MOJOK.CO – Rombongan kami seperti dikejar oleh “sesuatu” yang bergerak dengan cepat ketika turun dari Gunung Sindoro. Lelah, terteror, tersesat.
Ketika melakukan perjalanan, khususnya pendakian, segala sesuatunya harus direncanakan dengan matang. Ingat, meskipun segala sesuatunya sudah terkonsep dan terancang, kejadian tidak mengenakkan masih bisa terjadi. Apalagi jika tidak dipersiapkan dan di Gunung Sindoro kami merasakannya.
Kami bersembilan mengalaminya ketika mendaki Gunung Sindoro. Saya, Akmal, Jojo, Fajri, Irwan, Gusti, Laras, Sekar, dan Sani naik Sindoro via Alang-Alang Sewu. Kejadian janggal itu kami alami ketika perjalanan turun.
Kami sudah menentukan waktu untuk turun dari Gunung Sindoro, yaitu selepas azan Ashar. Oleh sebab itu, sorenya, kami sudah mulai packing dan memeriksa kembali peralatan yang kami bawa. Beberapa dari kami berkeliling area kemah untuk memastikan tidak ada yang tertinggal, termasuk sampah. Setelah itu, foto-foto ala kadarnya.
Bekal air yang menipis
Setiap kami melakukan pendakian, terutama Jojo, dia yang selalu inisiatif untuk menyimpan beberapa botol minum untuk persediaan ketika turun. Seingat saya, kami menyimpan 2 botol di patok (penanda jalan). Namun, saya lupa di patok ke berapa. Untung Jojo ingat ketika kami berjalan mengambil persediaan air itu.
Kami memang agak ceroboh soal air. Bekal kami masing-masing sudah habis sebelum turun. Oleh sebab itu, bersembilan mengandalkan 2 botol yang saya dan Jojo ambil tadi. Belum setengah perjalanan turun dari Gunung Sindoro, dua botol tersebut sudah habis. Suram.
Demi menghemat energi dan supaya tidak lepas haus, kami memutuskan berhenti sejenak. Jojo bilang kalau dari tempat kami istirahat, kurang lebih 100 meter, ada mata air. Kami istirahat di sebuah lokasi yang bernama Simpang Nggopitan.
“Sini, biar aku saja yang ambil air.” Sambil meraih 1 botol kosong, saya berseru kepada semuanya.
“Jangan. Ayo bareng saja. Jangan sendirian,” kata Jojo yang bangkit dari duduknya lalu menemani saya menuju mata air.
Jalan setapak menuju mata air sangat sempit. Saking sempitnya, jalan setapak itu hanya bisa dilewati 1 orang saja. Sebelah kiri adalah tebing dengan rumput serta lumut hijau mendominasi. Sebelah kanan kami adalah ilalang lebat dan jurang yang siap menyambut. Kondisi Gunung Sindoro saat itu yang masih kemarau membuat debu tanah sesekali terbawa angin.
Saya masih ingat betul saat itu saya mencoba meningkatkan kewaspadaan. Namun, ada saja kejadian yang bikin kaget. Karena tidak awas, kaki saya terjerembab ke ilalang lebat tepat di bibir jurang. Saya langsung tidak berkutik. Sulit sekali menggerakkan kaki. Saya sempat berusaha untuk bangun sendiri, tapi tidak bisa. Untung saja di sana ada Jojo yang menarik tangan saya.
Memang benar adanya. Jauh atau dekat kita di gunung, janganlah sendirian. Tidak ada yang tahu “sesuatu di depan” yang akan menyambut kita. Hanya Gusti Allah yang tahu.
Kalut
Saya mencoba berdiri sambil memeriksa kondisi kaki saya. Aman, tidak ada yang terkilir. Hanya balutan tanah cokelat yang mengotori celana saya. Kami berdua melanjutkan perjalanan.
Langit sore mulai menguning dan kumandang ayat-ayat suci dari toa masjid sedikit terdengar. Medan yang agak berat membuat perjalanan kami menuju mata air agak tersendat. Membuat kami harus bertemu Maghrib. Padahal, semua penerangan ada di teman-teman yang istirahat.
Semakin mendekati mata air, jalan mulai tertutup ranting-ranting pohon kecil. Cahaya yang minim membuat suasana agak berbeda. Tas carrier yang saya bawa, beberapa kali tersangkut ranting.
“Ayo balik!” Tiba-tiba Jojo memberi perintah dengan suara keras.
“Nanti dulu, tanggung. Kayaknya udah deket mata airnya,” tolak saya yang khawatir karena kami tidak punya persediaan air.
Sebetulnya saya pribadi juga takut ketika Jojo tiba-tiba berteriak. Saya sudah merasa janggal karena jarak 100 meter yang kami tempuh agaknya terasa jauh sekali. Ngotot, 3 kali sudah Jojo memberikan instruksi untuk kembali.
Sudah 3 kali diperingatkan, saya nggak mau membantah lagi, deh. Kami berbalik arah dan yang tadinya saya di depan, sekarang gantian Jojo. Waktu itu, saya memprediksi Jojo khawatir karena jalur sempit, ada jurang, dan tanpa penerangan. Terjebak sampai malam di sini bukan kabar baik.
Kami berjalan dengan kecepatan normal karena harus waspada jurang. Setelah berjalan beberapa saat dalam keheningan, tiba-tiba Jojo menoleh ke belakang lalu berbisik ke saya, “Minggir.”
“Kenapa?” Saya bertanya dengan penuh rasa heran. Saya langsung berpikir kalau mungkin di depan ada rombongan pendaki Gunung Sindoro yang mau mengambil air.
“Minggir.” Lagi-lagi Jojo berbisik, tapi tidak ada rombongan yang berselisih jalan dengan kami.
“Minggir!” Untuk ketiga kalinya Jojo memberi perintah. Masih sambil berbisik, tapi nada bicaranya meninggi.
Kejanggalan yang semakin terasa
Malas berdebat, saya segera menyandarkan tubuh ke tebing. Jojo juga melakukan hal yang sama. Untuk sesaat, dia memegang erat pergelangan tangan saya. Hal itu dia lakukan untuk memastikan saya tidak bergerak. Saya tidak bisa melihat sesuatu yang melintas. Tapi, melihat gaya kami berdua, seolah mempersilakan orang atau “sesuatu” untuk melintas.
Tiba-tiba ada “sesuatu” yang lewat dengan kecepatan tinggi. Ilalang lebat itu bergoyang seperti terkena terpaan angin kencang.
Jojo, lagi-lagi memberi perintah dengan berbisik. Nadanya tinggi, “Lari!!!”
Antara bingung, takut, penasaran, dan heran, saya ikut lari membarengi langkah kencang Jojo. Beban carrier di pundak membuat pergerakan sedikit terhambat dan tidak bisa lari dengan kencang. Ditambah pergantian dari yang tadinya saya memakai sandal gunung ke sepatu. Sepatu Sekar yang saya kenakan agak kekecilan. Jadilah ini salah satu penghambat saya untuk lari.
Jojo sudah di depan dengan jarak cukup jauh. Ketika kami sampai di Simpang Nggopitan, Jojo memukul sekenanya teman-teman kami yang sedang istirahat. Mereka juga kebingungan.
Kali ini Jojo tidak lagi berbisik. Dia berteriak.
“Lari! Bangun, ayo cepat lari!”
Semua bangun dengan cepat dan ikut berlari. Raut wajah heran bergelayut.
Saya melihat Akmal dan Sekar adalah 2 orang yang paling cepat menyusul Jojo. Di detik ini, tiba-tiba muncul rasa aneh di dalam dada saya. Rasanya ada yang nggak beres.
Pasalnya, ketika saya dan Jojo keluar dari jalur menuju mata air, lalu ancang-ancang untuk berlari turun, Sekar ada di belakang saya. Beberapa kali dia menepuk pundak saya supaya saya tidak berlari terlalu kencang. Kenapa di depan rombongan kami ada Sekar (yang lain?).
Jojo kenapa?
Jojo berlari benar-benar seperti diburu oleh “sesuatu”. Wajahnya pucat dan kosong. Fokus mata tertuju ke bawah untuk mengontrol kaki supaya tidak tersandung akar pohon atau batu. Tepat di belakang Jojo adalah Sekar, Akmal, dan saya. Posisi saya dan Akmal bisa dibilang cukup jauh. Sampai saya harus berhenti beberapa kali karena kaki saya sakit sekali.
Lantaran saya tidak kuat lagi berlari dengan cepat, rombongan kami terpecah jadi 3 rombongan kecil. Rombongan depan ada Jojo, Sekar, dan Akmal. Rombongan tengah adalah saya sendirian. Sementara itu, rombongan belakang ada Laras, Sani, Gusti, Fajri, dan Irwan.
