Coffee Shop Cupable, Disabilitas, dan Kisah Eko Sugeng Menjadi Berdaya Mojok.co
liputan

Cupable Coffee, Disabilitas, dan Kisah Eko Sugeng Menjadi Berdaya

Dukungan, kesempatan, dan kerja keras membawa Eko Sugeng menjadi seorang disabilitas yang berdaya.

Biasanya, pagi hari di hari-hari kerja, Eko Sugeng (36) akan naik bus Trans Jogja dari halte Kalasan menuju Cupable Coffee tempat ia bekerja di Jalan Kaliurang KM 13,5. Ia bekerja di kafe itu sebagai barista. Namanya kondang. Eko Sugeng dikenal sebagai barista andal meski tak memiliki dua tangan yang utuh.

Eko adalah penyandang disabilitas. Sembilan belas tahun yang lalu, kedua lengan bawahnya diamputasi karena tersengat listrik bertegangan tinggi. Sekarang, ketika bekerja meracik kopi, ia mengapit semua alat masak dengan kedua sikunya sebagai ganti jari-tangan.

Ketika sampai di kafe, Eko akan mulai beberes meja bar tempat biji kopi dimasak jadi minuman. Ia akan menata alat seperti ketel, gelas-gelas, atau mengganti galon air bila habis. Kemudian ia akan menunggu pelanggan datang—sesekali larut dalam gawainya atau bercanda dengan sesama karyawan di sana.

Eko akan mengerjakan semua pesanan asalkan pesanannya adalah kopi manual brew, istilah untuk menyebut metode menyeduh kopi secara manual tanpa mesin khusus. “Kalau latte, saya memang belum bisa,” katanya, “karena perlu alat yang sudah dimodifikasi untuk bikin itu.”

Eko meracik kopi manual brew

Kini, Eko termasuk penyandang disabilitas yang mampu mandiri secara ekonomi, namun—sebagai penyandang disabilitas tidak dari lahir—jalan yang mesti dilalui Eko untuk mendapatkan kemandirian itu berliku.

Peluang penyandang disabilitas untuk berdaya secara ekonomi memang cupet. Di Indonesia, partisipasi kerja penyandang disabilitas tergolong rendah, berbanding terbalik jika dibandingkan dengan partisipasi kerja non-disabilitas.

Akhir September lalu, ketika Mojok menyambanginya, Eko menjelaskan pada kami bahwa berlikunya jalan menuju kemandirian bisa ia lewati berkat penerimaan dan kesempatan yang diberikan orang-orang di sekitarnya.

“Kalau saya dulu nggak di-support, nggak didampingi orang-orang terdekat, saya nggak bisa jadi seperti sekarang ini,” katanya.

Hidup Eko Sugeng berkelok tajam ketika ia kehilangan kedua lengan bawahnya dan menjadi disabilitas. Waktu itu, Eko adalah pemuda berusia 17 tahun. Suatu hari di tahun 2002, ketika Eko muda tengah membetulkan antena di rumah saudaranya, ia tertimpa kabel bertegangan tinggi.

Kejadian itu terjadi begitu saja dan tanpa aba-aba. Satu hal yang ia ingat betul, beberapa minggu setelah tersengat listrik, dokter yang menanganinya menyarankan untuk dilakukan amputasi.

Peristiwa itu membawa luka yang mendalam bagi Eko. Ia merasa tak lagi punya masa depan yang bisa dikejar. “Nek dulu yo, saya punya ketakutan soal pekerjaan,” ujar Eko.

Namun, Eko ingat, di tengah kekalutannya tersebut, ia tergugah untuk bangkit karena sebuah pesan dari orang tuanya. “Yang namanya orang tua itu ada batasnya, nggak selamanya hidup,” kata Eko menirukan orang tuanya. “La nanti kamu mau ngikut siapa kalau bukan dirimu sendiri?”

Dua tahun berkubang dalam kekalutannya, Eko kemudian memutuskan untuk ikut program pemberdayaan penyandang disabilitas di Pusat Rehabilitasi YAKKUM di Yogyakarta pada 2004. Saat itu, ia tak punya pikiran apa-apa selain ingin mandiri untuk urusan sehari-hari.

Perkenalan Eko dengan kopi terjadi tiga belas tahun setelah ia datang ke Yogyakarta, tepatnya pada tahun 2017 lalu. Ketika itu, YAKKUM bekerja sama dengan seorang pengusaha untuk membuat kafe Cupable.

Cupable dibangun di samping kantor Pusat Rehabilitasi YAKKUM. Saat kafe itu dibuka, Eko tengah bekerja sebagai staf resepsionis kantor Pusat Rehabilitasi YAKKUM. Eko kemudian jadi pelanggan tetap di sana. Sepulang kerja atau di sela pekerjaan sebagai resepsionis, Eko datang ke Cupable untuk membeli kopi.

Hal tersebut, membuat Pak Banu, pengusaha pemilik Cupable Coffee yang bekerja sama dengan YAKKUM, menawari Eko untuk belajar membuat kopi. “Saya itu orangnya sek ono yo tak lakoni, Mas, apa yang ada ya jalani saja,” katanya.

Ketika ajakan membuat kopi Eko sambut, ia kemudian diajari membuat kopi oleh Pak Banu dan dua peracik kopi di Cupable waktu itu. “Tiap sore saya ke sini (Cupable Coffee). Kalau di YAKKUM tidak ada tamu saya ke sini, kalau ada tamu saya ke YAKKUM,” ujar Eko menjelaskan proses belajarnya membuat kopi.

Tak lama setelah itu, juga di tahun 2017, Eko kemudian masuk program pelatihan Barista Inklusi yang diadakan YAKKUM. Program tersebut adalah pelatihan menjadi barista yang dikhususkan bagi kelompok-kelompok minoritas seperti penyandang disabilitas atau minoritas gender.

Eko Sugeng jadi angkatan pertama program Barista Inklusi. Setelah selesai dari sana, ia kemudian menjadi pekerja tetap di Cupable, tepatnya menjadi seorang barista.

Disabilitas dan Minimnya Kesempatan

Sejak Eko datang ke YAKKUM pada 2004 silam, ia menemukan bahwa banyak penyandang disabilitas lain yang punya ketakutan serupa dengannya, yakni ketakutan tak mendapat pekerjaan.

Untuk melihat persoalan ini lebih dalam, Mojok berbincang dengan Ajiwan Arief (36), Pemimpin Redaksi Solider.id, media yang mengkhususkan diri dalam isu disabilitas.

Menurut Ajiwan, partisipasi kerja penyandang disabilitas di Indonesia memang tergolong rendah. Namun, kondisi tersebut, kata Ajiwan, terjadi justru karena faktor di luar penyandang disabilitas itu sendiri. “Karena akses (penyandang disabilitas) terhadap pendidikan rendah, itu membuat serapan di dunia kerja juga rendah,” ujarnya.

Kami juga berbincang denga Veni (26), pengelola Cupable Coffee yang juga anggota YAKKUM. Senada dengan Ajiwan, Veni menjelaskan bahwa masalah utama penyandang disabilitas adalah minimnya akses untuk berdaya.

Minimnya akses tersebut, kata Veni, dapat dilihat misalnya dari akses pendidikan yang cekak jika berurusan dengan penyandang disabilitas. Padahal pendidikan jadi salah satu syarat mendapat pekerjaan.

“Belum banyak, kok, temen-temen disabilitas yang bisa mengakses sekolah dengan mudah, sehingga tingkat pendidikannya rata-rata rendah,” kata Veni. “Kalau pendidikannya rendah ya cari kerja susah dan karena itu tingkat kemiskinan (penyandang disabilitas) besar.”

Selain partisipasi kerja, partisipasi pendidikan penyandang disabilitas di Indonesia juga masih tergolong rendah. Data Indikator Kesejahteraan Rakyat 2020 yang diterbitkan BPS, menyebutkan sebanyak 3 dari 10 penyandang disabilitas belum pernah mengenyam pendidikan sama sekali. Sedangkan hanya 2 dari 10 penyandang disabilitas yang menamatkan pendidikan hingga perguruan tinggi.

Eko juga sempat putus sekolah karena disabilitas yang ia punya sejak tangannya diamputasi pada 2002 silam. Namun, kini ia termasuk 2 dari 10 penyandang disabilitas yang menamatkan pendidikannya hingga perguruan tinggi.

