MOJOK.CO – Adikku berkeliling sambil menggendong bayi. Tapi—dia kan nggak punya bayi?! Terus, kenapa pula keponakanku bermain dengan teman khayalan yang tidak kelihatan?!
Karena alasan pekerjaan, aku memutuskan tinggal bersama sepupuku yang sudah berkeluarga. Rumah mereka memang letaknya tak begitu jauh dari tempatku bekerja. Jelas, ini menguntungkanku. Soalnya, rumahku sendiri jaraknya tak tanggung-tanggung—hampir dua jam dari kantor. Duh!
Sepupuku—namanya Andi—sudah menikah dengan seorang perempuan bernama Dina. Mereka memiliki seorang anak berusia enam tahun, namanya Kalina. Ada kamar kosong di dekat ruang tengah, jadi aku dipersilakan tinggal di sana.
Beberapa hari awal menjadi penghuni rumah, aku merasakan ada hawa dingin yang aneh. Tapi, karena tak pernah diganggu apa pun, aku tidak mempermasalahkannya. Hingga suatu hari, sesuatu terjadi.
Krim pagi dan krim malam yang selalu aku letakkan di tengah meja rias dalam kamar sering tiba-tiba jatuh hingga kacanya pecah dan isinya berantakan. Tidak ada angin, tidak ada guncangan. Kejadian ini berlangsung beberapa kali, tapi tak pernah aku ceritakan pada Dina dan Andi.
Seolah itu belum cukup menggangguku, suatu pagi, peristiwa yang lebih mencengangkan terjadi.
Saat itu, jarum jam hampir menunjukkan pukul setengah 7 pagi. Dina membangunkanku, setengah berteriak, “Mbak, Mbak Rena! Bangun, Mbak, sudah jam setengah 7. Mbak kerja, kan?”
Aku membuka mataku dan sedikit terkejut karena seharusnya aku sudah berangkat pukul 7. Dengan segera, aku duduk di kasur dan mulai membuka ponsel, membalas pesan singkat yang dikirimkan oleh rekan kerjaku pagi itu. Setengah mengantuk, aku mendongak dan melihat ke arah Dina yang berdiri di depan pintu, “Makasih, Din.”
Dina mengangguk, lalu pergi. Aku melihatnya dengan jelas: Dina berdiri sambil menggendong seorang bayi di tangan kirinya, sementara tangan kanannya menenteng sebuah gelas. Aku sedikit heran: bayi siapa, ya? Seingatku, Dina tidak sedang hamil—dan kalaupun ia hamil, mustahil sekali jarak waktu 9 bulan 10 hari terjadi hanya dalam waktu semalam.
Oh, mungkin itu bayinya kakaknya Dina, batinku. Kudengar, kakak kandung Dina baru saja melahirkan tiga bulan yang lalu, dan kakaknya tersebut merupakan seorang wanita karier. Jadi, kupikir, mungkin kakak Dina sudah mulai bekerja, lalu menitipkan anaknya pada Dina.
Iya, pasti begitu, batinku.
Selepas mandi, aku menghampiri Dina yang sedang merapikan piring. Pelan, kutanya, “Din, tadi bayinya siapa yang kamu gendong? Bayi kakakmu, ya? Sudah mulai kerja, ya, dia?”
Alih-alih menjawab, sorot mata Dina berubah jadi pandangan ketakutan. Ia langsung memelukku tiba-tiba dan berkata, “Mbak… Mbak ngomong apa, sih? Bayi apa? Bayi mana? Nggak ada bayi di rumah ini, Mbak. Aku nggak gendong siapa-siapa dari tadi!”
Aku kaget setengah mati. Kami berdua akhirnya cuma bisa saling peluk dan berusaha tidak mengingat-ingat kejadian itu. Dina tampak agak terpukul sembari berkisah bahwa di rumahnya memang sering terjadi hal-hal yang absurd. Aku diam-diam teringat pada krim malam dan krim pagi di tengah meja riasku yang sering jatuh mendadak.
Suatu hari, aku mendapat jatah libur. Pulang ke rumah, aku bertemu dengan Paman Didi yang sedang berlibur di rumah kami. Paman Didi ini adalah orang bisa “melihat” sesuatu yang tak bisa terlihat langsung oleh mata manusia. Bahkan, tak jarang ia “diseret” ke dunia seberang oleh makhluk-makhluk halus.
Kami berbincang sebentar soal kesibukanku. Tak sedikitpun aku singgung soal kejadian aneh di rumah Andi, tapi tiba-tiba Paman Didi bertanya:
“Kamu aman di rumah Andi?”
“A-aman, Paman,” jawabku sedikit tergagap. TIba-tiba, di kepalaku teringat lagi soal krim malam dan krim pagi yang sering jatuh mendadak.
“Di sebelah kamarmu,” sambung Paman Didi, “ada tangga, kan? Di luar kamar, tapi letaknya tepat di belakang meja riasmu.”
Aku mengangguk heran. Seingatku, Paman belum pernah mengunjungi rumah Andi sejak terakhir kali Andi mengubah layout-nya.
“Tangga itu mengarah ke lantai atas, kan, Ren? Nggak ada yang lewat situ?”
Aku mengiyakan. Rumah Andi memang berlantai dua dan memiliki dua akses tangga. Tapi, entah kenapa, tangga yang letaknya di sebelah kamarku tak pernah lagi terpakai sampai berdebu. Bahkan, akses jalan di lantai atas yang berasal dari tangga tadi pun ditutup. Pokoknya, benar-benar buntu.
“Ada yang tinggal di tangga,” lanjut Paman Didi. Aku sedikit terkejut, “Siapa?”
Paman mengangkat bahu, “Nggak tahu namanya, tapi dia wujudnya anak kecil. Perempuan. Suka sekali lompat-lompat di tangga—Paman kira ia mengacau beberapa barang di kamarmu, ya? Oh, dan dia lebih suka lagi kalau main sama Kalina.”
Perkataan Paman ibarat senter yang menyala kala mati listrik di rumah. Mendadak, aku mengerti kenapa krim malam dan krim pagiku di tengah meja rias selalu jatuh dan pecah. Mungkin, si anak kecil ini sedang bermain-main dengan hebohnya, bukan?
Yang lebih mengejutkan, si anak kecil ini ternyata adalah “teman” Kalina! Ya ampun, aku baru menyadari beberapa kali sering melihat Kalina berbicara sendiri. Tapi, kupikir, itu kan teman khayalan yang memang kerap muncul di usia-usia seperti Kalina!
Sering, saat kami sedang berkumpul di ruang tengah, Kalina bakal berkata pada teman khayalan di depan kami, “Wah, kamu kok baru datang, habis dari mana? Sini, duduk bareng aku.”
Pernah pula, kupikir Kalina sedang bermain dengan teman khayalan yang ia punya saat tiba-tiba Kalina ngambek dan mogok makan. Katanya, “Pokoknya kalau kamu maksa-maksa jadi Putri, Kalina nggak mau! Kalina yang jadi Putri, kamu jadi Ratu aja!”
Ah, aku juga ingat. Sewaktu krim malamku menggelinding dan pecah di siang hari, Kalina juga sempat masuk ke kamarku dan terkikik geli. Sebelum sempat kutanya ada apa, ia sudah berlari keluar dan berteriak, “Sudah, kasihan Tante Rena!”
Aku sama sekali tak berpikir aneh-aneh. Kupikir, saat itu, dia cuma sedang menggunakan namaku dalam mainan skenario-skenarioannya dengan seorang teman khayalan yang bukan merupakan penunggu rumah ini…. (A/K)