Saya berlari dengan susah payah, apalagi Gunung Sindoro makin gelap. Anehnya, ada seekor burung yang turun ke tanah dan seperti mengarahkan langkah saya.
Supaya tidak tersesat, saya sempat menggunakan HT untuk menghubungi rombongan depan. Namun sial, HT tidak berfungsi karena frekuensi berpindah sendiri. Seharusnya, jika frekuensi berubah, HT akan mengeluarkan bunyi sebagai tanda. Nah, kali ini tidak ada bunyi yang saya dengar.
Ketika memutuskan untuk turun dari Gunung Sindoro, kami sudah mengatur frekuensi HT ke frekuensi 10. Namun, ketika berlari sendirian itu, frekuensi HT berpindah ke frekuensi 9. Saya berhenti dan memutuskan untuk mengambil napas. Mencoba menenangkan diri, saya otak-atik lagi frekuensi HT.
Di depan saya ada 2 persimbangan dan saya tidak tahu harus memilih yang mana. Hampir saja saya putus asa ketika tiba-tiba HT saya berbunyi dan suara Jojo terdengar. Dia meminta saya untuk menunggu kawan-kawan yang tertinggal. Saya cuma bisa iya-iya saja. Saya hanya bisa duduk sambil ditemani burung aneh yang tidak saya tahu jenisnya.
Tidak lama kemudian, rombongan belakang akhirnya sampai. Saya bertanya ke Irwan, mana jalan yang seharusnya dilewati. Dia bilang yang kanan, karena yang sebelah kiri sudah tidak terpakai. Pesan Jojo untuk menunggu teman-teman yang di belakang seolah sinyal untuk saya supaya tidak tersesat di jalur pendakian Gunung Sindoro.
Teror yang mulai menanjak
Setelah sejenak mengambil napas, kami lanjut jalan dalam kondisi gelap. Penerangan hanya dari senter dan sinar bulan. Dari HT kami menerima kabar kalau Jojo, Sekar, dan Akmal sudah sampai di Pintu Rimba. Sementara kami yang masih terpaut jauh berjalan dengan kewaspadaan tinggi. Pokoknya keselamatan yang utama.
Agak lama berjalan, akhirnya kami sampai di Pintu Rimba. Jojo sudah tidak berkata apa-apa. Saya sendiri juga tidak berani bertanya. Akmal dan Sekar sibuk mengatur napas. Selepas sampai di pintu Gunung Sindoro, kami memutuskan untuk menyewa ojek. Supaya lebih aman dan cepat karena hari sudah malam.
Sesampainya di basecamp, kami disambut oleh suasana sepi. Rombongan kami adalah yang terakhir turun dari Gunung Sindoro. Barang-barang yang kami bungkus kardus dan dititipkan di basecamp mulai kami bongkar.
Ketika sibuk membongkar kardus, tiba-tiba Jojo berteriak, “Ular!”
Saya dan Akmal bergerak cepat memastikan keberadaan ular itu. Namun, hanya untaian ilalang yang kami temukan. Kami curiga kalau ilalang itu tersangkut di lengan Jojo ketika dia berlari tadi. Setelah situasi mereda, kami sibuk dengan barang masing-masing. Suasana jadi sepi lagi.
Sekar dan Sani Pamit terlebih dahulu. Mereka tidak 1 arah dengan kami. Rombongan lainnya masing saling menunggu selesai merapikan barang pribadi lalu bergantian mandi.
Setelah beres, kami membagi siapa membonceng siapa. Saya berboncengan dengan Fajri, Laras dengan Gusti, Akmal dengan Irwan, sementara Jojo sendirian. Jalur yang akan kami tempuh juga disepakati.
Tersesat atau disesatkan?
Mengingat kejadian ban motor Jojo meletus di jalur Kebumen-Wadaslintang, akhirnya kami memilih jalur Wonosobo-Sempor-Gombong. Setidaknya jalannya lebih mulus, walaupun secara jarak tidak jauh berbeda.
Rasa lelah membayangi ketika kami bertolak dari basecamp. Setelah masuk ke jalan aspal yang halus, Gusti yang ada di paling depan, melajukan motornya lebih kencang. Fajri, yang memboncengkan saya, rutin mengecek kondisi masing-masing. Kantuk dan lelah bisa sangat berbahaya.
Tiba-tiba Fajri berhenti dan mampir ke warung untuk membeli minuman.Ssaya memberikan kode lambaian tangan untuk terus berjalan. Gusti, Akmal, dan Jojo berjalan terus. Saya dan Fajri kembali berjalan dan tidak lama bisa mendekati rombongan di depan.
“Kok Mas Jojo nggak ada ya, Us,” tanya Fajri.
“Coba cek lagi. Siapa tahu paling depan.”
Nihil. Jojo sama sekali hilang dari pandangan. Fajri melaju kencang memberitahu yang lain kalau Jojo tidak ada dalam barisan. Kami memutuskan untuk berhenti lalu berkumpul di pinggir jalan. kami menghubungi Jojo sebisa mungkin.
Sepertinya cerita malam ini belum usai. Kami semua menghadapi ketakutan yang sama. Selain itu, kami juga tidak tahu harus mencari ke mana. Laras berkali-kali mencoba menghubungi Jojo tapi belum berhasil.
“Ini Mas Jojo mengirim foto,” seru Laras tiba-tiba.
Tidak ada di dalam peta
Kami semua kaget setelah melihat foto yang Jojo kirim. Pada awalnya kami semua berada di jalanan aspal yang panjang lebar melintang. Tiba-tiba Jojo di jalanan yang lebarnya kurang lebih satu meter dan di kanan kiri dipenuhi pepohonan. Kami semua mengerubungi ponsel Laras, semua mata tertuju pada foto yang Jojo kirim.
Laras memerintahkan Jojo untuk mengirim lokasi. Kami dibuat tercengah karena jarak Jojo dengan kami kurang lebih 1,5 kilometer saja. Tidak bisa dibilang jauh tapi juga tidak bisa dibilang dekat. Apalagi, sejauh pengetahuan saya, di dekat jalur kami, tidak ada jalan sempit selebar 1 meter yang kanan dan kirinya pohon tumbuh lebat. Sekana-akan, Jojo itu dekat, tapi terasa jauh. Untuk ukuran seorang yang nyasar, ini cukup mencemaskan.
Sebetulnya saya cenderung mengabaikan hal-hal mistis yang terjadi. Bisa dibilang antara percaya dan tidak terutama ketika di Gunung Sindoro. Sampai salah 1 teman saya berpesan: “Kamu boleh tidak percaya dengan kejadian mistis di gunung, tapi suatu saat kamu mungkin akan mengalaminya.”
Dan akhirnya ini yang pertama kali saya alami… dan belum akan berhenti.
Gunung Sindoro hanya prolog
Rombongan kami berjalan pelan mengikuti arah lokasi yang di-share Jojo. Lama sekali rasanya, padahal di peta cuma 1,5 kilometer saja. Rasanya sudah lebih dari 1 jam kami berkendara. Kami juga memasang mata siapa tahu ada belokan yang terlewat. Namun aneh, tidak ada belokan menuju jalan kecil.
Selama perjalanan menuju lokasi Jojo, banyak pertanyaan yang bergelayut di benak kami. Siapa yang berpapasan dengan saya dan Jojo di jalur mata air, siapa yang membuat Jojo ketakutan dan berlari, siapa yang mengejar kami, kenapa ada burung yang mengarahkan kaki saya, lalu terakhir, siapa yang menuntun Jojo masuk ke belokan yang tidak ada di dalam peta?
Saya tidak ingat detailnya. Mungkin sekitar 2 jam kami berkendara untuk menuju lokasi yang hanya berjarak 1,5 kilometer. Kami juga tidak menemukan belokan dengan pepohonan lebat di kanan maupun kiri jalan. Namun, tiba-tiba saja Jojo sudah ada di pinggir jalan. Dia menunggu kami dengan senyum aneh. Wajahnya pucat, matanya bergerak cepat seperti cemas, tapi senyum tersungging di bibirnya.
Aneh, tapi setidaknya kami lega Jojo ditemukan. Malam itu, kami berkendara dengan kecepatan sedang. Mengabaikan curiga karena kami seperti melewati jalur yang sama. Kami memang berhasil pulang dengan keadaan selamat sampai rumah masing-masing.
Namun, yang saya kira sudah selesai, ternyata hanya prolog dari “sesuatu” yang bergelayut di Gunung Sindoro….
BACA JUGA Sejarah Gunung Sindoro dan Misteri Suara Sinden di Jalur Pendakian dan kisah menyeramkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Firdaus Aulia Rahman
Editor: Yamadipati Seno