Dokter Hewan, Profesi yang Hanya Dianggap Tenaga Kesehatan oleh Pasiennya Sendiri Mojok.co
artikel

Dokter Hewan, Profesi yang Hanya Dianggap Nakes oleh Pasiennya Sendiri

Dokter hewan pun harus dipenuhi hak-haknya sebagai tenaga kesehatan, lho.

MOJOK.CO – Ramai cuitan isi hati seorang dokter hewan di Twitter yang tengah berjuang mendapatkan vaksinasi dosis ketiga, sebab kami dianggap bukan nakes.

Di Indonesia, menyandang status tenaga kesehatan yang diakui adalah kunci dalam akses penting hak-hak warga negara. Kesempatan untuk merasa aman dan terlindungi dalam melakukan pekerjaan menjadi barang mewah bagi para tenaga kesehatan hewan yang statusnya masih diragukan. Dengan diselenggarakannya vaksin dosis ketiga atau vaksin booster khusus tenaga kesehatan, muncul pertanyaan besar: apakah dokter hewan benar-benar bukan tenaga kesehatan layaknya dokter lain?

Narasi dokter hewan tidak dianggap sebagai bagian dari tenaga kesehatan di Indonesia sebenarnya bukan hal baru lagi di kalangan veterinarian. Sejak lama profesi dokter hewan sudah mendapat diskriminasi terselubung yang sangat berimbas pada fungsi dokter hewan di masyarakat. Masih segar di ingatan saya perihal seorang dokter hewan yang hendak pergi ke tempat kerjanya namun dihalangi oleh polisi lalu lintas dengan alasan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Veterinarian itu telah berupaya menjelaskan tujuannya adalah untuk bekerja dan dia memiliki pasien-pasien di kebun binatang sebagai tanggungan nyawanya. Namun, polisi yang mencegatnya bersikukuh bahwa tenaga medis yang boleh melintas hanyalah tenaga medis untuk Covid-19. Ketika dokter hewan menjelaskan bahwa dia juga tenaga medis, polisi yang bertugas mematahkan harapannya dengan mengatakan, “Tapi kan dokter hewan…”

Lah, dikira hewan kalau sakit cukup didoakan saja, kah?

Kenyataan yang tidak terbantahkan menurut UU

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan layak disebut sebagai tenaga kesehatan. Sayangnya, pada pasal 11(2) dijelaskan bahwa tenaga medis yang masuk dalam kelompok tenaga kesehatan hanyalah dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.

Agaknya, pak polisi yang menghalangi veterinarian tersebut memang rajin membaca UU dan memahami betul bahwa dokter hewan tidak masuk dalam kategori tenaga medis dan tenaga kesehatan. Dua jempol untuk pak polisi.

Secara legislasi, dokter hewan sudah terbantahkan dari pengertiannya sebagai tenaga kesehatan. Kementerian yang menaungi dokter manusia dan dokter hewan juga berbeda. Veterinarian tidak berada di bawah Kementerian Kesehatan, melainkan Kementerian Pertanian.

Menuntut keadilan sosial bagi seluruh dokter hewan di Indonesia

Walaupun tidak memiliki definisi sahih menurut peraturan perundangan, namun kita perlu memahami mengapa ketidakadilan ini menjadi sesuatu yang patut dipertimbangkan. Perbedaan paling mendasar antara dokter hewan dan dokter manusia ada pada pasiennya. Tidak bisa dimungkiri, stigma bahwa veterinarian masih dianggap inferior dibanding dokter manusia terjadi sebab tugasnya dalam mengupayakan kesehatan hewan dirasa tidak punya urgensi di mata masyarakat awam. Sering kali kita tidak melihat dalam jangka panjang nilai penting dari keberadaan dokter hewan sebagai tenaga kesehatan yang memiliki peran penting dalam memastikan kesehatan manusia juga. Pemikiran yang salah ini membuat kita enggan untuk membuka mata terhadap kemungkinan bahwa dokter hewan layak dianggap tenaga kesehatan.

Veterinarian memiliki slogan “Manusya Mriga Satwa Sewaka” yang artinya menyejahterakan manusia melalui kesehatan hewan. Sebagai contoh, hewan-hewan ternak yang kita makan tentu tidak akan menjadi bahan pangan yang layak konsumsi bila tidak memiliki kondisi yang sehat dan prima. Dokter hewan memegang peran penting dalam memastikan dan menjaga kesehatan hewan-hewan tersebut. Jika hewan-hewan ternak yang menjadi sumber penghasilan itu terserang penyakit dan tidak dapat diselamatkan, akan menjadi masalah bagi perekonomian peternak. Secara tidak langsung, manusia memang sangat membutuhkan status sehat dari hewan-hewan tersebut. Ini akan berimbas positif pada kesejahteraan manusia.

Tidak hanya hewan-hewan ternak yang bernilai ekonomis dan dapat dikonsumsi, tapi hewan-hewan lain juga sangat memerlukan hidup yang optimal. Hewan kesayangan pada praktiknya mampu memberikan kebahagiaan dan emosi yang baik pada pemiliknya. Kesehatan mental yang terjaga tentu akan memberi efek konstruktif pada kesehatan jasmani. Begitu pula dengan satwa-satwa liar di luar sana. Keberadaan mereka sangat berdampak terhadap keberlangsungan ekosistem hutan yang nantinya akan berpengaruh pada pemanasan global. Lagi-lagi, semua akan kembali pada kesejahteraan manusia.

Badan Kesehatan Dunia atau WHO telah mengumumkan konsep “One Health” sejak lama. Konsep ini adalah pendekatan yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat melalui relevansi antara kesehatan lingkungan, manusia, dan hewan. Sebab manusia dan hewan berbagi ekosistem yang sama, ini memungkinkan agen penyakit menjangkit keduanya dan penularan antarspesies dapat terjadi. Sehingga, upaya untuk menyejahterakan satu sektor tanpa mempertimbangkan yang lain akan menjadi sia-sia. Pendekatan holistik dan multidisiplin ini nyatanya sangat berpengaruh terhadap kesehatan yang menyeluruh. Ini berarti, tenaga kesehatan hewan diperlukan dalam mewujudkan cita-cita kesehatan bangsa.

Hewan memiliki hak selayaknya manusia dan layak diperjuangkan

Ada alasan penting lain yang membuat veterinarian layak menerima perlakuan yang sama dengan tenaga kesehatan lainnya, yaitu hewan memiliki hak-hak yang harus dipenuhi layaknya manusia. Kesejahteraan hewan dapat dicapai ketika prinsip kebebasan hewan atau “Five of Freedom” tercapai. Lima prinsip kebebasan itu terdiri atas bebas dari rasa lapar dan haus; bebas dari rasa tidak nyaman; bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit; bebas mengekspresikan perilaku normal; dan bebas dari rasa stres dan tertekan. Tentu, peran dari dokter hewan sangat diperlukan untuk memenuhi prinsip kebebasan yang berkaitan dengan penyakit. Pemenuhan prinsip ini menjadi tanggung jawab moral kita dalam memperlakukan hewan sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

“Apakah kesejahteraan dari hewan tidak cukup penting untuk diperjuangkan dibanding manusia itu sendiri?”

Well, coba tanya hatimu sekali lagi.

Oleh karena itu, hewan berhak mendapat upaya medis yang optimal sehingga dokter hewan juga berhak mendapat haknya sebagai nakes. Dokter hewan berhak mengobati pasiennya tanpa merasa dipandang sebelah mata. Veterinarian berhak mengobati pasiennya tanpa harus dipertanyakan status urgensinya. Dokter hewan juga berhak mendapat vaksin agar merasa aman ketika berhadapan dengan klien maupun pasiennya.

Akhirnya, semua sumber dari gonjang-ganjing status nakes ini kembali pada pemikiran masyarakat itu sendiri. Pemahaman yang bijaksana diperlukan untuk mencerna semua kemungkinan. Kita harus belajar melihat segala sesuatu dengan pendekatan multidimensi dan tidak egosentris. Kita juga harus mulai menumbuhkan tenggang rasa pada makhluk hidup lainnya, bahwa mau berkaki dua, berkaki empat, terbang, melata, maupun menyelam, sama-sama berhak atas tenaga kesehatan bila membutuhkan. Dengan begitu, kalimat-kalimat di atas tidak hanya menjadi paragraf persuasif belaka, namun dapat menjadi pemikiran yang berdasar atas hati nurani manusia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *