MOJOK.CO – Hubungan aneh antara asrama dan lahan pemakaman di belakangnya perlahan terkuak. Ada sejarah kelam yang terkubur di sana.
Tanpa disadari, kedatangan Mbak Asti sudah ditunggu oleh sesosok makhluk. Dia seperti hendak menyampaikan sebuah pesan.
Pengalaman Mbak Asti dan temannya
Sehari sebelum penutupan acara Management Training, Mbak Asti mendapatkan pengalaman yang aneh. Semua sayur dan buah yang dibelinya untuk keperluan para peserta mendadak jadi busuk. Padahal, semua dibeli dalam keadaan segar dan setelah dibersihkan dimasukannya ke dalam chiller.
Bukan itu saja, malam sebelumnya, sepulangnya Mbak Asti dari membeli keperluan pribadi, dia melihat banyak kucing hitam berkeliaran di dekat Gedung A. Sebenarnya, dia sudah khawatir akan terjadi sesuatu tapi tidak tahu apa yang harus diperbuat. Mau melaporkan kejadian ini juga takut dibilang mengada-ada.
Yang tidak kalah menyeramkan adalah pengalaman yang menimpa teman satu kamar Mbak Asti. Konon, saat Mba Asti keluar malam itu, dia mendengar banyak suara orang menangis dari arah lahan pemakaman di belakang asrama. Suara itu juga didengar oleh teman seasrama yang lainnya. Ketika ada yang memberanikan diri melihat ke arah pemakan ternyata tak ada apa-apa di sana.
Dan teror suara perempuan menangis di malam hari itu berlangsung pada jam-jam tertentu selama acara pelatihan berlangsung. Bukan hanya tangisan perempuan saja, tapi terdengar juga tangisan bayi.
Tak ada yang tahu penyebab semua itu terjadi. Peristiwa ini baru sekali mereka alami setelah sekian lama bekerja di asrama. Hanya Mbak Asti yang merasakan ada sesuatu yang tidak semestinya dilakukan di tempat ini tapi dia tidak tahu siapa. Kecurigaan Mbak Asti akan terjadinya suatu peristiwa yang menimpa peserta pelatihan akhirnya memang terbukti dengan hilangnya Pak Hendro.
Beruntung bagi Mbak Asti, selama dia ngawulo di rumah Om Unggul, sering mendapat pitutur atas kelebihan yang dimilikinya. Om Unggul yang sejak mudanya sudah menjalani kehidupan spiritual sebenarnya agak khawatir dengan bakat yang dimiliki Mbak Asti. Itulah makanya beliau selalu memberikan wejangan supaya Mbak Asti tidak takut dan yang terpenting tidak salah arah.
“Kalau nggak hati-hati, kamu bisa jadi dukun,” kata Om Unggul suatu hari.
Dari keterangan yang diperoleh melalui istrinya saat datang ke tempat Mbak Asti bekerja, pada malam ketiga setelah Pak Hendro berangkat ke Jakarta, dia sempat bermimpi buruk. Tapi dia tidak mau mengaitkan mimpinya itu dengan menghilangnya Pak Hendro sehari setelahnya.
Dalam mimpinya, dia bergulat dengan seorang perempuan, seperti sedang memperebutkan Pak Hendro, katanya. Hingga suatu ketika dia berhasil membunuh perempuan itu dengan menusukkan pisau tepat di jantungnya. “Saya masih ingat betul karena mimpi itu begitu nyata, dia berambut panjang dan memakai baju merah.”
Om Unggul dan cerita sesepuh desa
“Ada orang yang punya niat tidak baik.”
Begitu kata Om Unggul setelah mendapat cerita dari Mbak Asti tentang peristiwa yang terjadi di tempatnya bekerja. Mbak Asti bercerita kepada Om Unggul karena dia merasa ikut bertanggung jawab secara moral atas peristiwa itu. Apalagi ketika istri Pak Hendro datang ke asrama, dia merasa kasihan kepadanya.
Bukan hanya itu, Mbak Asti juga menceritakan beberapa peristiwa yang terjadi selama dia bertempat di asrama itu. Sebelumnya, dia sempat berdebat alot dengan kepala asrama karena dia tidak mau peristiwa hilangnya Pak Hendro tersebar kemana-mana. Tapi akhirnya kepala asrama itu menyerah karena dia tidak tahu bagaimana mencari solusi atas kasus itu.
Om Unggul agak terkejut ketika mengetahui bahwa bangunan itu didirikan di atas lahan pemakaman. Setahu beliau, itu adalah pemakaman tua yang di dalamnya banyak dihuni oleh orang-orang yang memilki karomah tertentu.
Hal itu terungkap saat Om unggul menyempatkan diri untuk menyambangi asrama Mbak Asti beberapa hari setelah mendapat cerita darinya. Di sana beliau sempat bertemu dengan sesepuh desa tempat berdirinya asrama itu. Pak Jauhari namanya, kata Mbak Asti.
Menurut penuturan sesepuh desa, selain bekas lahan pemakaman, di sana juga tumbuh pohon beringin di mana tidak ada orang yang berani menebangnya. Alasannya karena pohon beringin itu banyak dihuni oleh makhluk gaib. Mitos tentang sesosok kuntilanak yang menghuninya sudah tersebar luas.
Padahal, lanjut Pak Jauhari, di lahan pemakaman itu juga bersemayam beberapa ajengan yang sangat dihormati oleh masyarakat desa ini. Mereka adalah orang-orang salik yang ikut mendirikan kampung dan menyebarkan agama di sini, katanya.
Letak pohon beringin itu memang persis berada di sudut, perbatasan antara area asrama dan lahan pemakaman. Di sebelah baratnya mengalir sungai yang tidak terlalu besar, hanya selebar tiga meter saja.
“Jadi, seluruh bangunan di asrama itu sebelumnya memang bekas lahan pemakaman, Pak?” tanya Om Unggul kepada Pak Jauhari.
“Betul, lahan pemakaman itu digusur dan dipindah ke sebelah selatan,” jawabnya.
“Seperti tidak ada lokasi lain saja sampai menggusur makam,” lanjut Om Unggul.
“Panjang kalau mau diceritakan penyebabnya. Banyak cerita sedih dan menyeramkan saat pemindahan kerangka dari sana,” kata Pak Jauhari.
Setelah beberapa saat berbincang dengan sesepuh desa, Om Unggul lalu menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke tempat beliau. Om Unggul menceritakan semua kejadian yang menimpa Mbak Asti dan tamu di asrama tersebut. Beliau menanyakan pernah ada kejadian apa di desa tersebut yang terkait dengan peristiwa di asrama.
Tidak mudah menggali keterangan dari Pak Jauhari. Dia seperti menyimpan sebuah peristiwa traumatik yang enggan diungkapkannya kepada Om Unggul. Tapi sesepuh desa itu akhirnya luluh setelah Mbak Asti memohon untuk mengungkap cerita yang sesungguhnya terjadi.
Diceritakannya, beberapa hari setelah meletusnya peristiwa G30S/PKI, desa itu kedatangan satu keluarga yang berasal dari Madiun. Saat itu, masanya orang saling mencurigai satu sama lain, apalagi mereka adalah pendatang baru yang berasal dari timur. Dulu, Jawa Tengah dan Jawa Timur ditengarai sebagai basis dari organisasi terlarang itu, lanjutnya.
Kecurigaan masyarakat terbantah ketika melihat keluarga itu aktif pergi ke musala kampung sini, terutama ketika tiba waktu salat berjamaah. Mereka akhirnya diterima dengan baik di sini. Beberapa bulan berselang, anak perempuannya, Wiwin, bahkan menikah dengan pemuda warga desa ini.
Sampai suatu hari, kepala desa menerima kedatangan tamu. Dia mengaku sebagai seorang intel dari Kodam berpangkat mayor. Dia sedang memburu seseorang yang katanya terkait dengan organisasi terlarang yang dicurigai bersembunyi di desa ini.
Sebagai informasi, pada waktu itu, jangankan menanyakan surat tugas, didatangi aparat saja orang bisa panas dingin. Pemerintah saat itu akan dengan mudah bisa menyeret seseorang ke penjara dengan pasal-pasal subversif yang dibuat-buat. Mungkin seperti pasal-pasal dalam UU ITE hari ini.
Beberapa hari setelah kedatangan tamu yang mengaku intel Kodam itu, segerombolan orang datang ke desa kami menggunakan mobil. Mereka langsung menyatroni rumah penduduk baru itu. Malam itu terjadilah pembantaian yang mengerikan terhadap satu keluarga, semuanya dihabisi, termasuk anak Wiwin yang masih bayi.
“Innalillahi wa innailaihi rojiun,” Mbak Asti dan Om Unggul serentak bergumam.
“Suami Wiwin juga ikut terbunuh. Dia sedang senang-senangnya menjadi seorang bapak,” kata sesepuh desa itu sambil mengusap air matanya.
“Maaf, Pak, suami Mbak Wiwin itu…,” belum selesai Mbak Asti berbicara, Pak Jauhari memotong.
“Dia anak saya, namanya Trisno. Dini hari itu juga jasad mereka sekeluarga ditemukan warga desa di lahan pemakaman itu,” kata Pak Jauhari.
“Atas perintah kepala desa, saat itu juga mereka langsung dikuburkan dalam satu lubang tanpa disucikan, tanpa didoakan, apalagi dikafani.”
Terlihat sekali gurat kesedihan di wajahnya sesaat setelah menceritakan peristiwa itu. Bagaimana tidak, dalam waktu satu malam, dia kehilangan anak, menantu, cucu, dan besannya yang terbunuh tanpa mengetahui musababnya.
Beberapa tahun setelahnya baru diketahui bahwa mereka hanya jadi korban dari stigma PKI. Stigma itu dimanfaatkan oleh seseorang yang menaruh dendam karena sakit hati. Kebetulan dia adalah seorang pejabat dan dengan kekuasaannya dia bisa melakukan apa saja. Mayor yang mengaku sebagai intel Kodam itu sebenarnya adalah orang sipil suruhannya.
“Yang saya sedih, beberapa tahun setelah kejadian itu, muncul isu hantu kuntilanak di laham pemakaman. Konon wujudnya menyerupai Wiwin, menantu saya,” kata Pak Jauhari melanjutkan ceritanya.
“Ada-ada saja. Tidak mungkin orang meninggal berubah jadi kuntilanak. Itu hanya cerita dalam film, Pak,” jelas Om Unggul.
“Saya tidak kuasa membantah. Isu itu sudah terlanjur berkembang di masyarakat sini. Walaupun saya sendiri belum pernah melihat secara langsung.”
“Kebetulan, sebelum dipindah, kuburan keluarga itu berada di dekat pohon beringin,” lanjut Pak Jauhari.
Entah ganjil atau tidak, saat pemindahan makam satu keluarga itu hanya didapati tiga kerangka saja. Sementara kerangka anak kecil dan ibunya, Wiwin, tidak ditemukan di sana. Atau bisa jadi mungkin sudah menjadi tanah, huwallahu’lam.
“Saya tidak tahu itu kuntilanak atau bukan, tapi satpam asrama sendiri yang pernah melihatnya sehari sebelum hilangnya Pak Hendro. Tapi saya tidak menuduh bahwa itu adalah jelmaan dari almarhumah Mbak Wiwin,” kata Mbak Asti.
“Apa boleh kalau saya berkunjung ke asrama? Saya ingin melihat sendiri apa yang sebenarnya terjadi di asrama itu,” kata Pak Jauhari.
“Tentu saja boleh, pak. Nanti biar Om Unggul yang menemani Bapak,” jawab Mbak Asti.
Hari sudah sore ketika Om Unggul dan Mbak Asti akhirnya berpamitan kepada Pak Jauhari. Sebelumnya, mereka sepakat akan bertemu lagi keesokan harinya di asrama karena kebetulan sedang tidak ada kegiatan di sana. Om Unggul pulang ke kediamannya di Cilandak, sedangkan Mbak Asti kembali ke asrama.
Tanpa disadari, kedatangan Mbak Asti di asrama sudah ditunggu oleh sesosok makhluk. Dia seperti hendak menyampaikan pesan. Siapakah dia?
Bersambung….
BACA JUGA Asrama Itu Berdiri di Atas Lahan Pemakaman (Bagian 1) dan tulisan misteri lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Setiawan
Editor: Yamadipati Seno