MOJOK.CO – Bagas tidak pernah menyangka kalau pohon kelengkeng di halaman rumahnya adalah portal alam gaib. Dia hanya bisa pasrah.
Ini bukan cerita kaleng-kaleng. Cerita ini aku dapatkan ketika seorang teman, sebut saja Bagas, berbincang kepadaku dengan bibir gemetar, gigi gemeretak, dan kedua tangannya basah. Ia bercerita tentang portal alam gaib di pohon kelengkeng, di rumahnya.
Mulanya, Bagas enggan bercerita kepada siapa pun. Dia ingin peristiwa horor yang dialami itu dipendam saja. Namun, lambat laun, dia tak mau menghadapi ketakutan itu sendirian. Dia ingin membagi ketakutan itu kepadaku.
Jadi begini ceritanya.
Bagas memiliki lima teman akrab sejak kuliah. Dua perempuan dan tiga lelaki. Mereka ke mana-mana selalu bersama. Ke kantin, warung mie ayam dekat kampusnya, ke pasar langganan tempat mereka membeli petai, atau berburu pakaian bekas di salah satu toko ternama di kota itu.
Pertemanan mereka berlangsung selama lima tahun. Meskipun terlihat akrab, ternyata Bagas tidak mengetahui ada rahasia di antara mereka. Terutama kepada salah satu teman laki-laki yang ternyata indigo. Sebut saja namanya Fatih.
Suatu kali, saat bersenda gurau dengan Bagas dan ketiga temannya, Fatih memotong pembicaraan. “Kalau mau uji nyali, coba aja ke rumah Bagas. Di sana ada banyak macamnya karena ada portal alam gaib.”
Bagas kaget, dan bertanya, “Memangnya ada apa aja, Tih?”
Fatih mendadak panik. Dia sadar keceplosan mengungkapkan sesuatu yang seharusnya tidak diutarakan. Tangan kirinya menutup mulut. Lalu, mengambil napas perlahan, berdehem, dan…
“… ya, coba saja, siapa tahu mereka mau muncul,” ujar Fatih pelan. Sangat pelan bahkan seperti berbisik.
Rasa penasaran tersebut membuat Bagas memiliki rencana. Dia mengajak keempat temannya untuk menginap di rumahnya. Cukup semalam saja sembari bakar jagung.
Bagas penasaran karena ucapan Fatih persis apa yang diucapkan tetangganya. Padahal, Fatih belum pernah main ke rumahnya.
“Kok Mas Bagas dan keluarga bisa betah ya di rumah sebesar itu. Apa karena rumahnya nggak pernah sepi, ya?”
Asal kamu tahu, ya. Bagas tinggal dengan seorang adik dan kedua orang tua. Kebetulan rumahnya cukup luas. Bahkan terluas kedua di kampung itu. Sebagian besar lahan kosong ditumbuhi tanaman. Mulai dari rambutan hingga kelengkeng yang menjadi portal alam gaib.
Karena lahannya cukup luas, ketika ingin mengecek rumah Bagas via Google Maps dengan mode satelit yang terlihat pohon-pohon besar yang seakan melindungi rumahnya. Dan kebetulan, hanya lahan di rumah Bagas yang tampak rimbun. Hutan, kalo kata tetangga.
Bagas mengundang mereka pada malam Sabtu. Mereka diminta tidak perlu membawa makanan dan minuman. Semuanya sudah disiapkan.
Sesampainya di sana, mereka takjub dengan banyaknya pohon lebat di sekeliling rumahnya.
“Harusnya kita sekalian kemping aja di sini. Nggak perlu di rumah Bagas,” ujar Ruli yang sangat antusias. Bahkan, setelah parkir di garasi, dia langsung mengambil kamera dan mengambil beberapa foto di beberapa sudut.
Beruntung, Bagas memiliki satu tenda kemping yang bisa ditempati untuk tiga orang. Ruli langsung mendirikan tenda itu dengan cepat. Sendirian.
Langit senja menuju malam. Bulan sabit muncul sambil dibayangi awan tipis yang sesekali menutup wajahnya. Nita, salah satu teman yang ikut, ingin pergi ke dapur. Meskipun “kemping”, untuk urusan masak memasak tetap harus ke dapur.
Dapurnya ada di sudut kanan rumah. Dekat dengan kamar mandi yang terletak di luar rumah. Dengan sigap, Nita mengambil bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat nasi goreng.
“Srrk srrk srrkk.”
Suara pisau mengiris bawang putih tipis-tipis.
“Serrt.. serrrt… serrrrtt….”
Nita menoleh ke belakang. Seperti ada sesuatu yang diseret. Oleh karena tak melihat ada sesuatu, Nita kembali melanjutkan aktivitasnya. Angin datang dari arah kamar mandi, melewati telinga kiri Nita. Ia kaget. Meskipun agak sedikit takut, dia tetap melanjutkan aktivitasnya.
Namun, lama-lama, dia ketakutan juga. Pasalnya, dari arah belakang, paha kiri Nita seperti dicolek. Sontak saja, Nita menjerit
“Aaaaaaaaaaakkkk!”
