Generasi Permen Karet Menyebalkan di Organisasi Kampus Mojok.co
artikel

Generasi Permen Karet Menyebalkan di Organisasi Kampus

Kamu termasuk generasi permen karet juga nggak?

Entahlah, menunggu momen lengser dari kepengurusan organisasi mahasiswa rasanya campur aduk. Rasanya senang akhirnya melepaskan beban pikiran yang cukup melelahkan, apalagi di kondisi pandemi seperti ini. Tetapi di sisi lain, rasanya sangat menegangkan karena pada kepengurusan periode ini terdapat generasi permen karet.

Generasi permen karet ini baru-baru ini saya temui ketika berada di kepengurusan periode ke-2. Seperti apa, sih, generasi permen karet yang saya maksud?

Generasi permen karet, mereka ini begitu manis dan bersemangat pada saat awal bergabung di organisasi, khususnya pada masa pengaderan. Mereka berlomba-lomba menarik perhatian senior, melakukan job description (job desc) dengan baik di kepanitiaan, rajin mengikuti semua kegiatan yang diadakan oleh organisasi, dan masih banyak hal manis lainnya yang mereka lakukan demi bisa bergabung menjadi pengurus di sebuah organisasi mahasiswa.

“Tapi kan itu hal yang wajar, sepertinya semua orang yang memiliki tujuan tertentu pasti akan berusaha agar tujuannya tercapai.”

Benar sekali, hal itu sangat wajar. Lalu, kenapa mereka disebut “generasi permen karet”? Yang membuat mereka dilabeli menjadi generasi permen karet adalah sikap mereka yang tidak sesuai dengan usaha mereka di awal.

Cerita ini diambil dari pengalaman saya yang pernah satu kepengurusan dengan generasi permen karet. Pada saat itu saya adalah pengurus lanjut pada periode ke-2, yang mana saya merupakan salah satu pengurus yang ikut andil dalam pemilihan kader. Saya akan mengambil contoh si Budi, seorang generasi permen karet yang dipilih menjadi pengurus baru. Si Budi ini dipilih sebagai pengurus baru karena ia memiliki track record yang bagus saat menjalankan tugasnya di kepanitiaan dan yang menjadi nilai plusnya adalah ia memiliki tujuan yang spesifik. Katakanlah, tujuan utamanya ingin berprestasi melalui organisasi mahasiswa.

Setalah menjadi pengurus, Budi ini menjalankan job desc dengan baik tentunya. Ia juga menjalankan apa yang menjadi tujuannya di awal tadi. Tetapi, ketika tujuannya tidak berjalan sesuai ekspektasinya, ia merasa sangat kecewa. Padahal Budi ini harus dikunyah oleh proker yang harus ia jalani selama satu periode ke depan. Permen karet semakin dikunyah semakin sepah, bukan? Itulah yang terjadi pada Budi, rasanya sepah. Karena rasa kecewanya itu kinerjanya menurun, semangat awalnya tidak terlihat lagi, dan sering kali menghilang jika dibutuhkan. Sampai keluar perkataan darinya, “Ah, udah males aku. Aku ngerasa nggak dapet apa-apa.”

Kalau sudah keluar perkataan seperti di atas hanya ada dua kemungkinan. Pertama, ia akan tetap bertahan hingga periode kepengurusannya berakhir dengan kinerja yang menurun tetapi masih bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya. Yang kedua, ia akan mencari kegiatan lain yang mendukung tujuannya yang tidak bisa ia capai saat berada di organisasi, terlena dengan ambisinya, kemudian meninggalkan tanggung jawabnya sebagai pengurus. Budi masuk dalam kemungkinan kedua.

Kedengarannya itu pilihan yang bagus, tapi hanya untuk Budi. Tidak dengan pengurus lain yang ada di organisasi, termasuk saya. Budi tidak menyerah dengan tujuannya tetapi ia menyerah dengan tanggung jawabnya sebagai pengurus organisasi.

Hal yang paling menyebalkan adalah pengurus lain juga terkena dampak buruknya. Misalnya, teman yang satu departemen atau divisi dengan Budi ini. Mereka yang harusnya hanya mengerjakan job desc A dan B jadi harus mengerjakan job desc C dan D juga. Lalu, karena melihat sikap Budi yang seenaknya, pengurus lain jadi ikut tertular, seperti, “Ah si Budi aja kaya gitu, ya udah aku juga bisa kaya gitu.” Hal ini akan menjadi momen drama saat musyawarah besar.

Betapa menyebalkannya jika ada orang seperti itu di organisasimu, bukan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *