MOJOK.CO – Kelima pendaki Gunung Arjuno itu belum sadar bahwa Alas Lali Jiwo yang “mengikat” itu menyimpan pesan kematian dari sisi lain Pulau Jawa.
Malam hari di Lembah Kidang
Lembah Kidang berada di kawasan taman hutan raya Raden Suryo, Jawa Timur. Kawasan ini dapat diakses dari jalur pendakian Gunung Arjuno via Tretes, Prigen, Pasuruan. Malam itu, rombongan Rio, Teguh, Beni, Ari, dan Dina bermalam di sana.
Malam itu, tidak seperti biasanya, Dina merasa sangat gelisah. Sebelunya, kegelisahan itu sudah mulai tumbuh ketika mereka sampai di kawasan Gunung Arjuno. Namun, saat itu, Dina tak bisa menerjemahkan kegelisahan yang tiba-tiba datang menyeruak.
Malam di Lembah Kidang terasa lebih aneh ketimbang biasanya. Dina, yang satu tenda dengan Rio dan Teguh, tak bisa memejamkan mata barang sekejap. Ketika dia berusaha memejamkan mata, ada suara perempuan sayup-sayup terdengar memanggil namanya. Sementara itu, Beni dan Ari berdua di tenda berbeda. Keduanya sudah lelap tertidur begitu merebahkan diri.
Ari dan Teguh sendiri belum lama terlelap. Keduanya masih sempat mengobrol bersama Dina sebelum memutuskan untuk segera tidur. Mereka harus menghemat tenaga mengingat pendakian Gunung Arjuno masih jauh dari usai.
Untuk menghilangkan kegelisahannya, Dina beberapa kali meneguk air dari botol plastiknya. Sebuah kesalahan yang seharusnya tak boleh dilakukan ketika cemas. Terlalu banyak minum di tengah malam yang dingin bakal memaksa kandung kemih bekerja lebih berat.
Benar saja, selepas pukul satu dini hari, hasrat untuk kencing tak bisa ditahan. Dina mencoba menahan hasrat untuk berkemih mengingat di kawasan Gunung Arjuno sedang dingin-dinginnya. Namun, beberapa menit kemudian, dia menyerah juga. Dorongan untuk berkemih memang tak sehat jika ditahan. Dina beringsut keluar dari sleeping bag yang menyelimuti tubuhnya.
Brrr…. terpaan angin lembah langsung menyeruak masuk ke dalam tenda ketika dia membuka zipper tenda.
“Huh! Ternyata kamu Din. Kirain siapa.”
Teguh, yang tertidur di dekat pintu tenda terbangun ketika mendengar suara zipper tenda dibuka dan dikagetkan oleh terpaan angin yang masuk.
“Sori, Guh, kebelet pipis,” kata Dina.
“Yo, anterin Dina pipis,” Teguh mengguncang-guncang tubuh Rio.
“Biarin, Guh. Aku berani sendiri,” kata Dina sambil ngeloyor pergi.
Dina memang pemberani. Sama seperti Rio, dia tidak mudah percaya cerita mistis yang sering dia dengar dari mereka yang pernah naik Gunung Arjuno. Sudah lebih dari tiga tahun dia aktif, nyatanya belum pernah mengalami keanehan selama mendaki.
Selesai berkemih, saat kembali menuju tenda, sayup-sayup, Dina mendengar suara seorang perempuan berteriak memanggilnya. Suara yang sama dia dengar ketika memejamkan mata di dalam tenda.
Dina menghentikan langkahnya, memastikan dia tidak salah dengar. Kesunyian malam Gunung Arjuno semakin memperjelas suara yang didengarnya.
Dina mengernyitkan dahi, mencoba mengenali suara itu. Dia seperti mengenal suara itu. Sekali lagi teriakan itu terdengar, datangnya dari arah Alas Lali Jiwo.
“Diiin… Dinaaa!”
Kali ini ada dua suara yang bersahutan memanggil namanya. Dina mulai mengenali suara itu. Memang sudah lama dia tidak mendengarnya.
Setahun yang lalu, di Gupakan Menjangan, mereka nge-camp bersama saat ke Gunung Lawu. Kali ini Dina ingat. Tapi bagaimana mungkin dia mengenali diriku dari jarak yang lumayan jauh? Semakin banyak pertanyaan di dalam kepala Dina membuatnya semakin penasaran.
Dina melanjutkan langkahnya. Dia mendekat ke arah datangnya panggilan itu. Tapi hanya seperlemparan batu saja dari tempatnya berdiri, tiba-tiba saja dia mendengar suara tangisan seorang perempuan. Suaranya terdengar sedih sekali. Bukan takut, Dina malah semakin penasaran hingga tak terasa langkahnya semakin jauh dari tenda menuju ke Alas Lali Jiwo, hutan di Gunung Arjuno dengan sejarah panjang.
Sudah hampir setengah jam Dina keluar dari tenda. Teguh mulai gelisah karena Dina belum juga kembali. Khawatir terjadi sesuatu dengan Dina, dia lalu membangunkan Rio.
Dia melirik jam, sudah pukul 1.30 dini hari. Rio masih mengumpulkan kesadarannya ketika Teguh sudah keluar tenda. Teguh memandang ke sekeliling. Sejauh matanya memandang, dia tidak menemukan Dina ada di dekatnya.
“Bangun cepet, Yo! Dina hilang!” kata Teguh. Dia lalu berjalan ke tenda tempat Beni dan Ari tidur.
“Ben, Ri, bangun! Dina hilang,” kata Teguh yang mulai terlihat panik.
“Diinnna!”
Keras sekali teriakan Teguh memanggil Dina yang belum juga terlihat. Suara Teguh mengagetkan ketiga temannya yang lain. Akhirnya semua terbangun dan keluar dari tendanya masing-masing.
“Dia pamit pipis. Sudah lebih dari setengah jam tapi belum balik,” kata Teguh menjawab pertanyaan dari teman-temannya.
Seketika Beni ingat dengan kejadian beberapa tahun yang lalu. Saat dia mendaki Gunung Arjuno dengan beberapa teman kampusnya. Ada kepanikan yang terlihat di wajahnya. Semoga firasatku tidak terjadi, begitu kata Beni dalam hati.
Saat itu, salah satu temannya hilang di Alas Lali Jiwo. Berhasil ditemukan, tapi lama dirawat di rumah sakit jiwa walaupun akhirnya bisa disembuhkan.
Mereka berempat bergegas berjalan mencari Dina ke Alas Lali Jiwo. Udara malam di penghujung musim kemarau benar-benar dingin. Angin lembah seperti sedang berlomba mengempaskan tubuh mereka dari tengah padang yang terbuka. Sambil berjalan, keempatnya tidak berhenti meneriakkan nama Dina.
Suara perempuan menangis itu masih terdengar sepanjang perjalanan Dina menuju hutan. Seiring langkahnya, nyali Dina mulai menciut. Keberaniannya runtuh seketika saat di depannya terlihat sesosok bayangan berkelebat.
Sosok perempuan dengan pakaian yang tidak selazimnya dipakai di jalur pendakian Gunung Arjuno baru saja melintas di depannya. Mulut Dina tak kuasa berkata-kata. Lidahnya terasa kaku. Tenggorokannya tercekat.
Angin yang sedari tadi menderu tiba-tiba saja terhenti, berganti dengan turunnya kabut pekat yang menghalangi pandangan. Dina sudah sampai di pintu Alas Lali Jiwo ketika samar dari kejauhan terdengar suara tetabuhan dari perangkat gamelan. Kesadaran Dina seperti tersirap ketika mendengar suara gamelan di tengah hutan itu.
“Dina… tolong, Din.”
Panggilan itu terdengar lagi. Kali ini ditingkahi suara gamelan yang semakin jelas terdengar. Kesadarannya timbul dan tenggelam antara suara gamelan dan panggilan yang masih diyakininya sebagai suara yang dia kenal.
“Astaghfirullahaladzim!”
Beni berteriak sambil berlari ketika dia mendengar suara gamelan yang mulai mengalun dari jalur pendakian Gunung Arjuno. Langkahnya diikuti oleh ketiga temannya. Terengah-engah ketika mereka akhirnya sampai di ujung lembah sebelum masuk hutan.
Rio masih berteriak memanggil nama Dina. Jelas sekali ada kepanikan yang tersirat.
Kabut semakin tebal saat masuk area hutan, pandangan mata hanya menjangkau jarak sekitar lima meter ke depan. Mereka berjalan berjajar ketika beberapa langkah kemudian melintas seorang perempuan. Beni dan Teguh semakin kencang melafazkan doa. Rio dan Ari beberapa kali membuat simbol salib di depan dadanya, memohon perlindungan.
Situasi benar-benar mencekam.
Suara gamelan semakin terdengar keras mengalun ditingkahi suara anjing hutan yang tidak berhenti melolong.
“Itu Dina! Dia sama siapa?” Kata Ari sambil menunjuk ke depan.
Dina terlihat sedang duduk di atas sebatang kayu bekas pohon tumbang. Dia diapit dua perempuan. Pandangan mereka tertuju ke satu arah. Seperti sedang menyaksikan sebuah pertunjukan.
Beberapa meter di depan mereka, terlihat seorang perempuan menari diiringi suara gamelan yang tak terdeteksi wujudnya. Namun, yang rombongan itu dengar bukan jenis tetabuhan dari Jawa Tengah atau Jawa Timur.
Penari itu mengenakan semacam mahkota berwarna cokelat muda kekuningan. Ada bentuk kepala merak di bagian mahkota. Di bagian telinga, penari itu mengenakan sesuping, warnanya sama seperti mahkota yang dia kenakan.
Di bagian dada, penari itu mengenakan penutup seperti kemben. Di atas kemben, terlihat apok, sebuah kain seperti kalung untuk menutupi bagian dada dan leher. Dia tidak mengenakan selendang seperti penari Jawa Tengah dan Timur, tapi selembar kain yang dirancang seperti sayap. Motif merak terlihat dengan jelas.
Kain bawah yang dikenakan penari itu berwarna biru tua. Kain bawah itu dihiasi motif merak dengan perpaduan warna emas, hijau, cokelat, dan merah. Beni mengenalinya sebagai penari tari Merak Sunda.
Kenapa penari Merak Sunda ada di jalur pendakian Gunung Arjuno? Kenapa juga ada penari di sini yang diiringi suara gamelan, di mana perangkat gamelannya sendiri tidak terlihat? Perut Beni tiba-tiba bergejolak. Perpaduan stres dan rasa takut yang teramat sangat.
Beni memberi tanda kepada teman-temannya untuk tidak sembarangan mendekat. Ketiga temannya paham bahwa kejadian di depan mata mereka sungguh berbahaya. Sebagai informasi, tari Merak Sunda biasa dipentaskan untuk menyambut tamu. Siapa yang dianggap tamu? Ke mana mereka akan dibawa pergi dan dijamu?
Penari itu menyadari kedatangan empat laki-laki yang berusaha untuk mendekati Dina. Penari itu seperti tidak peduli, terus menari, tapi kini senyum di bibirnya terkembang lebih lebar. Matanya yang semuanya putih beberapa kali melirik ke arah Beni.
Ketika Beni mendekat perlahan, dua perempuan yang mengapit Dina beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah si penari. Dina masih duduk mematung membelakangi teman-temannya.