Nita keluar. Berlari tergopoh-gopoh ke arah tenda. Lalu, Nita memeluk Rani, yang kebetulan berdiri sembari melihat Nita yang wajahnya pucat pasi. Fatih yang mengetahui Nita ketakutan berusaha mendekat. Telapak tangan kanannya ditaruh di dahi Nita sembari berucap sesuatu.
Setelah itu, Nita diberi setengah botol air mineral dan diminum hingga tandas. Tenang. Ketika Nita hendak berbicara, Fatih memberikan isyarat untuk diam.
“Tuh, kan. Apa yang aku bilang.”
Bagas tiba-tiba menarik lengan kiri Fatih, dan membawanya ke dapur.
“Kamu bisa cerita, Tih?”
“Nita itu agak sensitif. Sebenarnya berbahaya kalo dibawa ke sini. Suruh dia istirahat saja sambil ditemani Rani.”
“Oke. Apa yang kamu tahu dari rumahku?”
“Di sini banyak sekali, Gas. Dari yang kecil sampai yang besar. Dari yang muda sampai tua. Kayak di dapur ini. Kakinya sangat panjang, tapi badannya pendek, matanya merah, dan rambutnya menjuntai hingga ke tanah. Tingginya melebihi pohon itu.”
Fatih menunjuk pohon kelengkeng yang menjadi portal alam gaib di depan tenda mereka.
“Trus, apalagi?”
“Aku nggak bisa bicara banyak. Sosok-sosok di sini nggak mau diceritakan. Yang jelas mereka ada di sekitaran sini. Terutama di pohon kelengkeng itu.”
“Memangnya ada apa aja di pohon kelengkeng?”
“Kamu mau tahu atau sudah tahu?”
Kalimat itu membuat Bagas terhenyak. Dia tak segera menjawab pertanyaan dari Fatih. Dia hanya mengingat lagi saat Ruli, suatu kali, mengatakan bahwa Fatih sebenarnya indigo. Dia bisa melihat makhluk gaib.
Bagas menggelengkan kepala. Fatih tampak sedikit tak percaya.
“Lahanmu ini jalur lalu lintas gaib, sedangkan pohon kelengkeng itu…”
Fatih sedikit menghela napas. Bagas menunggu dengan sabar.
“… portal alam gaib.”
Bak disambar petir, Bagas benar-benar tak menyangka dengan jawaban Fatih. Namun, karena rasa penasaran yang berat, Bagas ingin tahu.
“Coba kamu tunjukkan.”
“Besok saja, ya. Sudah banyak yang menguping, dan itu di sekeliling kita.”
Malam itu, Rani dan Nita tidur di tenda. Ruli dan Riki tidur di tikar luar tenda sedangkan Fatih dan Bagas terjaga sampai subuh.
Paginya, selepas subuh, dan keempat teman yang tertidur belum bangun, Bagas memaksa Fatih untuk segera bercerita soal portal alam gaib.
Mereka berdua berdiri menghadap pohon kelengkeng.
“Coba letakkan kedua tanganmu di sini,” tunjuk Fatih sembari memberikan contoh kedua tangannya ditaruh di pohon kelengkeng.
Bagas meletakkan kedua tangannya. Agak lama tangannya di situ. Karena memang tidak sensitif, Bagas tidak merasakan apa-apa.
“Kayak nggak ada apa-apa.”
Sebenarnya Fatih lega ketika Bagas tidak merasakan apa-apa. Namun, Bagas memaksa.
“Coba kamu taruh tanganmu di sebelah sini.” Kali ini Fatih meminta Bagas meletakkan tangannya di lubang sempit yang letaknya di atas kepala Bagas.
Tak butuh waktu lama, tangan Bagas terasa panas. Seperti terbakar. Kemudian, tangannya terasa seperti disilet. Kaget. Bagas menarik tangannya.
Fatih yang tahu akan hal itu, cepat-cepat mengajak Bagas menyingkir dari area itu. Meskipun telah mendapat kejutan seperti itu, Bagas masih saja penasaran.
“Kita bisa masuk ke sana?” tanya Bagas.
“Kamu tahu, di atasmu tadi ada dua sosok. Kecil. Di sebelah kananmu, ada juga sosok. Satu, tapi menyeramkan. Dan tadi ada yang berbisik kepadaku bahwa dia mengizinkan kita masuk ke sana dengan satu syarat.”
“Apa syaratnya?”
“Salah satu dari kita harus tinggal di sana. Mengabdi.”
Bagas diam mematung. Punggungnya basah oleh keringat. Sekarang dia tahu akan kenyataan pohon kelengkeng, yang menjadi portal alam gaib, dan berada di halaman rumahnya.
Kisah ini berhenti sampai di sini. Terlalu banyak cerita yang tidak boleh diceritakan. Bukan oleh Fatih dan Bagas, tetapi oleh “penunggu” portal alam gaib tersebut. Dan terkadang, sebagai wujud “toleransi”, kita hanya bisa menuruti peringatan itu. Ketimbang terjadi masalah di masa depan….
BACA JUGA Kisah Korban Kalong Wewe: Terbang dari Jakarta ke Bekasi, ‘Diculik’ Selama 1 Minggu Berasa 1 Hari dan kisah gaib lainnya di rubrik MALAM JUMAT.