MOJOK.CO – Dilema. Melaksanakan ritual Petik Laut secara lengkap berhadapan dengan Covid-19. Tidak melaksanakan, risikonya sudah desa saya rasakan: kesurupan massal.
Sejak 21 Agustus 2020, kita sudah masuk periode bulan Suro. Banyak orang Jawa menganggap bulan ini sebagai periode sakral. Sebuah periode ketika banyak upacara adat digelar. Selain itu, ada banyak pantangan yang tidak boleh dilanggar. Misalnya, tidak boleh menikah, tidak boleh pindah rumah, dan lain sebagainya.
Di desa kami, di Banyuwangi, ada sebuah upacara adat yang digelar kala Suro datang. Upacara adat yang dimaksud adalah Petik Laut. Nelayan di desa kami melarung sesaji berupa kepala kerbau atau lembu ke laut lepas. Upacara adat ini adalah bentuk rasa syukur atas hasil laut yang didapat selama setahun terakhir, sekaligus doa supaya hasil laut tahun berikutnya melimpah.
Hampir semua warga sibuk menyiapkan Petik Laut. Maklum, beberapa hari sebelum Petik Laut, segala aktivitas di desa harus berhenti sejenak. Sayangnya, ada satu pabrik pengalengan ikan yang tidak patuh dengan kebiasaan di desa saya. Satu hari sebelum Petik Laut, pabrik tersebut masih beroperasi.
Tidak patuh dengan adat berbuntut panjang. Siang hari, di tengah jam kerja, ketika pabrik sibuk beroperasi, kesurupan massal terjadi. Kesurupan massal diawali oleh beberapa karyawati. Secara tiba-tiba, mereka terdiam mematung. Ketika ditegur, mereka diam saja tidak merespons.
Beberapa menit kemudian, kesurupan massal mulai merembet, “menempeli” lebih banyak karyawan, laki-laki dan perempuan. Semuanya diam mematung, tidak merespons ketika dipanggil namanya.
Setelah semakin banyak menjadi “korban” kesurupan massal, rombongan karyawan itu mulai menari! Kompak, mereka menarikan sebuah tari tradisional. Mata mereka kosong, raut muka begitu datar. Tanpa ekspresi, mereka menari luwes sekali.
Beberapa saat kemudian, wajah yang datar itu berubah. Senyum manis khas penari tradisional mulai tersungging. Karyawan lain yang kebetulan tidak menjadi korban kesurupan massal tidak lagi bingung, tetapi ketakutan. Mereka minggir, ke tepian pabrik, memberi tempat kepada rombongan tari korban kesurupan massal itu.
Suasana yang bisa digambarkan, kira-kira begini:
Karyawan pabrik yang tidak menjadi korban kesurupan massal menepi membentuk semacam lingkaran. Sementara itu, para korban kesurupan massal menari di tengah lingkaran seperti pertunjukan tari. Namun, mereka yang berada di tengah tidak punya kontrol atas dirinya sendiri.
Keamanan pabrik langsung memanggil beberapa “orang pintar” untuk membebaskan karyawan pabrik dari kesurupan massal. Satu per satu karyawan yang tengah “menari” didekati dan dibacakan ayat-ayat. Butuh waktu agak lama untuk membebaskan banyak orang.
Selang beberapa waktu, hanya tinggal satu karyawati yang masih aktif menari dengan wajah datar tetapi senyum manis tersungging di bibirnya. Pemandangan yang bikin bulu kuduk berdiri.
Ternyata, membebaskan satu karyawati ini tidak semudah membebaskan lainnya dari kesurupan massal. Ketika didekati oleh beberapa orang pintar, karyawati itu malah bernyanyi, atau lebih tepatnya nyinden. Beberapa orang pintar itu menjadi agak gentar dan membiarkan sosok di dalam karyawati itu selesai nyinden.
Selesai nyinden, sosok tersebut berteriak. Ngamuk. Dia berpesan untuk mematikan mesin dan menghentikan segala aktivitas pabrik karena besok cucunya akan punya hajat. Cucunya? Siapa dia?
Sebelum keluar dari tubuh karyawati, sosok itu bilang, “Omahku nang dasar bumi. Omahku saiki kelangkaan sewu uwong!” (Rumahku ada di dasar bumi. Rumahku sekarang kekurangan seribu orang!).
Mendengar kalimat itu, beberapa orang pintar makin tidak berani mendekat. Wajah mereka pucat pasi. Maklum, siapa yang tidak takut ketika mendengar kalimat yang terdengar seperti permintaan akan tumbal itu. Bayangan akan bencana atau malapetaka mungkin saja muncul. Apakah kalimat itu hanya sebatas peringatan atau gambaran peristiwa yang akan datang? Tidak ada yang tahu.
Mungkin, beberapa orang pintar itu tahu identitas sosok yang merasuki karyawati pabrik dan tidak berani melawannya. Mereka hanya bisa menunggu sosok itu pergi.
Semua orang paham bahwa tidak ada kejadian tanpa sebab. Rangkaian Petik Laut yang dipangkas karena Covid-19 diperkirakan menjadi penyebab kesurupan massal. Sebelum hari Petik Laut memang ada ritual yang tidak dilaksanakan. Kalau melaksanakan ritual secara lengkap, bahaya Covid-19 di depan mata. Ketika tidak dilakukan, risikonya sudah dirasakan warga di desa saya.
Nasi sudah menjadi bubur. Warga, disertai para tetua desa hanya bisa berdoa kepada Tuhan minta keselamatan. Semoga semua makhluk hidup di desa saya, dan di Indonesia, berbahagia dan selamat. Amin.
BACA JUGA Ringkasan Cerita ‘KKN di Desa Penari’ buat Para Pemalas dan Penakut atau cerita kesurupan massal lainnya di rubrik MALAM JUMAT.