Kesempatan ini dimanfaatkan Beni dan Rio untuk menggamit lengan Dina. Beberapa kali Rio mengguncang tubuh Dina. Namun, Dina tetap mematung. seperti terhipnotis karena tarian itu. Beni khawatir sekali melihat keadaan Dina. Kejadian masa lalu di Gunung Arjuno berkelebat tanpa bisa ditepis.
“Terus berdoa. Pikiran kalian jangan kosong,” begitu Beni berkata kepada teman-temannya.
Setelah memanjatkan doa sejenak Beni berusaha menarik Dina. Memaksanya untuk berdiri. Beberapa detik kemudian, dua perempuan yang berjalan ke arah si penari balik badan. Beni terkejut saat melihat dua perempuan itu. Keduanya adalah dua perempuan yang ditemuinya di dalam kereta. Dia mulai bisa memahami situasi.
“Din, ayo pulang. Kita tidak selayaknya berada di sini. Ini bukan dunia kita.”
Beni lalu duduk di dekat Dina, mulutnya masih komat-kamit melafazkan doa. Dina tak bergeming. Tubuhnya diam mematung dengan pandangan mata lurus ke depan. Kesadaran Dina yang masih timbul tenggelam dimanfaatkan oleh Beni untuk mengeluarkannya dari situasi ini.
Dibantu Rio, Beni memapah Dina berjalan keluar dari Alas Lali Jiwo. Jalan setapak di jalur pendakian Gunung Arjono sudah di depan mata mereka ketika suara gemalan berhenti. Ketika kesadaran Dina mulai kembali, beberapa detik kemudian, si penari sudah berdiri di depan mereka.
Matanya yang putih memandang kelima sahabatku itu. Selendang yang menyeruapi sayap merak jatuh begitu saja ke atas tanah. Kelat bahu si penari tampak mengkilat ditimpali sinar redup rembulan.
Kelima pendaki itu terdiam. Tak ada yang berani bersuara. Di dalam hati, Beni merapalkan doa. Si penari hanya tersenyum lalu mengangguk ketika pandangannya mengarah ke Beni.
Kebekuan yang terjadi hampir satu menit itu pecah ketika si penari bergerak. Tangan kanannya terjulur, telapak tangannya yang terdapat rajah dengan bentuk rumit diarahkan ke arah Dina yang mulai sadar sepenuhnya.
Tiba-tiba Dina menangis sejadinya. Dia tahu, saat itu juga, sudah kehilangan dua sahabatnya.
Tubuh si penari tiba-tiba berpendar. Perlahan-lahan, tubuhnya bersatu dengan kabut. Sebelum benar-benar menghilang, si penari berkata, “Ikhlaskeun. Rerencangan salira tos diurus ku abdi. Ikhlaskeun, nya, sareng tong dipohokeun.”
Seiring menghilangnya si penari, Dina jatuh terduduk. Air matanya tak terbendung. Beni, Teguh, Rio, dan Ari ikut duduk di atas tanah, di samping jalan setapak jalur pendakian Gunung Arjuno. Keempatnya masih kesulitan merangkai semua cerita. Namun, satu hal yang pasti, malam itu adalah malam duka untuk mereka semua.
Beberapa hari sebelumnya….
Sekretariat Mapala Hargo Inggil Jakarta nampak sibuk. Beberapa anggotanya ada yang tengah menyiapkan acara ekspedisi. Yang lain berlatih chimneying, sebuah teknik dalam olahraga panjat tebing, pada dinding buatan setinggi 12 meter di halaman depan sekretariat. Arsa, ketua Mapala, sedang serius di depan radio komunikasi yang saat itu terhubung dengan basecamp Cibodas, Gunung Gede.
Dari info yang didapatnya, ada dua pendaki yang sudah tiga hari belum turun dari Gunung Gede. Saat itu, Arsa langsung mengumpulkan seluruh anggotanya. Info tentang identitas survivor masih minim sekali. Setelah melakukan briefing, Arsa menugaskan beberapa anggota untuk segera merapat ke basecamp Cibodas. Seluruh potensi SAR yang dimiliki Mapala dikerahkan untuk mencari info.
Kesibukan serupa terlihat di basecamp Cibodas. Kabar tentang hilangnya dua pendaki menyebar dengan cepat. Dari keterangan yang didapat, tiga hari yang lalu, kedua survivor mendaki pada sore hari dan langsung menuju ke Kandang Badak. Ada pendaki yang saat turun sempat berpapasan dengan mereka.
“Salah satunya membawa carrier warna biru. Saya ingat betul,” katanya.
Saksi mata itu berusaha keras mengingat ciri-ciri survivor tapi hanya warna carrier yang diingatnya. Dia berpapasan di dekat air terjun sekitar pukul tujuh malam. Bisa jadi mereka bikin camp di Kandang Badak. Sampai akhirnya didapat info lebih lengkap dari posko Hargo Inggil melalui radio komunikasi.
Terkonfirmasi kedua survivor adalah anggota Mapala Hargo Inggil yang menuju basecamp Cibodas sejak empat hari yang lalu. Keduanya membawa carrier warna biru dan menggunakan topi rimba. Semua ciri-ciri sudah lengkap disampaikan, mereka bernama Anna dan Friska.
Keesokan harinya, pencarian segera dilakukan dengan melibatkan banyak unsur. Arsa sendiri memimpin tim dari Mapala dan beberapa relawan yang tergabung di dalamnya. Siang dan malam pencarian dilakukan, tapi sampai hari keenam belum membuahkan hasil.
Seperti halnya di Jawa Timur, gunung-gunung di Jawa Barat juga memiliki aura mistisnya tersendiri. Tidak jarang, para relawan menemukan kejanggalan saat melakukan pencarian. Mulai dari diikuti burung berwarna hitam sampai berjumpa dengan berbagai makhluk yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Memasuki hari kedelapan proses pencarian, salah seorang relawan SAR ada yang menemukan jejak survivor. Awalnya dia curiga dengan semak-semak yang rantingnya patah di beberapa bagian, beberapa dahannya juga patah dan terlihat masih baru. Hanya, di bawah semak itu adalah jurang yang curam. Sepertinya survivor salah mengambil jalur karena mereka melewati jalur yang sudah lama tidak digunakan karena dianggap berbahaya.
Pagi harinya, beberapa teman dari survivor melakukan pencarian dengan menuruni jurang. Karena medan yang curam dan dalam, mereka menggunakan teknik rapelling, yaitu turun mengunakan tali. Pencarian mulai menampakan hasil. Semakin dalam mereka turun, banyak jejak yang ditemukan, salah satunya topi rimba yang tersangkut dahan.
Hanya butuh waktu kurang dari satu jam ketika dari HT salah seorang relawan SAR terdengar suara “Innalillahi wa innailaihi rojiun.” Friska dan Anna ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa. Keduanya ditemukan dengan posisi saling berpelukan.
Menurut penuturan salah satu relawan yang juga kenalan Rio, keanehan terjadi saat mengevakuasi kedua korban. Ada dua ekor burung merak yang berdiam diri di bawah jurang, di dekat jasad Friska dan Anna. Setelah evakuasi selesai, dua burung merak itu menghilang.
Di sisi lain Pulau Jawa, kelima pendaki mulai mematangkan rencana mendaki Gunung Arjuno. Angin semilir daerah Batu, Malang, menjadi teman akrab mereka. Angin dingin yang seperti membawa pesan. Pesan kematian dari sisi lain Pulau Jawa. Pesan kematian yang berbunyi, “Sampai bertemu di Gunung Arjuno.”
BACA JUGA Sampai Bertemu Di Gunung Arjuno (Bagian 2) dan kisah misterius lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Setiawan
Editor: Yamadipati Seno