkar logistik sekalian makan roti sebentar untuk mengganti energi yang terpangkas saat mendaki tadi. Tidak lama setelah itu, kami akhirnya bertemu dengan pendaki lain yang sepertinya masih remaja.
Tapi tampaknya, pendaki-pendaki yang baru turun itu terlihat cemas dan panik. Saya bisa melihat salah satu pendaki menggendong pendaki lainnya. Waduh, sepertinya ada kecelakaan.
Bambang pun menghampiri mereka, menawarkan bantuan dan menanyakan apa yang terjadi. Salah satu pendaki bernama Miftah itu menjelaskan saat bermalam di puncak, salah satu temannya mengidap gejala hipotermia. Temannya itu menggigil parah sampai kulitnya hampir membiru. Ia juga meracau aneh, meminta agar temannya itu dipulangkan ke Curug Nangka.
Saya dan Bambang saling beradu pandang. Sepertinya Bambang tahu apa yang ada di pikiran saya.
“Lebih baik kalian istirahat dulu, karena kalau lanjut sampe bawah itu bisa hampir 90 menitan sampai ke basecamp,” ucap Bambang. Ia pun meminta saya untuk membangun flysheet, mengeluarkan kotak P2K sedangkan pendaki itu meletakkan matras di bawah flysheet.
Perempuan yang minta tolong pulang ke Curug Nangka
Pendaki perempuan itu terlihat pucat sekali dan berkeringat, ia terus meracau hal-hal dan bahasa yang terkadang kami tidak mengerti. Saya memberikan heat pack ke tubuh wanita itu dan tiba-tiba saja ia menggenggam tangan saya.
Genggamannya cukup kuat membuat saya agak sedikit sakit.
“T..tolong anter saya pulang, saya nggak mau di sini,” ucap wanita itu lirih. Tiba-tiba saja dia bangun lalu matanya menyorot saya dengan tajam. Wajahnya yang pucat itu terlihat menakutkan dan
“AAAAAAAAHHHHHHHHHHHHH”
Perempuan itu berteriak nyaring membuat Bambang dan lainnya berhamburan ke dalam untuk mengecek keadaan. “Woy ada apa ?!!!” Tanya salah satu pendaki yang merupakan teman perempuan itu.
Perempuan itu tiba-tiba saja meronta dan mencakar-cakar tubuhnya sendiri. Para pendaki pria mencoba untuk menghalangi aksi perempuan itu. “Waduh mampus ini, ngadepin orang kesurupan gimana caranya?” ucap Bambang yang sepertinya kewalahan karena tenaga wanita itu benar-benar diluar nalar.
Saya sendiri juga berusaha sekuat tenaga, merapal beberapa doa untuk mengusir makhluk halus yang ada di tubuhnya. Tapi sayangnya, keadaan semakin parah. Bambang mencoba untuk menelepon tim penolong. Ia tahu susah sinyal, tapi tidak ada salahnya mencoba.
Saya menahan tangan perempuan itu dan menyadari bahwa pergelangan tangan saya yang tadi digenggam olehnya itu menjadi biru. Rasanya sakit dan panas. Perjalanan saya dan Bambang akhirnya sempat tertunda agak lama di Pos 1. Suasana yang tadinya nyaman, aman, damai dan asri itu seketika berubah menjadi adegan menakutkan seperti di film horor.
BERSAMBUNG….
BACA JUGA Pesugihan Haji N Menyebabkan Kematian Massal Ibu-ibu di Rembang dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Agnes Putri Widiasari
Editor: Agung Purwandono