Ingatan Sembrono dan Ikan Kurisi Mojok.co
artikel

Ingatan Sembrono dan Ikan Kurisi

Benarkah sebuah benda bisa mengingatkan seseorang akan sesuatu yang sangat berkesan baginya?

Ingatan bukanlah makhluk yang bisa diatur, bahkan oleh tengkorak kita sekalipun. Ia bisa saja tiba-tiba muncul, bersembunyi, atau hilang. Ia bisa singgah di mana saja. Ia bisa bersemayam di sebuah catatan harian, lagu, foto, atau hal-hal yang identik dengan melankolia. Ia juga bisa bertautan dengan hal-hal yang tak terduga. Ikan kurisi, misalnya.

Menurut Wikipedia, ikan kurisi adalah ikan yang menghuni perairan dasar, mempunyai nama Latin Nemipterus japonicus, berasal dari suku Nemipteridae, hidup secara bergerombol, tersebar di perairan Indo-Pasifik…. Tentu saya tak perlu memberikan deskripsi panjang lebar seperti di atas sebab itu urusan pakar perikanan. 

Juga tak perlu dijelaskan panjang lebar tentang berapa harga sekilo ikan kurisi. Satu kilonya terdiri dari berapa ekor; jika kecil isi berapa; jika tanggung isi berapa; jika besar isi berapa; dan segala tetek bengeknya. Itu semua urusan para tengkulak dan pedagang ikan.

Seperti yang telah saya katakan, urusan saya di sini adalah mengetengahkan persoalan antara ikan kurisi dan ingatan. Dalam hal ini, saya memilih kisah malang yang menimpa Alex Monata, teman saya, sebagai studi kasusnya.

Beberapa bulan yang lalu, di pagi yang cerah, Alex datang ke rumah saya untuk bermain. Saya tahu kedatangannya bukan untuk tujuan lain, kecuali secangkir kopi gratis, sarapan gratis, dan tentu sebatang rokok Surya 12. Hari itu ibu saya masak menu yang menggoda: kuah bayam dengan serutan jagung, tempe, tahu, sambal mentah terasi, dan ikan kurisi goreng. Menu terakhir adalah favorit saya, lebih-lebih bagi Alex.

Seperti biasa, jika ada teman datang bertamu dan Ibu telah memasak, saya pasti disuruh Ibu untuk mengajak teman saya sarapan. Saya pun dengan antusias menghidangkan menu itu di depan Alex, namun dia tiba-tiba mengatakan bahwa dia tidak ikut makan. Dia bilang bahwa dia sedang tak bernafsu makan. Tumben-tumbenan, saya pikir. 

Dia malah nyelonong pergi ke kamar mandi. Tak lama kemudian, terdengar Alex mual-mual dari dalam kamar mandi. Beberapa saat kemudian, dia keluar kamar mandi dan segera pamit pulang. 

Aneh sekali. Beberapa menit yang lalu dia masih bugar dan sehat. Sekarang dia terlihat lesu hingga memutuskan untuk pulang. Mungkin dia sedang sakit, pikir saya.

Hari-hari selanjutnya ketika dia saya ajak untuk ngopi, dia selalu menolak. Dia bilang dia sedang sakit.  

Seminggu berlalu. Alex mengajak saya untuk ngopi. Kami pun bertemu di kedai kopi langganan. Di situ dia bercerita apa yang terjadi pada dirinya sedari rumah saya. Dia bercerita bahwa selama seminggu dia hanya mendekam di dalam kamar, menatap langit-langit, dan mengutuki nasib.

Apa sebabnya? Ingatan. Bagaimana bisa?

Saudara-saudara, jadi begini. Alex Monata, karib saya ini, dua tahun lalu ditinggal nikah oleh pujaan hatinya. Status mereka bukan berpacaran lagi, melainkan tunangan! Tanpa kata “pamit” atau “selamat tinggal”, tiba-tiba temannya mengirim foto undangan pernikahan tunangannya dengan orang lain. (Dua bulan sebelumnya Alex dan tunangannya tak berkomunikasi sama sekali karena sebuah pertengkaran.) 

Nah, ingatan itulah yang kembali menjangkiti kepala Alex. Melupakan sesuatu yang traumatis memang sangat sulit. Alex mengaku, sudah setahunan ini ingatan itu mau perlahan-lahan menepi ke sudut kecil kepalanya. Dia pun sebenarnya sudah mulai belajar menerima semuanya.

Namun, pertanyaan saya, kenapa sekonyong-konyong ingatan itu muncul dan menjangkiti kepala Alex kembali?

“Ikan kurisi goreng, Rob,” katanya sambil menahan tawa. 

“Ah, kamu ada-ada saja!” saya tertawa terkekeh-kekeh. 

“Ikan kurisi goreng di rumahmu,” katanya kali ini dengan terbahak-bahak.

“Dulu tiap ngapel aku dan dia sering memasak di dapur,” Alex mulai bercerita dengan suara yang dalam.

“Kami pergi ke pasar buat belanja, terus masak dan makan bareng. Selalu ikan kurisi. Kami sama-sama suka ikan kurisi, Rob. Kalau lihat ikan kurisi goreng, aku ingat janji, masa depan,….”

Saya hanya terdiam mendengarkan Alex bercerita sambil sesekali menghisap rokok dalam-dalam. 

“Apa lagi yang traumatis bagimu selain ikan kurisi? Lagu atau tempat tertentu?” tanya saya.

Sebagai teman yang baik, saya tak mau salah putar lagu atau mengajaknya ke tempat yang bisa membangkitkan memori pahit itu.

“Sambal petai, Rob, kami juga suka masak.”

“Lagu atau barang pemberian?”  

Alex menggelengkan kepala.

“Masa, dia tidak pernah kasih kamu kado? Atau hal lain yang lekat dengan kalian?”

“Ada, tapi aku biasa-biasa saja!”

Menurut Alex, perempuan itu memang pernah memberinya tiga kaus abu-abu polos, namun semua itu biasa-biasa saja baginya. Malahan, sampai sekarang dia sering mengenakannya. Dia juga punya kedai favorit yang biasa jadi tempatnya memadu kasih bersama perempuan itu, tetapi itu sama sekali tak traumatis untuknya.

“Itulah repotnya, Rob. Andai bisa memilih, lebih baik aku trauma dengan kaus polos pemberiannya. Aku bisa membuang atau membakarnya agar tak ingat.”

“Unik sekaligus absurd menurutku.” 

“Ya, ingatan, begitulah, sembrono memang!” 

Saya setuju dengan perkataan Alex. Ingatan memang sembrono. Ia sekehendaknya saja memilih tempat untuk menyimpan diri. 

Andai manusia bisa mengaturnya, kita mungkin akan meletakkan segala kenangan baik di tempat atau hal-hal yang dekat dengan kita. Jika ingatan itu tentang suatu hal buruk, mungkin kita akan menyimpannya pada hal-hal yang asing dan jauh, sebagai misal, di luar angkasa. Dengan demikian, hidup kita akan dipenuhi kebahagiaan. 

Sayangnya, kita tidak akan pernah bisa mengaturnya. Begitulah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *