Proses Mencintai Dapur Adalah Perjalanan yang Panjang dan Penuh Liku Mojok.co
artikel

Proses Mencintai Dapur Adalah Perjalanan yang Panjang dan Penuh Liku

Memanggil seluruh kaum Hawa yang merasa alergi dengan dapur, mari mendekat dan bacalah yang satu ini~

Sewaktu kecil saya pernah alergi berat dengan dapur. Bukan berarti saya bersin atau gatal-gatal ketika masuk ke dapur, ya, tapi rasanya sebal dan nggak mau saja berdiam diri lama-lama di sana. Saya pikir ini ada hubungannya dengan segala macam ocehan orang-orang yang kayaknya nggak pernah capek nyuruh saya belajar masak. Itu, loh, mereka-mereka yang sudah berumur. Paham, sih, niat mereka baik, tapi dirongrong terus-terusan malah bikin saya jadi kesal alih-alih bersemangat. Rasanya mungkin mirip kalau kamu sudah niat mau cuci piring, eh, malah tiba-tiba disuruh sama orang lain. Bete, ‘kan?

Bayangno kamu nggak pernah ke dapur sampai gede,” kata mereka, tentu dengan variasi kalimat. “Masa perempuan nggak bisa masak? Nanti suami sama anak-anak kamu mau kamu kasih makan apa?”

Sambil bersungut-sungut, saya menunjuk magnet dengan nomor delivery restoran cepat saji yang tertempel di pintu kulkas. “Nanti tak kasih ayam KFC.”

Sebetulnya saya tergoda ingin menjawab: (1) Nanti cari suami yang bisa masak; atau (2) ya sudah, nggak usah nikah saja sekalian. Daripada makin diomeli karena jawaban yang melantur ke mana-mana, saya memilih settled pada jawaban ayam KFC tadi. Lagian siapa juga yang nggak mau makan ayam yang gurih dan kriuk-kriuk itu, sih? Cuma orang aneh yang mau makan masakan buatan orang yang nggak bisa bedain jahe sama kencur.

(“Makanya, kamu belajar!” ujar mereka gemas.)

Beranjak besar, persepsi saya terhadap dapur dan kegiatan memasak masih bertahan begitu-begitu saja. Ketika SMA, saya belajar di boarding school yang bikin saya makin nggak pernah ke dapur. Boro-boro masak. Kalau mau makan, saya tinggal turun ke dining hall (ruang makan) dan melahap apapun yang mereka sajikan di meja. Usai makan, saya menaruh piring dan gelas kotor di bak yang nanti akan dicuci ibu-ibu dining hall.

Hal paling “masak-masak” yang pernah saya lakukan di asrama adalah mencoba bikin spaghetti instan di toples pakai air panas dari dispenser. Itu saja diketawain teman-teman sampai hari ini. Sungguh tidak ada domestik-domestiknya.

Hal ini sempat bikin Bapak sedikit uring-uringan tiap saya pulang ke rumah di libur semesteran. Kalau adik saya makin hari makin jago memasak segala macam resep yang ia temukan di YouTube, saya nyalain kompor buat rebus Indomie saja masih kagok. Belum membicarakan kecanggungan saya megang spons waktu berupaya mencuci piring atau berlagak jompo ketika membantu menjemur pakaian.

Ya gimana, di asrama saya tinggal naruh keranjang cucian kotor di laundry sekolah. Harapan Bapak membuat saya jadi lebih mandiri dengan memasukkan saya ke boarding school memang sudah fals sedari awal.

Tahun-tahun pun berlalu. Dengan gembira, saya mengumumkan bahwa kemajuan teknologi makin mendukung rencana mencekoki suami dan anak-anak saya kelak dengan makanan warung. Jangankan makanan cepat saji kayak ayam KFC, lotek dan sushi saja sekarang bisa dipesan lewat layanan pesan-antar ojek daring. Keajaiban ini pun saya nikmati tanpa malu-malu sepanjang masa perkuliahan.

Akan tetapi, semuanya berubah sejak pandemi menyerang. Sepanjang hari-hari lockdown pertama saya jadi terjerumus ke dalam lubang gelap TikTok. Selain belajar joget, saya juga dapat banyak video memasak yang cantik dan sederhana. Nggak seperti durasi video-video YouTube yang bisa sampai berjam-jam, konten di Tiktok paling lama cuma tiga menit. Itu bikin resep yang disajikan jadi sangat straightforward dan mudah dimengerti.

Karena terlalu sering melihat video-video semacam itu seliweran di laman TikTok (damn you, algorithm), saya jadi penasaran ingin… masak. Wow, ini tidak pernah terjadi sebelumnya! Setelah memantapkan hati pada satu resep, saya menelepon adik yang waktu itu sudah pulang ke Jakarta (saya masih tinggal di kos di Jogja).

FYI, adik saya ini masuk jurusan tata boga. Jomplang banget sama kakaknya yang motong bawang aja serampangan. Untung adik saya baik hati dan mau memberikan tips, walau sempat ketawa juga, sih. Setelah niat-niatin jalan kaki ke Pasar Colombo buat beli bahan-bahan makanan, petualangan saya di dapur pun dimulai. Banyak canggung dan bingungnya, tapi jadi juga, tuh, tumis kangkung dan ayam teriyaki pertama dalam hidup saya. Rasanya lumayan, lagi. Mencengangkan.

Setelah percobaan pertama yang terbilang sukses, saya makin semangat mencoba resep-resep yang saya temukan dari TikTok. Gochujang chicken, egg mayo tori don, rose pasta, dan masih banyak lagi. Saat akhirnya sudah yakin kalau hasil masakan saya memang bisa dimakan, saya mulai berani mengundang teman-teman untuk mencicipi. Teman saya, yang mari kita sebut sebagai Juleha, bahagia betul tiap saya menyuguhinya rose pasta kalau ia sedang bertandang ke kos.

“Enak banget, Sar,” katanya sambil tambah porsi. “Aku bisa makan dua panci, nih.”

Meskipun nggak percaya-percaya amat sama komentar Juleha, saya tetap senang melihatnya makan selahap itu. Ternyata memasak, tuh, menyenangkan sekali. Dimakan sendiri saja sudah senang, apalagi melihat orang yang kita sayang ikut menikmati makanan itu juga.

Saya jadi kepikiran perkataan orang-orang tua yang dulu sering menyuruh saya belajar masak. Bukannya saya nggak mau belajar, cuma cara nyuruhnya itu, loh. Bikin saya jadi sebal sendiri sama suami imajiner yang kayaknya malas dan nggak asik itu. Mamah saya yang kerja kantoran itu jarang banget masak, kok, paling saat weekend saja. Suami dan anak-anaknya tetap sehat dan bahagia. Kami punya bibi yang sehari-hari masak di rumah dan saya nggak lantas memandang Mamah sebagai ibu yang kurang “ibu” atau semacamnya.

Setelah saya renungi, perasaan tidak suka terhadap kegiatan memasak itu sepertinya timbul karena saya diajari memasak untuk orang lain, khususnya untuk keluarga yang akan saya bangun kelak. Itu bukan masalah. Setelah sudah berani ngoprek-ngoprek di dapur, saya jadi tahu bahwa ada kebahagiaan tersendiri dari melihat masakan kita dinikmati orang lain.

Esensi paling penting dari memasak itu sendiri terlupakan karena stereotip yang mereka tanam. Mereka menyiratkan bahwa memasak adalah sesuatu yang wajib saya kuasai hanya karena saya perempuan, pun nggak akan jadi istri dan ibu yang baik kalau nggak bisa masak. Terlepas dari peran-peran gender tradisional, memasak adalah basic life skill yang menguasainya akan bikin hidup kalian lebih nyaman dan sejahtera. Dan… hei! Rasanya ternyata menggembirakan, loh, bisa menyenangkan diri sendiri dengan masak makanan enak.

Perjalanan mencintai dapur memang bisa jadi sangat berliku, namun kini saya dengan bangga bilang bahwa saya sudah nggak lagi alergi dengan tempat itu. Tentu masih banyak yang perlu saya pelajari, baik dalam memasak maupun mengklaim kembali agensi yang saya miliki dalam ranah personal, tapi saya kira ini adalah langkah awal yang cukup monumental. Selamat memasak!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *