MOJOK.CO – Saya dan Urya sepakat untuk nggak lagi pacaran di ruang Osis. Pindah ke warung makan depan sekolah. Sambil makan bakso kayaknya lebih aman.
Perkenalkan nama saya Ita. Cerita ini adalah kisah saya saat masih duduk di bangku SMA kelas X. Remaja, seorang remaja yang selalu yang ingin mencoba hal baru. Salah satunya, pacaran.
Saat itu, untuk kali pertama, saya jatuh cinta kepada seorang kakak kelas, namanya Urya. Sebenarnya, kami sudah saling mengenal sejak sekolah dasar. Namun, setelah tamat SD, Urya melanjutkan ke SMP B, sedangkan saya ke SMP A. Kami dipertemukan lagi ketika SMA.
Urya adalah kakak kelas yang juga anggota Osis, sedangkan saya adalah anak baru. Sejak awal masuk di SMA itu, saya sudah mulai jatuh cinta dengan Urya. Dia adalah kakak Osis paling baik dan kalem ketika ospek.
Di hari terakhir ospek, ada tugas membuat 1 surat benci dan 1 surat cinta untuk diberikan ke kakak Osis. Saya berikan surat cinta itu kepada Urya. Setelah ospek selesai, ternyata Urya merespons surat saya. Betapa senang dan berbunga-bunganya hati ini.
Awalnya, kami memulai komunikasi lagi di Facebook, hingga akhirnya saling bertukar nomor hape. Saya senang sekali.
Sejak bertukar nomor hape, setiap hari kami berkomunikasi lewat sms. Sekadar menanyakan kabar, kegiatan sekolah, sampai kegiatan di rumah. Sebenarya, kami jarang ketemu di sekolah karena dia anggota Osis yang super sibuk dengan kegiatannya. Jadi, saya mencari cara biar bisa sering-sering deket sama dia.
Suatu saat, ada perekrutan calon anggota Osis. Ini adalah kesempatan bagi saya untuk ikut bergabung. Setelah melalui seleksi panjang, saya bisa bergabung menjadi anggota baru. Setelah melalui penggodokan dan pelantikan, saya resmi menjadi anggota Osis.
Kegiatan kami di Osis memang sangat banyak. Bahkan kami sering meninggalkan jam pelajaran demi menyukseskan kegiatan-kegiatan sekolah. Berkat kegiatan yang begitu banyak itu, saya jadi semakin sering ketemu Urya di ruang Osis.
Hingga akhirnya, Urya mengungkapkan rasa cintanya kepada saya.
“Kita sudah lama saling kenal, kamu mau jadi pacar kakak?”
“Yaa…,” tanpa banyak mikir, saya jawab dengan gembira.
Setelah resmi pacaran, saya dan Urya sering menghabiskan waktu bersama, terutama di ruang Osis. Saya dan Urya memang sering pulang paling akhir. Jadi, kunci ruangan itu pun kami yang pegang. Dan….kayaknya penunggu di ruang itu nggak suka ada yang pacaran di sana, deh.
Sudah banyak senior kami yang cerita kalau ruangan itu memang ada penunggunya. Katanya, yang menunggu ruangan itu adalah sesosok perempuan cantik dengan rambut panjang.
Suatu ketika, setelah bel pulang sekolah berbunyi, saya dan Urya singgah ke ruang Osis untuk rapat pentas seni. Setelah selesai rapat, semua teman-teman langsung pulang. Namun berbeda dengan saya dan Urya, yang ingin menghabiskan waktu berdua saja. Padahal saat itu sudah pukul 17.30 petang.
Ketika asyik mengobrol di ruangan itu, tiba-tiba ada yang memanggil saya.
“Ita…Ita…pulang.”
Suara itu mirip sekali sama suara kakak sepupu saya, Ida, yang juga anggota Osis. Saya kaget, dong, karena Ida sudah pulang duluan sejak tadi.
“Kakak dengar suara itu?” Tanya saya kepada Urya.
“Iya, dengar. Kamu disuruh pulang sama Ida. Tapi….”
“Iya, Ida udah pamit pulang sejak tadi, kan,” saya memotong kalimat Urya yang belum selesai diucapkan.
Sedetik kemudian, kami sama-sama berdiri dan melongok keluar ruang Osis. Kami berharap melihat Ida di sana. Namun, sekeliling ruang itu sepi saja. Degdegan yang saya rasakan semakin kencang. Saya meraba-raba ke kantong tas sebelah kanan, mencari kunci ruangan Osis. Saya biasa menyimpan kunci itu di sana. Namun, entah kenapa, saya tidak bisa menemukan kunci itu.
“Coba dicari di kantong sebelah,” kata Urya ketika melihat saya panik merogoh kantong tas.
“Udah, enggak ada juga. Biasanya ada di sebelah kanan, Kak.”
Urya malah ikut panik. Ikut merogoh kantong di tasnya. Padahal, kami tahu, kalau kunci ruang Osis selalu saya pegang. Tidak mungkin tiba-tiba ada di tas Urya. Semakin panik, saya menelepon Ida dan menceritakan kejadian yang kami alami. Benar, Ida sudah sampai rumah.
Bukannya ngasih saran, Ida malah ikut panik. “Kalian, sih, malah pacaran di ruang Osis, sampai mau malam, lagi.”
Ketika Ida sedang bersemangat memarahi saya, suara itu terdengar lagi….
“Pulang….”
Sebetulnya suara itu lirih saja, tetapi kok rasanya dekat sama telinga saya. Urya, di belakang saya diam mematung.
“Nggak usah dikunci, deh. Yuk, tinggal pulang saja.” Saya, yang nggak bisa menemukan solusi lain menurut saja. Pulang, saya sudah takut setengah mati.
Keesokan paginya, seorang kakak kelas datang menghampir saya di kelas.
“Ta, pinjam kunci ruang Osis. Mau ngambil poster pensi.”
“Duh, kuncinya ilang, Kak,” kata saya terbata-bata sambil takut dimarahi.
“Yah, Repot, nih. Kok bisa ilang, sih?” Tanya kakak kelas.
“Nggak tahu, Kak. Biasanya, tuh, saya simpan di sini,” kata saya sambil merogoh kantong tas sebelah kanan, “tapi kok nggak ad….”
Saya terdiam.
Pagi itu, ketika merogoh kantong tas sebelah kanan, kunci ruang Osis ada di sana. Padahal, petang kemarin, saya dan Urya sudah merogoh kantong itu beberapa kali.
“Kok diem aja, Ta. Gimana, nih….”
“Kak, kuncinya ada,” jawab saya sembari mengangsurkan kunci itu ke tangan kakak kelas.
“Duh, dasar. Nggak jelas kamu,” kata kakak kelas sambil berlalu pergi.
Saya nggak peduli bel masuk kelas berbunyi. Saya pergi ke kelas Urya untuk bercerita. Setelahnya, saya dan Urya sepakat untuk nggak lagi pacaran di ruang Osis. Pindah ke warung makan depan sekolah. Sambil makan bakso kayaknya lebih aman.
BACA JUGA Ketika Kuntilanak Menyamar Jadi Santri di Pondok Pesantren atau pengalaman dikerjai kuntilanak lainnya di rubrik MALAM JUMAT.