MOJOK.CO – Berawal dari rasa skeptis, saya menantang makhluk halus lewat jelangkung. Saya tidak menyangka, kenangan masa lalu yang menghantui hingga sekarang.
Cerita ini terjadi ketika saya masih kelas dua SMA. Rasa skeptis tumbuh akibat rasa geram yang menumpuk. Banyak orang bercerita soal kisah mistis, tapi tidak bisa memberi bukti. Salah satunya cerita tentang jelangkung.
Rasa penasaran itu begitu menggebu, bahkan membuat saya kadang merasa marah. Saya tahu ini salah, tapi rasa penasaran itu memang bikin buta. Saya, ditemani Aldi, Rifki, dan Rendi, sepakat untuk mencoba jelangkung. Katanya, lewat boneka mungil itu, kita bisa memanggil hantu.
Malam Sabtu pukul satu tengah malam kami janjian. Niatnya, sih, maunya malam Jumat. Biar makin manjur gitu. Namun, karena paginya masih harus sekolah, kami geser ke malam Sabtu saja. Nantangin jelangkung memang seru, tapi nggak sampai bolos sekolah juga, kan.
Nah, malam Sabtu, kami berempat naik dua motor menuju rumah kosong di daerah Jakarta Timur. Dulu, katanya, rumah kosong itu bekas asrama (sensor). Jadi, di depan asrama itu ada semacam pagar dengan tanda “Dilarang Masuk!” Tentu saja kami masuk secara ilegal. Boneka jelangkung mungil sudah kami buat jauh-jauh hari.
Setelah masuk ke bekas asrama itu, kami langsung mencari ruangan yang kelihatan paling angker. Setelah ketemu, kami langsung duduk membentuk lingkaran. Saya menaruh boneka jelangkung dari batok kelapa persis di tengah.
“Mantranya udah ada, nih. Mulai aja, deh. Jangan lama-lama,” kata saya.
Aldi, Rifki, dan Rendi manggut-manggut saja. Oiya, mantra memanggil jelangkung saya dapatkan dari riset di internet. Kata sumber yang saya baca, itu mantra paling nyata. Dasar anak SMA bodoh.
Saya menyalakan hape untuk membaca mantranya. Sulit banget dihafal, jadi mending dibaca saja.
Tangan kanan saya memegang boneka jelangkung yang sudah diikat dengan pensil di bawahnya. Aldi menaruh selembar kertas kosong di bawah pensil itu. Konon, kalau berhasil, boneka jelangkung akan bergerak sendiri untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Tidak lupa juga, kami menaburi sedikit tanah kuburan di sekitar boneka tersebut.
Setelah suasana agak khidmat, saya mulai membaca mantra:
“Hong hiyang ilaheng hen jagad alusan roh gentayangan ono’e jelangkung jaelengsat siro wujud’e ning kene ono bolon’e siro wangsul angslupo aen siro teko gaib wenehono wondo ing golek bubrah hayo enggalo teko pangundango hayo ndang angslupo ing rupo golek wujud, wujud, wujud!”
Saya membaca mantra pemanggil jelangkung itu dengan suara keras. Kami berempat saling berpegangan tangan. Aldi memegang pundak kanan saya, karena tangan kanan saya sedang memegang boneka jelangkung.
Tiga kali saya membaca mantra, belum ada respons. Setelah diam sebentar, kami melanjutkan membaca mantra secara bergantian sambil memegangi boneka jelangkung.
Sampai giliran Rifki, giliran terakhir, tidak ada reaksi. Kami hanya merasakan kalau ruangan tempat kami memanggil jelangkung bertambah dingin. Sesekali angin kencang berhembus. Selain itu, tidak ada respons dari boneka mungil itu.
Setelah lebih dari 30 menit berlalu, kami memutuskan untuk pulang. Saya kesal karena lagi-lagi, rasa skeptis dan penasaran saya tidak terpuaskan. Ya sudah, pulang saja.
Rifki membonceng saya karena rumah kami satu arah. Aldi dengan Rendi karena alasan yang sama. Di pertengahan jalan, tiba-tiba terasa cengkeraman di paha kanan saya. Kencang sekali. Sontak saya gerakkan kaki untuk melepaskan cengkeraman itu. Ternyata Rifki yang mencengkeram paha kanan saya.
Dia berbisik, “Cepetan jalannya. Ada yang ngikutin kita!”
“Mana?” Saya bertanya karena tidak melihat ada yang mengikuti dari kaca spion.
“Udah buruan, jangan banyak tanya!”
Dari suaranya, Rifki terdengar ketakutan. Jadi, saya memberi tahu Aldi untuk ngebut. Bukan setan atau sejenisnya yang saya takutkan. Saya lebih takut begal.
Begitu sampai di depan rumahnya, Rifki langsung turun dari motor dan agak berlari masuk rumah. Tanpa bilang apa-apa. Sementara itu, Aldi dan Rendi sudah tidak kelihatan. Agak bingung campur takut, saya memutuskan untuk pulang.
Oiya, boneka jelangkung yang tidak memberi respons itu kami asal buang saja dalam perjalanan pulang. Maklum, masih agak kesal.
Singkat kata, sesampainya di rumah dan belum mengantuk, saya menyalakan televisi dan nonton film di salah satu stasiun televisi. Lagi seru-serunya nonton, notifikasi pesan dari Rifki masuk.
“Ji, gua nginep di rumah lu ya. Samperin gua kalau udah di depan rumah lu.”
“Kenapa, Rif?”
“Nanti aja gua ceritain. Gua otw rumah lu, tunggu!” Balas Rifki.
Selesai membalas pesan, saya lanjut nonton. Rasa kesal yang belum hilang bertambah ketika channel di televisi berubah sendiri. Saya pikir remot televisi saya rusak.
Nggak lama, Rifki sudah sampai di depan. Saya langsung keluar untuk menghampirinya. Baru saja bangun dari kursi dan berjalan satu langkah ke arah pintu, channel televisi saya berubah lagi. Saat itu, saya teringat akan boneka jelangkung dan mulai menyusun asumsi-asumsi. Jangan-jangan, ada yang masuk ke bonek jelangkung dan bikin Rifki tadi ketakutan.
“Kalau memang ini perlakuan lu, coba tunjukkin wujud nyata lu. Gua mau liat! Jangan sok-sok godain gua, nggak akan takut gua sama hal-hal begituan!”
Maki saya sambil menunjuk televisi. Konyol bener. Malam itu, saya memang nggak merasa takut. Mungkin belum saja, sih….
Setelah puas memaki, saya lanjutkan untuk menemui Rifki.
“Kenapa, Ki?” Saya bertanya sambil membuka pintu.
“Gua barusan kena teror, Ji,”
“Teror gimana?”
“Iya. Tadi pas kita pulang, kan gua sempat bilang kalau ada yang ngikutin kita, kan?”
Saya hanya menganggukkan kepala.
“Ternyata dia ngikutin sampe rumah gua, Ji. Cewek, wujudnya nyeremin, Ji. Mana nangkring di atas pintu kamar gua lagi.”
Saya agak susah mencerna kalimat Rifki. Sekitar 30 menit kemudian, Aldi dan Rendi juga datang ke rumah saya karena hal yang sama. Mereka bertiga ketakutan.
Rifki diganggu sama yang wujudnya cewek. Perabot rumah Aldi berantakan. Aldi juga disambit batu dari arah halaman rumah. Rendi, dia mendengar suara-suara di kamarnya, tapi nggak ada orang rumah yang dengar. Jadi, diri hari itu, kamar saya disesaki cowok berandal yang nggak percaya setan, tapi ketika digangguin pada lari ketakutan.
Mulai malam itu, hari demi hari dilalui dengan ketakutan. Cuma saya yang nggak diganggu. Mungkin sudah diganggu, tapi saya memilih nggak peduli. Selama belum bisa melihat wujud mereka, saya tidak akan pernah percaya.
Kami berempat tahu ini semua pasti ada kaitannya sama boneka jelangkung yang kami buang. Ketika gangguan demi gangguan bikin ketiga teman saya stres, keluarga kami sepakat untuk ketemu paranormal, masih saudara sama Aldi.
Kecurigaan kami ternyata benar. Selain sembarangan membuang boneka jelangkung, arogansi kami juga jadi penyebabnya. Menantang itu tidak pernah baik ujungnya.
Singkat kata, kami berempat harus mengambil kembali boneka jelangkung yang telah kami buang entah di mana.
Aldi, Rifki, dan Rendi panik karena saya bilang lupa di mana saya membuang boneka jelangkung itu. Mereka bertiga memaksa saya untuk mengingatnya.
Ketimbang mencoba mengingat, lebih baik saya langsung mencarinya saja. Begitulah yang saya pikirkan. Sudah jelas, tempat pertama kami mencari adalah tempat tiga hari lalu kami berempat memainkan permainan itu. Menelusuri seluruh ruangan di bekas asrama itu dan hasilnya nihil, kami bahkan sampai mencarinya di tempat sampah.
Seingatan saya, saya membuangnya di tempat sampah depan asrama itu. Apa jangan-jangan sampahnya sudah diambil petugas? Nggak mungkin ah, sebab sampah-sampah makanan yang kami buang tiga hari lalu masih ada.
Aldi, Rifki, dan Rendi semakin panik ketakutan. Mereka memaksa saya untuk terus mengingatnya kembali. Karena sudah Maghrib, kami memutuskan untuk pulang dulu dan melanjutkan pencariannya besok sore sepulang sekolah. Omelan orang tua mewarnai hari-hari kami. Mau gimana lagi.
Malam itu, setelah sampai rumah, saya langsung mandi. Selepas mandi, ketika membuka lemari pakaian, saya dibuat terkejut. Boneka jelangkung itu sudah ada di dalam lemari pakaian saya. Saya terdiam, tapi jantung berdegub kencang. Antara kaget, takut, tapi nggak tahu harus ngapain.
Saya ingat betul nggak pernah membawa boneka itu pulang. Nggak mungkin juga saya menyimpannya di dalam lemari pakaian. Selama beberapa saat, saya dan bonek jelangkung itu seperti saling menatap. Saat itu, saya merasa ada yang mengawasi dari belakang. Namun, saya segera menepis rasa takut yang mulai muncul. Saya hubungi Aldi, Rifki, dan Rendi.
Kami memutuskan untuk membawa boneka jelangkung itu ke rumah paranormal yang masih bersaudara dengan Aldi. Saya membungkus boneka mungil itu dengan kain taplak meja. Karena tidak ada yang berani memegang, kami memasukkan boneka itu ke dalam jok motor.
Sesampainya di rumah paranormal, tanpa banyak bicara lagi, kami ditugaskan untuk membakar boneka itu. Tidak ada mantra yang dipakai. Kami membakarnya, beserta kain taplak yang kami pakai untuk membungkusnya. Kami tunggu sampai benar-benar habis terbakar dan menjadi abu. Anehnya, abu bekas pembakaran itu sedikit sekali. Paling cuma dua atau tiga jumput saja. Aneh sekali.
Setelah aksi yang bikin ketiga teman saya selesai, kami memutuskan untuk pulang. Sepanjang malam, mereka bertiga bercerita kalau tidak ada gangguan lagi. Keluarga kami juga bisa agak lega karena imbas kenakalan anak-anak mereka sudah beres… setidaknya buat mereka, bukan buat saya.
Malam itu, obrolan kami lewat chat selesai sebelum pukul satu malam. Saya sudah berusaha untuk tidur karena paginya harus sekolah. Namun, mata ini tidak ingin terpejam.
Pukul 1:10….
Samar-samar, saya mendengar suara dari luar rumah. Suara laki-laki. Memanggil nama saya.
“Aji… Aji….”
Pukul 1:20….
Suara panggilan itu terdengar lagi.
Malam itu, untuk kali pertama, saya merasa takut. Namun, saya ingat, rasa penasaran saya belum terpuaskan. Dan sialan, rasa penasaran itu yang lebih kuat terasa….
Pukul 1:25….
Saya beranjak dari tempat tidur dan memutuskan keluar kamar. Rumah sudah sepi. Semuanya sudah tertidur.
Saya tak ingat lagi pukul berapa ketika pintu depan saya buka. Di sana, di depan saya persis, saya melihat sosok laki-laki. Tingginya hampir sama dengan saya. Dari posturnya, rasanya kami sebaya. Dia menundukkan kepala, jadi saya tidak bisa melihat raut mukanya.
Bajunya kotor, sobek di beberapa tempat. Anehnya, saya seperti tidak asing.
“Mas, siapa, ya? Konyol sekali pertanyaan saya.
“Ji, tolong, Ji,” katanya sambil merintih. Saya bingung, kenapa dia meminta tolong seperti itu.
Saya berusaha mendekat untuk melihat wajahnya lebih jelas. Baru satu langkah, sosok itu mengangkat wajahnya.
Tubuh saya gemetar hebat. Saya tidak bisa menggerakkan kaki. Rasanya, seluruh indera saya mati rasa.
Sosok yang sekarang berdiri di depan saya adalah sahabat saya semasa masih SD. Meski sudah lama sekali tidak ketemu, saya masih bisa langsung mengenalinya dari suara dan bentuk tubuhnya. Sahabat saya ini sudah lama meninggal karena kecelakaan.
“Ji, tolong. Aji, aku nggak kuat. Aku nggak kuat. Aku nggak kuat di-bully teman-teman,” katanya pelan, seperti sedang menahan rasa sakit.
Saya tidak bisa bersuara dan masih gemetar hebat. Saya meneteskan air mata….
Rasa takut mulai terasa dominan, dan kini disusul penyesalan. Dulu, sahabat saya ini adalah korban perundungan semasa SD. Cukup parah dan sebagai sahabatnya, saya tidak berdaya. Mungkin, lebih tepatnya, saya tidak mau membantu. Saya tidak berdaya. Takut.
Hingga sekarang, saya masih belum bisa memaafkan diri sendiri.
“Maaf….”
Cuma itu yang bisa keluar dari mulut saya. Kini dia datang, meminta tolong, dan saya masih tidak berdaya. Dia mulai menangis. Merintih. Saya ikut menangis.
Karena tidak tahu harus bagaimana, saya mencoba memejamkan mata. Menurut cerita yang saya dengar, makhluk tak kasat mata bakal langsung hilang bila kita memejamkan mata. Informasi yang aneh.
Saya menutup mata perlahan. Seperti ada angin yang mendekat ke arah wajah saya. Saya putuskan untuk membuka mata. Namun, saat saya membuka mata, wajah hancur itu sudah berada persis satu jengkal di depan wajah saya.
“Tolong…,” dia berbisik.
Karena kaget, saya otomatis menutup mata kembali. Ketika saya membuka mata kembali, dia udah hilang. Namun, di tempat dia menghilang, tergeletak kain taplak hangus yang sebelumnya saya pakai untuk membakar boneka jelangkung.
Sampai sekarang, setiap malam Sabtu, terkadang, tercium bau hangus di mana saja saya berada….
BACA JUGA Adik dan Nenek Saya Kesurupan, Minta Digalikan Kubur Sampai Terbang di Dalam Rumah dan kisah menyeramkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.