MOJOK.CO – Sedetik kemudian, saya merasa Gunung Gede Pangrango berubah menjadi sebuah tempat yang terasa asing dan mengancam. Saya terdiam, tidak mampu berbicara.
Baca dulu bagian 2 di sini: Gunung Gede Pangrango: Sebuah Desa yang Muncul dari dalam Tanah (Bagian 3)
Setelah 2 hari tersesat di hutan Gunung Gede Pangrango, lalu “menemukan” sebuah desa, rasa gembira saya tentu muncul. Namun, rasa was-was dan curiga tetap mengiringi. Untuk mengusir pikiran negatif, saya meyakinkan diri sendiri bahwa mungkin saja, desa itu tidak terlihat karena tertutup kabut. Seakan-akan, desa itu muncul dari dalam tanah.
Suara kakek itu serak dan pelan. Dia berjalan ke arah gerbang sembari meminta kami mengikutinya. Tepat pada saat itu, suara “Jangan ke sana” kembali saya dengar. Rasa enggan sangat terasa. Namun, seperti kejadian tersedot oleh suara dari tengah hutan, kami melangkah begitu saja. Seperti ditarik untuk masuk ke desa yang terasa terlalu sunyi ketika kami sampai di gerbang masuk.
Saya menarik pelan lengan baju Teuku dan berbisik mengenai keanehan yang saya rasakan.
“Bro, gue kok ragu ya buat masuk ke desa. Entah kenapa desanya tuh sunyi banget. Sedari tadi gue nggak lihat ada anak-anak atau sekadar orang-orang selain si kakek itu.”
Teuku pun juga merasakan hal yang sama. Dia merasa desa ini terlalu sunyi. Sesunyi-sunyinya desa, pasti tetap terdengar suara-suara warga. Misalnya, kalau maghrib, suara azan terdengar. Namun, kali ini, sunyi saja.
Selain itu, tidak saya lihat tiang atau kabel listrik. Sementara itu, Rio, entah mengapa lebih banyak diam sambil tetap memperhatikan sekeliling. Tak lama, kami sampai di rumah kakek tua itu. Rumah yang sunyi dan gelap di tengah Gunung Gede Pangrango.
Kakek yang tak pernah mengedipkan mata
Kakek itu langsung menyalakan lilin ketika kami hendak masuk rumah. Dengan sigap, dia menaruh beberapa lilin di sudut rumah. Dari mana si kakek bisa membeli lilin kalau rumahnya saja ada di pedalaman Gunung Gede Pangrango? Titip warga desa yang lagi turun untuk berbelanja? Pertanyaan logika semacam itu muncul dan terus berputar di dalam kepala saya.
Sebelum mempersilakan kami duduk di lesehan di ruang tengah, saya seperti bisa melihat kakek itu tersenyum ganjil. Setelah kami duduk, dia masuk ke ruang belakang. Tak lama, dia keluar lagi membawa teh panas dan ubi bakar. Cepat sekali si kakek membuat teh panas dan menyiapkan ubi bakar. Lagi-lagi pertanyaan logika.
Ketika keluar dari ruang belakang, si kakek membawa lentera berisi minyak tanah. Dia menyalakannya menggunakan api lilin lalu menaruh lentera itu tepat di tengah-tengah kami duduk.
Melihat kami yang diam saja karena berbagai perasaan yang bercampur, si kakek membuka obrolan dengan Bahasa Sunda. Intinya, si kakek menanyakan sudah berapa hari kami tersesat dan asal kami.
Rio menceritakan secara jelas seperti apa yang kami alami selama tersesat di Gunung Gede Pangrango. Namun, Rio tidak menceritakan kejadian janggal yang menimpa kami. Saya bisa melihatnya agak ragu. Kakek tua itu mendengarkan dengan ketenangan yang luar biasa. Seperti bisa menduga jalan cerita Rio.
Kejanggalan yang Rio simpan
Setelah agak lama bercerita, Rio mengambil jeda dengan menyeruput teh panas yang cepat dingin karena dinginnya malam di Gunung Gede Pangrango. Tepat saat itu, si kakek permisi ke belakang. Dia bilang mau menyiapkan makan malam. Lantaran tak enak, kami menawarkan bantuan untuk memasak. Namun, si kakek melarang kami dengan keras. Ya sudah, kami akhirnya duduk saja.
Sejujurnya, saya sedikit kesal dengan Rio yang tidak terbuka mengenai kejadian pagi ini. Oleh karena itu, saya menghampirinya, duduk di hadapannya, dan menatap matanya. Pokoknya saat itu saya pengin dengar cerita dari Rio mengenai suara minta tolong sebelumnya. Setelah memohon-mohon untuk diceritakan, akhirnya Rio pun mengiyakan dan bercerita mengenai apa yang terjadi tadi pagi.
“Sebenarnya, gue nggak mau ngomong kejadian tadi pagi selama kita masih tersesat di Gunung Gede Pangrango ini. Lo berdua tau kan, hal-hal aneh itu pamali banget kalau diceritain. Tapi karena kita sudah ketemu sama desa dan besok pagi kita melapor ke balai desa, jadinya yaudah nih gue ceritain ya.”
Rio sedikit celinguk-celinguk ke sekeliling, memastikan tidak ada orang lain selain dirinya, saya, dan Teuku.
“Jadi, tadi pagi gue coba ngecek ke tempat itu lagi. Lo tau kan Nes gue udah kasih tanda di pepohonan supaya paginya gue bisa tau tempat terakhir kita berhenti. Actually, sekitar setengah 6 itu, gue kesana, gue coba mastiin takutnya ada pendaki lain tersesat. Tapi kalian tahu apa yang gue temukan? JURANG! Tepat setelah pohon itu, Cuma ada jurang!”
Teuku buka suara
Saya kaget dan setengahnya nggak percaya. Saya masih mengingatnya dengan jelas bahwa setelah pohon besar yang diberi tanda itu ada jalan setapak. Saya yakin karena saat itu saya dan Rio juga menyoroti setiap tapak jalan. Kami terdiam cukup lama. Teuku, yang sedari tadi, akhirnya buka suara.
“Sebenarnya, gue merasa ganjel sedari tadi. Okelah kalau kita melapor ke balai desa itu mesti besok pagi. Tapi, emang kita nggak bisa datengin rumahnya aja ya? Setahu gue itu kalau lagi keadaan genting begini mah bisa-bisa aja kali. Lagipula ini tuh masih sekitaran jam setengah 7 malam tapi rasanya udah kayak jam 11 malem tahu nggak. Sepi banget, udah mana gua curiga sedari tadi ama tuh kakek. Lo pada nyadar nggak sih tuh kakek kagak ngedipin mata?”
Penjelasan Teuku pun membuat kami berpikir. Saya dan Rio tentu saja nggak kepikiran sampai ke sana. Mana sempat kami mengamati mata si kakek. Kami berdua sibuk mengamati kondisi desa yang terlalu sepi. Namun, kayaknya Teuku memang secermat itu sampai mengamati mata si kakek.
Setahu saya, normalnya manusia itu bisa berkedip 15 sampai 20 kali dalam 1 menit. Membayangkan si kakek yang nggak kedip itu membuat saya dan Rio merinding. Kami bertiga sepakat untuk mencari cara untuk kabur dari rumah si kakek. Namun, kami juga realistis. Lari ke hutan itu sama saja menyambut potensi untuk tersesat sekali lagi. Ah, jangan-jangan, desa ini saja sudah menjadi penanda bahwa kami hilang di Gunung Gede Pangrango.
Antara petunjuk dan ujian
Ketika Rio dan Teuku sibuk mengamati kondisi desa dari pintu depan, si kakek muncul dari ruang belakang.
Dia bertanya, “Kalian mau ke mana?”
Pembaca yang baik merasa aneh nggak dengan pertanyaan ini? Kalau orang normal, selesai membuat hidangan untuk tamu, seharusnya bilang, “Mari makan. Seadanya, ya.” Namun, si kakek langsung “nembak” gitu saja dengan bertanya kami hendak ke mana. Gilanya, kali ini, si kakek melotot dan membuat “keramahan” sebelumnya langsung hilang.
“Maaf, Kek, kami mau melanjutkan perjalanan dulu. Kebetulan saya dapat sinyal jadi bisa hubungi suami saya dan ranger Gunung Gede Pangrango di bawah untuk minta tolong,” jawab saya dengan cepat.
Kakek tua itu malah tertawa mendengar alasan saya. Dia tahu saya bohong.
“Jangan bohong,” sahut kakek itu dengan suara seraknya.
“Saya di sini bukan untuk menakuti. Hanya saja, hati kalian itu terlalu lemah. Apalagi kamu.” Kakek tua itu menunjuk ke arah saya sambil menyeringai.
Saya yang kebingungan menanyakan maksud perkataan si kakek. Dia menjelaskan, bahwa di antara kami bertiga, hati saya yang paling lemah. Kalimat selanjutnya dari si kakek membuat saya terhenyak.
“Kamu tidak perlu takut. Penjaga di belakangmu itu sudah siap menerkam siapa saja yang ganggu kamu.”
Reflek, saya menengok ke belakang dan tidak ada “orang” di sana karena Rio dan Teuku ada di sebelah saya. Kakek itu menjelaskan bahwa akan ada saatnya ketika saya tahu. Dia bilang, pokoknya, kalau saya sudah siap, saya baru akan memahami makna “penjaga” itu.
Petunjuk yang kami ragukan
Selesai menjelaskan, si kakek menawari kami makan malam. Namun, kami menolak dengan halus. Kami tidak boleh menurunkan kewaspadaan. Namun, percakapan singkat di atas membuat kami ragu apakah si kakek ini baik atau hajat. Semuanya jadi abu-abu.
Dengan terbata-bata, saya mengatakan bahwa kami akan turun dari Gunung Gede Pangrango malam itu juga. Saya juga menegaskan bahwa kami siap menghadapi rintangan demi pulang ke rumah. Meskipun disebut “menegaskan”, sebetulnya saya agak ragu juga.
Kakek itu tidak merespons kalimat saya. Dia malah berjalan ke arah jendela, lalu mengisyaratkan kami melihat apa yang ada di luar jendela. Kami bertiga berjalan mendekati jendela dan melihat adanya jalan setapak mengarah ke dalam hutan. Jalan itu ditelan oleh kabut yang cukup tebal. Kakek itu mengatakan kalau mau turun dari Gunung Gede Pangrango, kami harus mengikuti jalan setapak itu.
“Apapun yang terjadi saat kalian tersesat, jika kalian mempunyai keteguhan hati dan percaya akan pertolongan-Nya, kalian pasti akan selamat,” kata si kakek. Kami cuma bisa bengong mendengarkan wejangan si kakek. Belum sempat kami menjawab, kakek itu berjalan ke ruang belakang, ke arah pintu. Entah bagaimana, kami seperti ditarik untuk mengikuti langkahnya.
Si kakek membuka pintu belakang rumahnya yang mengarah ke jalan setapak tadi. Dia tidak akan menghalangi niat kami untuk menembus malam. Rio kembali berjalan paling depan, Teuku di tengah, dan saya paling belakang. Sebelum keluar dari rumah, saya menoleh ke arah kakek dan mengangguk sebagai wujud terima kasih. Si kakek tersenyum melihat gesture saya.
Desa di balik kabut
Kami berjalan dengan kecepatan normal ketika masuk ke jalan setapak itu. Mungkin belum ada 50 meter masuk ke jalan setapak, kami mendengar suara-suara manusia dari arah desa di belakang kami. Mendengar suara itu, kami bertiga saling pandang dan memutuskan untuk melihat ke arah desa.
Tidak ada yang berbeda dari pemandangan desa yang kami tinggal. Sepi di depan, namun, sekarang, terdengar suara-suara manusia dari dalam desa. Kali ini ramai seperti layaknya desa yang “lebih hangat” setelah maghrib, di mana masyarakat masih berada di luar rumah untuk saling bercengkerama.
Yang kami lihat terakhir adalah si kakek yang berdiri di luar rumahnya. Dia mengamati kami yang dengan konyolnya menuruti rasa penasaran. Sebelum kami beranjak pergi, saya masih menyempatkan untuk melihat ke arah si kakek untuk mengucapkan terima kasih sekali lagi. Saat itu, saya sangat yakin melihat wajah si kakek yang setengah hancur, berbeda dengan sebelumnya yang tampak “lebih sempurna”.
Kami terdiam. Namun, kali ini, rasa was-was dan cemas malah sedikit mereda. Padahal, kami sedang menyaksikan pemandangan paling janggal selama mendaki Gunung Gede Pangrango. Saya bersyukur di dalam hati. Setidaknya, kami mendapat petunjuk untuk bisa menembus hutan di kala malam. Meskipun petunjuk itu kami dapatkan dengan cara yang sangat tidak lazim.
Tersesat di dimensi lain
Kami tidak banyak bicara selama 20 menit lebih. Beberapa obrolan terjadi ketika kami saling mengingatkan untuk tetap berada di jalur atau memberi peringatan untuk hati-hati ketika melangkah. Kami belum menemukan kalimat yang tepat untuk membicarakan desa yang janggal itu.
Desa hantu?
Desa para malaikat penjaga gunung?
Kami tidak tahu yang mana. Kami hanya bersyukur karena masih selamat, meski memang masih berstatus pendaki yang tersesat.
Saat itu, vegetasi yang kami lewati terlalu dan semakin rapat. Saya malah sempat mengira kami sudah tidak di Gunung Gede Pangrango. Suasana sekitar terasa beda dan pepohonannya pun terlalu rapat. Kami berjalan agak lama dan rasa lelah mulai datang.
Saya mengecek jam dan langsung terkejut. Jam tangan saya menunjukkan pukul 7 kurang sedikit. Padahal, pukul setengah 7 kami masih berada di rumah si kakek, sedangkan kami sudah berjalan cukup lama. Sekali lagi, kami bertiga cuma bisa saling pandang. Lantaran nggak ada energi lagi untuk membahas hal-hal janggal, kami memilih untuk istirahat dan mendirikan tenda. Malam semakin larut. Satu hal yang kami sepakati adalah sekeliling kami seperti wilayah yang belum terjamah oleh manusia.
Kami berjalan sebisa mungkin masih sesuai dengan jalan setapak yang ditunjukkan si kakek. Begitu terus sampai kami merasa sudah 4 hari tersesat. Kami belum menemukan pos atau kawasan perkampungan. Bekal sudah habis.
Bertahan hidup
Kami makan apa saja yang bisa kami temukan dan minum dari sumber mata air. Tidak ada kejadian aneh selama kami menyusuri hutan itu hingga kami berada di jalan bercabang. Iya ada 2 jalan setapak yang harus kami pilih, kanan atau kiri.
Lucunya adalah, kami malah berdebat cukup lama perihal itu. Entah kenapa Teuku bersikeras memilih jalan ke kiri, sedangkan saya dan Rio yakin betul jalan yang benar itu adalah kanan mengingat kami bisa melihat lumut di bebatuan. Tandanya ada sumber mata air di dekat sana. Kalau menyusuri sungai, pasti berujung ke kawasan penduduk. Teuku malah tetap berdebat dengan kami dan sedikit emosional. Dia bilang, dia melihat salah satu penduduk membawa ubi dari arah jalan kiri.
Saya dan Rio bukan tidak ingin mempercayainya, tapi semua yang terjadi selama tersesat di Gunung Gede Pangrango membuat kami juga harus was-was terhadap makhluk halus yang menyerupai manusia. Karena perdebatan semakin tidak terkendali, Teuku tiba-tiba berlari ke arah jalan kiri itu. Dia berusaha menunjukkan kepada kami apa yang dia lihat di balik kabut. Kami sudah tidak tahu lagi saat itu pagi siang atau sore, karena entah vegetasinya yang terlalu rapat dan berkabut sehingga langit pun terlihat selalu mendung atau memang kami masih terjebak di “dimensi lain”.
Tiba-tiba dari arah belakang Teuku muncul sosok dari balik kabut. Sudah agak lama kami tidak ketemu kejanggalan. Jadi, saat itu, rasanya kaget sekali.
Harimau putih dan kumandang azan
Dari balik kabut, muncul seekor hewan, bukan macan kumbang tapi harimau putih. Saat itu saya sudah pasrah bahkan sempat berpikir ya sudah menyerah saja. Namun, harimau itu tidak menerkam atau merasa terancam dengan kehadiran kami.
Dia hanya memandangi kami lalu membalikkan badannya yang mungkin setinggi pinggang Teuku. Ketika membalikkan badan, harimau itu sempat menoleh ke arah kami. Ia seperti mengajak kami untuk berjalan mengikutinya. Setidaknya itu perasaan saya dan Rio. Iya, pada akhirnya, kami mengikuti hewan itu. Seperti seakan tubuh kami berjalan dengan sendirinya.
Kami berjalan agak lama dengan kabut yang semakin tebal. Saat itu, tiba-tiba saya merasa mendengar kumandang azan dari kejauhan. Harimau itu diam sejenak, seperti ikut mendengarkan kumandang azan yang semakin lama semakin jelas. Selesai kumandang azan, si harimau berjalan masuk ke hutan. Perlahan menghilang di balik tebalnya kabut.
Senang dan gembira, kami langsung bersemangat setelah bisa sedikit keluar dari hutan aneh itu. Suara gemericik air pun juga kami dengar. Kami tiba di air terjun tidak jauh dari sana. Saat itu memang sudah gelap, tak perlu membuang waktu kami pun tetap melanjutkan perjalanan.
Tersesat 5 hari di Gunung Gede Pangrango
Setelah melanjutkan perjalanan, kami mendapati persimpangan dengan Tanda Jalan. Jelas, sangat jelas. Persimpangan itu adalah Pos 1 dan air terjun yang kami lewati itu adalah air terjun Cibeureum. Iya kami keluar dari arah jalan air terjun itu. Kami akhirnya berjalan cukup cepat seakan tidak mengenal lelah hingga kami sampai di Pintu Masuk Jalur Selabintana.
Melihat itu, saya, Rio, dan Teuku langsung berpelukan, kegirangan. Kami akhirnya sampai di Pos Simaksi dan mendapati Bayu, Miska, dan Dave yang sudah berdiri gelisah di sana.
Saya berlari ke arah mereka dan berteriak. Ekspresi kaget dan tidak percaya muncul dari raut wajah mereka. Miska segera memeluk saya dan menangis sekeras-kerasnya. Bersyukur karena Rio, Teuku, dan saya bisa selamat.
Selesai berpelukan dan merayakan keselamatan yang kami rasakan, saya mulai merasakan keganjilan. Saat itu, Bayu dan Miska masih menggunakan baju yang sama saat kami mendaki. Seakan mereka tidak pulang. Saya pun bertanya kepada Bayu, mengapa dia dan Miska masih mengenakan baju yang sama padahal kami mungkin sudah tersesat sekitar 5 hari di Gunung Gede Pangrango.
“Lo nggak mungkin jadi gila kan, Nes gegara tersesat di hutan kurang dari 2 hari,” ucap Bayu sambil sedikit tertawa melihat tingkah saya yang kebingungan.
Tersesat dalam dimensi waktu
Saya, Rio dan, Teuku pun saling pandang. Masih bingung. Miska pun menjelaskan bahwa hari ini adalah hari Minggu pukul setengah 7 malam. Hari di mana kami terpisah adalah Sabtu malam. Miska menceritakan bahwa ketika kami terpisah, mereka tetap melanjutkan perjalanan hingga ke Pos Cileutik, bermalam di sana lalu sekitar pukul 4 pagi memilih untuk turun agar bisa cepat-cepat melapor bahwa kami hilang dan tersesat di Gunung Gede Pangrango.
“Kami sempat berdebat dengan ranger-nya karena alasan kami tidak masuk akal. Jarang sekali bisa melihat macan kumbang di daerah Gunung Gede Pangrango,” kata Miska coba meyakinkan saya.
Saya masih agak kesulitan untuk mencerna semua ini. Saya dan Rio, sekali lagi, mencoba mengingat-ingat segala kejadian selama tersesat. Kalau ditotal, kami memang tersesat hampir 5 hari. Kami bahkan mengira sudah ada pencarian besar-besaran dari ranger Gunung Gede Pangrango. Namun, nyatanya, kami baru “hilang” selama setengah hari saja.
Pada akhirnya, yang bisa kami lakukan adalah melapor ke ranger bahwa kami selamat. Malam itu juga, kami memutuskan untuk segera pulang ke Tangerang.
Selesai melapor dan bersih-bersih, badan saya terasa sangat lelah. Kelelahan yang agak kurang masuk akal. Saya seperti tidak punya lagi tenaga untuk berjalan barang beberapa langkah. Dave, suami saya, menyadari kondisi saya dan seperti mengerti semuanya, dia mengurungkan diri untuk bertanya dan membantu saya berjalan.
Fragmen trauma masa lalu
Rio dan Teuku juga merasakan hal yang sama. Lelah yang teramat sangat. Seakan-akan kami sudah berjalan ratusan kilometer tanpa berhenti. Tak mau membuang waktu, kami masuk ke mobil dan meninggalkan kawasan Gunung Gede Pangrango.
Ketika lepas dari kawasan gunung, sebelum keluar ke jalan besar, saya melihat si kakek berdiri di sudut jalan, di samping pohon. Saya juga melihat siluet hewan berkaki empat di samping si kakek. Saya melihatnya tersenyum dan suara bisikan terdengar lagi. Namun, kali ini, bisikan itu menggunakan Bahasa Belanda dan tiba-tiba saya rindu kepada nenek.
Bersama kerinduan itu, ingatan akan trauma masa kecil di rumah nenek terpanggil kembali. Fragmen-fragmen trauma itu berkelebatan. Pusing, saya memutuskan untuk tidur di dalam mobil. Geraman mesin mobil mengantar saya ke alam mimpi. Aroma Gunung Gede Pangrango tidak akan pernah saya lupakan.
TAMAT
BACA JUGA Gunung Sindoro: Sebuah Prolog untuk “Sesuatu” yang Menyesatkan dan kisah mendebarkan di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Agnes Putri Widiasari
Editor: Yamadipati Seno