Eko menamatkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) LIA, Yogyakarta. Namun, pencapaian tersebut tak akan terpikirkan oleh Eko kalau saja ia tak ikut program rehabilitasi YAKKUM. Keputusan untuk menamatkan pendidikan hingga perguruan tinggi diambil Eko setelah melihat seorang seniornya di YAKKUM yang melakukan hal yang sama. “Saya ya, istilahnya, mengikuti jejak dia,” kata Eko.

Jika Eko memiliki kemauan untuk menamatkan pendidikan tingginya, lantas bagaimana dengan penyandang disabilitas yang tidak ikut program rehabilitasi seperti yang dilakukan YAKKUM?

Ajiwan memberi gambaran untuk pertanyaan tersebut. Ia masih menemukan penyandang disabilitas yang hak atas hidup yang bebas dikekang oleh lingkungannya.

“Beberapa fakta, (khususnya) di pedesaan, acap kali terjadi kawan-kawan difabel itu disembunyikan oleh keluarganya,” kata Ajiwan. “Bahkan, jenis-jenis difabel tertentu yang dianggap mengganggu itu direnggut kemerdekaannya dengan dipasung.”

Eko bekerja sebagai barista di Cafe Cupable

Satu Langkah Inklusivitas

Pada 2016, pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang tersebut dikeluarkan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang dirasa sudah kelewat bapuk.

Dalam UU tersebut, ada 22 hak penyandang disabilitas yang diakui. Hak-hak tersebut termasuk hak untuk mendapat pendidikan, kesehatan, pekerjaan, aksesibilitas, dan terbebas dari stigma.

Ajiwan menjelaskan pada kami bahwa gerakan kesetaraan untuk penyandang disabilitas berkembang setelah UU tersebut disahkan. “Setelah tahun 2018 sampai tahun ini banyak lembaga pemerintah yang membuka lowongan ASN untuk disabilitas. Demikian juga dengan perusahaan-perusahaan swasta,” katanya.

Banyaknya lowongan yang dibuka tersebut adalah buah dari peraturan kuota khusus untuk penyandang disabilitas yang diamanatkan UU Nomor 8 Tahun 2016.

Namun dalam praktiknya, implementasi UU tersebut masih perlu evaluasi lebih lanjut. Salah satunya, kata Ajiwan, adalah tentang keberagaman jenis disabilitas yang diterima menjadi tenaga kerja.

“Biasanya yang diterima itu difabel jenis tertentu saja, itu pun yang ringan-ringan, disabilitas fisik tanpa alat bantu gitu, misalnya,” kata Ajiwan. “Disabilitas netra-sensorik itu biasanya masih tertinggal, apalagi disabilitas mental-intelektual.”

Kemudian bagi Veni, keluarnya UU Nomor 8 Tahun 2016 merupakan awal yang baik bagi pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas untuk mandiri. “Walaupun implementasinya belum seratus persen oke, tapi setidaknya sudah membaiklah.”

Pentingnya Kesempatan dan Dukungan

Ketika mengingat kembali lika-liku hidupnya, satu hal yang Eko rawat hingga kini adalah rasa terima kasih pada lingkungannya. Bagi Eko, orang-orang di dekatnya telah memberikan kesempatan untuk mandiri dan berdaya.

Dari YAKKUM, Eko dapat mandiri. Pak Banu membuat Eko mengenal kopi. Komunitas bisnis kopi di Jogja juga terbuka pada Eko dan darinya ia belajar banyak. Anak dan istrinya juga membuat Eko tetap semangat bekerja.

Kini ia tengah mempersiapkan membuat kafe miliknya sendiri. “Sitik-sitik, Mas, sedikit demi sedikit,” katanya sembari tersenyum. “Kalau Allah meridhoi ya, harapannya bisa punya coffee shop sendiri atau warkop sendiri, biar bisa buka lapangan pekerjaan juga buat temen-temen yang lain.”

Berkat kesempatan dan dukungan yang diberikan lingkungan padanya, ketakutan Eko Sugeng tentang kesulitan mendapat pekerjaan lantaran disabilitas yang dulu ia miliki, kini telah hanyut dalam tiap kopi yang ia seduh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *