Sebuah Ironi di Negara +62, Promosi Wisata Halal dengan Cara yang Haram Mojok.co
artikel

Sebuah Ironi di Negara +62, Promosi Wisata Halal dengan Cara yang Haram

Emangnya kalau wisata halal terus kita boleh menyakiti hewan karena dianggap najis?

Satpol PP berulah lagi. Setelah belum lama ini Satpol PP memukul ibu hamil pemilik warung kopi dalam rangka razia PPKM di Gowa, kini Satpol PP menyiksa anjing peliharaan dalam rangka promosi wisata halal di Pulau Banyak. Perintah itu tercatat dalam surat edaran Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil perihal pelaksanaan wisata halal Aceh di Kecamatan Pulau Banyak.

Perintah dalam surat itu di antaranya adalah:

(1) Dilarang memelihara anjing dan babi di lokasi tempat wisata;

(2) Dilarang menjual atau melayani minuman keras;

(3) Tidak mempekerjakan Pekerja Seks Komersial (PSK), prostitusi atau membiarkan hal-hal yang bersifat mesum yang dapat melanggar etika ketimuran; dan

(4) Tidak menerapkan hal-hal yang bertentangan dengan kearifan lokal.

Atas dasar pelaksanaan promosi wisata halal di Aceh, Resort Kimo yang kedapatan memelihara anjing mendapat nasib nahas. Seekor anjing peliharaan bernama Canon mendapat perlakuan keji hingga mati dalam perjalanan ke Ibukota Kabupaten Singkil.

Dalam sebuah video terdapat rekaman anjing yang malang itu dipukuli menggunakan kayu oleh beberapa orang berseragam Satpol PP. Kemudian diketahui Canon diambil paksa menggunakan karung yang dilakban keliling lalu mati lantaran diduga kehabisan napas di tengah perjalanan.

Kira-kira, apakah cara tersebut dapat dibenarkan demi terlaksananya promosi wisata halal di Aceh?

Kali pertama mendengar mengenai “wisata halal”, yang terbesit di benak saya adalah tempat wisata yang menawarkan kemudahan akses bagi wisatawan muslim. Entah itu tersedianya tempat ibadah di tempat-tempat strategis, mudahnya membedakan makanan yang halal dan haram, dan lain sebagainya. Namun, apa yang saya pikirkan ternyata jauh berbeda dari dugaan. Ternyata pemerintah setempat bahkan melarang keberadaan anjing dan babi di lokasi tempat wisata. Larangan itu yang membuat Canon meregang nyawa beberapa hari lalu. Kira-kira bagaimana, sih, hukum najisnya anjing dalam Islam sehingga ia tidak boleh berada dalam kawasan “wisata halal”?

Di berbagai mazhab dalam Islam, hukum najisnya anjing menjadi berbeda. Hal ini disebabkan persoalan tentang najisnya anjing masih menjadi persoalan ikhtilaf di kalangan ulama. Pada mazhab syafi’iyah, di mana mayoritas muslim di Indonesia menganut mazhab ini, hukum mengenai air liur dan kotoran anjing adalah najis. Bahkan sekadar memegangnya juga sudah dapat dianggap terkena najis mugholadoh.

Berbeda dengan mazhab syafi’iyah, dalam ceramah Gus Baha, Imam Malik justru berpendapat bahwa anjing bukanlah hewan najis. Sebab awal perdebatan ini lantaran adanya sebuah hadis yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan untuk membasuh bejana yang terkena liur anjing sebanyak tujuh kali dengan air dan salah satunya dengan debu dan air. Maka, Imam Malik menganggap perintah itu tidak serta merta memvonis anjing sebagai hewan yang najis.

Terlepas dari perdebatan tadi, ajaran Islam masih memiliki tujuan dan ajaran yang sama. Bahwa kita semua tentu harus saling menghargai dan tidak boleh menyiksa sesama makhluk hidup. Yang mana menjadi jelas bahwa hanya karena menganggap anjing sebagai hewan yang najis, membenci dan menyiksa anjing tak lantas dibenarkan oleh Islam.

Pun, Islam telah mengajarkan bagaimana caranya untuk thaharah atau bersuci saat terkena bagian-bagian yang najis dari anjing. Alih-alih membunuh dan menyiksa, kita bisa dengan mudah membersihkan diri dengan air dan debu sesuai dengan yang telah diajarkan oleh Rasulullah.

Apabila kita membenci anjing hanya karena mereka adalah hewan yang najis, maka kita pun tak jauh berbeda dengan anjing. Peristiwa ini lantas mengingatkan saya pada perkataan KH Ali Maksum. KH Ali Maksum pernah mengatakan, “Manusia hakikatnya adalah toilet berjalan. Jika dibuka kulitnya maka yang ada hanyalah darah dan nanah. Maka, manusia tidak patut bersikap sombong sebab hanya Gusti Allah lah yang memiliki sifat Al-Mutakabbir.”

Merenungkan ulang petuah Kiai Ali, tak sepatutnya kita bersikap jahat kepada anjing hanya karena menganggapnya sebagai hewan yang najis. Apalagi hingga merasa besar kepala dan merasa lebih suci dari anjing. Wong, sejatinya kita itu hanya toilet berjalan yang kalau dibuka isinya hanya darah, nanah, dan kotoran yang tentu hukumnya najis semua. Lantas, untuk apa merasa lebih suci dan menggunakan cara-cara yang haram hanya untuk mempromosikan wisata halal? Bukankah itu justru menjadi sebuah ironi yang besar bagi negeri kita?

Apalagi konsep “wisata halal” sendiri belum memiliki definisi dan batasan yang jelas. Menilik perintah dalam surat edaran yang saya cantumkan di atas, konsep wisata halal seakan menghapuskan segala budaya yang dinilai tak sesuai dengan syariat Islam.

Padahal, berbeda dengan konsep wisata halal di Danau Toba, Pemprov Sumut mengatakan bahwa wisata halal bukan dengan meniadakan kearifan lokal yang ada. Melainkan menyediakan fasilitas pendukung bagi wisatawan muslim dan tetap berjalan berdampingan dengan kearifan lokal di yang ada. Jadi, apakah mungkin nyawa Canon melayang dengan cara tak layak hanya karena miskonsepsi atas penerapan dari “wisata halal”? Jika iya, sungguh miris negeri ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *