MOJOK.CO – Kuntilanak bersusu besar itu marah anaknya dilukai kuli proyek. Ya seperti biasanya seorang ibu, yang marah ketika anaknya dilukai oleh orang lain.
Pembaca Mojok masih ingat dengan sosok Lik Par? Sosok “orang pintar” yang saya tulis di artikel “Pocong Melayang, Ritual Menyembah Setan, dan Harga Mahal yang Harus Dibayar”? Nah, berikut salah 1 keseharian Lik Par, yaitu bernegosiasi dengan makhluk halus. Kali ini, lawan negosiasinya adalah kuntilanak bersusu besar.
Sebelumnya saya mohon maaf tidak bermaksud mesum. Kuntilanak yang menjadi lawan negosiasi Lik Par memang begitu “kondisinya”. Ketika dalam kondisi “damai”, dia beberapa kali setor muka ke kuli-kuli yang sedang mengerjakan proyek sebuah kantor pemerintah. Saat itu, dia menunjukkan wajah yang sungguh aduhai memang. Cantik, seperti blasteran Sunda-Jawa. Dan ya, memang, susunya besar dan bulat sentosa.
Kuli di proyek pemerintah itu mungkin sudah agak terbiasa dengan gangguan yang terjadi. Asal tidak mengganggu, kata mereka. Untung saja, salah satu kuli senior di sana selalu mengingatkan anak buahnya untuk tidak menyimpan pikiran mesum selama bekerja. Sekali lagi, intinya, jangan ganggu dan bekerja sewajarnya saja.
Kuntilanak bersusu besar itu sering menampakkan diri menjelang dini hari. Biasanya menampakkan diri ketika ada kuli yang terbangun lalu pergi kencing. Awalnya tentu para kuli agak risih. Namun, karena jalannya proyek tidak terganggu, mereka tidak mempermasalahkannya.
Oya, kenapa saya bisa tahu secara agak detail? Om saya yang pensiunan polisi itu kebetulan dimintai tolong mencarikan orang untuk jaga malam di depan proyek. Ada 1 orang pemuda setempat yang Om saya tunjuk. Sesekali Om saya ikut njagongi sampai tengah malam dan saya karena gabut, saya ikut ke sana.
Lagipula, di sana, ada satu kesenangan ketika ikut jaga malam, yaitu makan enak. Salah satu kuli di sana berasal dari Wonogiri dan pandai betul memasak mangut lele. Mangut masakannya sungguh menggugah selera, menggunakan banyak daun kemangi, pedas menantang, gurihnya pas, dan tidak terlalu manis.
Apalagi lele yang digunakan diasap terlebih dahulu. Bayangkan, kuli mengasap lele dengan bahan seadanya di tengah proyek pembangunan. Makan mangut lele yang sedap betul lalu digelontor anggur merah yang dicampur bir. Malam-malam yang penuh kenikmatan.
Kembali ke soal susu besar… ah maaf, kuntilanak blasteran Sunda-Jawa itu. Sebelum terjadi keonaran beberapa hari kemudian, Lik Par juga yang menyediakan segala sesajen untuk proyek itu itu. Yah, kau tahu, saya dan Om saya memang masih bersaudara dengan Lik Par.
Selama dua bulan jalannya proyek, tidak ada peristiwa yang boleh dibilang “bikin cemas”. Hingga suatu saat, cor-coran ring balk pondasi bangunan tidak kunjung kering. Ring balk bangunan adalah cor-coran semen yang posisinya “tidur”. Kalau yang berdiri namanya “kolom”.
Pondasi yang bermasalah itu ada di sisi selatan agak kebelakang bangunan. Ketika cor-coran semen dituangkan, tidak terlihat ada masalah. Namun, seiring waktu, di mana cor-coran itu seharusnya kering, ternyata tetap basah. Kuli di sana menyebutnya, “Ambrol, padahal seharusnya sudah kering.” Kasak-kusuk soal gangguan makhluk halus mulai berdengung.
Mandor proyek di sana tidak ingin para pekerjanya langsung menaruh curiga seperti itu. Mungkin saja adonan semennya memang tidak bagus. Anggapan ini tentu saja agak melukai harga diri para kuli yang sudah berpengalaman. Apalagi sebagai kelompok kuli yang selama ini menggarap proyek pemerintah, mereka belum pernah gagal.
Lebih dari 1 minggu proyek itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Cor semen tidak juga mengering. Setelah menggelar rapat terbuka, kuli senior di sana mengusulkan menggunakan jasa Lik Par, yang sebelumnya menyiapkan sesajen proyek itu.
Lik Par dengan senang hati membantu. Apalagi dia juga merasa enggak enak hati. Jangan-jangan sesajen yang dia siapkan kurang lengkap. Maka, sore setelah rapat terbuka itu, Lik Par datang.
Menjelang maghrib, Lik Par berjalan mengelilingi proyek. Dia berjalan tanpa alas kaki. Ada satu hal yang perlu kamu ketahui. Mata Lik Par ini sudah lama agak bermasalah. Bisa kamu bilang agak rabun. Oleh sebab itu, para kuli sempat memperingatkan Lik Par untuk mengenakan alas kaki ketika keliling proyek. Jaga-jaga supaya tidak menginjak paku atau tergores benda tajam. Lik Par justru gusar diperingatkan seperti itu.
“Menengo wae. Tenang.”
“Paku, lho, Lik. Tetanus engko.”
“Wis to.”
Begitulah.
Maghrib itu, Lik Par menghabiskan waktu 30 menit untuk berkeliling proyek. Di beberapa titik, dia berhenti dan terlihat sedang mengobrol dengan seseorang. Padahal tidak ada siapa pun di sana.
Lokasi proyek yang gelap menjadi terang setelah beberapa lampu penerangan dinyalakan. Proyek itu memang dikerjakan siang dan malam. Istilahnya: dilembur. Biasanya sampai pukul 10 malam.
Setelah kembali dari “sidak 30 menit”, Lik Par berpesan untuk mematikan semua lampu. Pokoknya kondisinya harus gelap gulita. Mandor dan para kuli saling bertatapan muka. Ternyata benar, ada gangguan makhluk halus dan tersangkanya kuntilanak bersusu besar itu.
Sebelum memulai “proses negosiasi”, Lik Par menceritakan apa yang terjadi. Begini penuturannya.
“Ada anak kecil yang terluka di sana. Dia kejatuhan kaso yang dipasang kuli. Masalahnya, kuli itu tidak sadar kaso yang dia pasang tidak cukup kuat. Simbok dari si anak ini marah besar. Siapa simboknya? Ya kuntilanak Sunda-Jawa yang biasanya terlihat ayu itu.”
“Terus gimana, Lik? Perlu ritual?” Mandor itu bertanya dengan wajah agak gusar.
“Ritual opoh! Ini arek tak ajak ngobrol,” kata Lik Par dengan enteng. Setelah berkata seperti itu, Lik Par menyalakan hio atau dupa besar. Menjelang pukul 8 malam, ketika keadaan sudah sepenuhnya gulita, Lik Par berjalan kembali masuk ke kegelapan itu.
Sekali lagi, ingat, mata Lik Mar sudah agak bermasalah. Dia tidak bisa melihat dengan jelas di tengah kegelapan. Namun, malam itu, dia berjalan santai saja menembus kegelapan. Mandor, kuli senior, Om saya, dan saya sendiri mengekor dari belakang. Tidak boleh ada menyalakan senter.
Kami berempat berjalan sangat hati-hati. Takut tersandung balk lainnya yang sudah mengering. Di pojokan selatan bangunan, Lik Par berhenti dan memasang hio di dekat balk yang bermasalah itu. Dia memberi isyarat bagi kamu untuk mendekat tapi jangan bersuara.
Untuk pertama kalinya sepanjang hidup, saya melihat penampakan itu terjadi. Pertama-tama, ada kabut yang menggumpal dari arah belakang balk bermasalah itu. Lama-lama, kabut itu membentuk sosok. Mula-mula pundak terlebih dahulu, tubuh bagian bawah, kaki, kemudian baru kepala yang terlihat samar-samar.
Ingatan akan kuntilakan di proyek itu yang tersimpan di kepala saya adalah gambaran perempuan cantik blasteran Sunda-Jawa dengan susu yang besar. Namun, yang muncul di hadapan saya adalah perempuan dengan wajah menyeramkan.
Matanya merah gelap, hidungnya bengkok ke kiri secara paripurna, mulutnya lebar seperti disobek secara paksa dari telinga ke telinga, taringnya menyembul dari dua sisi bibir, badannya kurus kering. Dan soal susunya yang besar dan bulat sentosa itu sepenuhnya salah belaka. Susunya memang besar, tapi menjuntai ke bawah. Hampir menutupi semua tubuh bagian atas.
Kuntilanak itu mengenakan gaun berwarna merah yang bagian depannya terbuka. Merah gelap seperti sorot matanya. Konon katanya, kuntilanak merah adalah salah satu jenis kuntilanak paling kuat. Dan ya, untuk hal ini saya nggak mau berdebat. Tekanannya sangat kuat, nggak cuma bikin merinding, tapi sampai perut saya mulas. Di samping bau busuk yang kini mendominasi itu.
Lik Par berdehem, lalu membalikkan badannya. Dia berbisik, sekali lagi memperingatkan kami untuk tidak bersuara atau membantah. Pokoknya diam saja.
Lagipula, melihat sosok kuntilanak merah itu, siapa yang berani membantah apa pun yang dia ucapkan. Kalau diizinkan, malah saya ingin segera angkat kaki saja.
Lik Par kembali berdehem sebelum membuka “negosiasi” dengan seorang simbok gaib yang tengah rungsing itu. Di sini saya harus minta maaf kepada pembaca karena Lik Par tidak mengizinkan saya menuliskan detail “negosiasi” yang terjadi. Apalagi menyadur kalimat per kalimat.
Intinya, negosiasi itu dilakukan dalam bahasa Jawa halus yang tidak terlalu saya mengerti. Lagian itu bukan bahasa Jawa halus yang saya pelajari selama ini. Konon, itu jenis bahasa Jawa lawas yang tidak banyak dikuasi orang Jawa.
Beberapa kata bisa saya pahami, yang intinya, mewakili mandor dan proyek ini, Lik Par minta maaf karena salah satu kuli di proyek ini melukai anaknya. Lik Par juga meminta kuntilanak itu untuk tidak marah lagi karena kejadiannya tidak disengaja. Lik Par juga menjanjikan sebuah tempat yang nyaman bagi kuntilanak itu. Supaya anaknya bisa bermain tanpa terganggu lagi.
Kalau saya tidak salah mengira, negosiasi antara Lik Par dan kuntilanak itu tidak lebih dari 15 menit. Namun, hio besar yang ditanam Lik Par itu sudah terbakar habis. Hio besar, misalnya merek Lao Shan Tan Xiang, bisa terbakar sampai 12 jam. Malam itu, hanya butuh 15 menit, dupa besar itu habis terbakar.
Ketika kembali ke pos penjagaan, para kuli menampakkan muka agak khawatir. Ternyata, kata mereka, kami sudah pergi cukup lama. Kami masuk ke proyek sekitar pukul 8 dan keluar pukul 10.30. Gila, 2 jam 30 menit! Padahal saya merasa cuma 15 menit saja.
Setelah beristirahat sebentar, Lik Par menceritakan apa yang terjadi. Intinya, pertama, dia mewakili proyek ini, sudah minta maaf karena ketidaksengajaan kuli. Kuntilanak itu menerima permintaan maaf itu. Kedua, Lik Par menjanjikan tempat yang nyaman bagi simbok yang tengah rungsing itu. Jadi, para kuli tak perlu khawatir.
“Dipindah ke mana, Lik? Yang agak jauh aja biar aman,” tanya salah 1 kuli.
“Tenang. Tak pindah ke pohon mangga di belakang proyek itu. Nggak bakal ganggu, kok. Kecuali kamu celutak ngambil mangga tanpa permisi. Nanti tititmu dipindah ke jidat,” kata Lik Par yang disambut gelak tawa kuli lainnya. Dia yang tadi bertanya jadi mengkeret dan tersenyum kecut.
“Kok cuma dipindah ke sana, Lik?” Kali ini mandor yang bertanya.
“Aku kalah tua. Nggak boleh nranyak, kurang ajar nyuruh pindah orang tua. Sudah kalah tua, kalah tenaga. Ini saja sudah beruntung mau pindah. Kalau nggak mau, proyek bisa gagal dan yang menjatuhkan kaso dibawa ke rumahnya.”
“Berarti sudah lama kuntilanak itu ada di sini?”
“Iya, Belanda belum masuk Indonesia saja dia sudah ada di sini. Dulu, di sini itu tanah kosong milik seorang jenderal. Rumahnya nggak jauh dari markas tentara dekat sini. Jogja juga. Nggak pernah berhasil kalau dibangun. Setelah dibeli pemerintah, baru kali ini ada pembangunan.”
“Kenapa kuntilanak itu betah di sini, Lik?”
“Hakikatnya ya sama kayak manusia to. Kalau sudah nyaman sama rumahnya pasti dipertahankan. Kalau anaknya luka karena orang lain, ya pasti marah. Untung dia sudah termasuk sepuh di alam sana jadi lebih mudah diajak bicara. Kalau masih muda, kerjaannya marah dan usil.”
Esok harinya, balk pondasi itu dicor lagi. Sorenya, ketika dicek kembali, sudah mengeras. Artinya, negosiasi itu berjalan lancar dan berhasil. Memakan waktu hampir 1 tahun, bangunan itu selesai dibangun tanpa insiden lagi.
Pohon mangga yang menjadi tempat tinggal kuntilanak merah itu masih ada. Terletak di belakang bangunan dan tidak tampak dari jalan. Tidak pernah juga ada gangguan kepada orang-orang yang beraktivitas di sana. Yang sudah tenang di rumah memang jangan diganggu.
BACA JUGA Pocong Melayang, Ritual Menyembah Setan, dan Harga Mahal yang Harus Dibayar dan pengalaman horor lainnya di rubrik MALAM JUMAT.