MOJOK.CO – Tanah Muna tidak punya istilah MOP. Namun, untuk urusan cerita lucu, Tanah Muna tidak kalah. Salah satunya MOP mencuri sandal di masjid.
Sebagai orang Muna (salah satu suku di Sulawesi Tenggara), kami sebenarnya tidak mengenal istilah MOP. Tapi kalo untuk cerita lucu, kami juga punya. Untuk menulis cerita lucu ala Muna, sa terpaksa baputar ke ingatan masa sa kecil dulu.
Waktu itu, kala hiburan belum ramai, hape juga belum ada, apalagi jaringannya. Televisi pun hanya satu atau dua buah saja jumlahnya di desa. Biasanya, teve hanya ada di rumah Bapak Desa. Kalo tidak, ya di rumah warga yang berdoi (beruang) lainnya.
Menulis cerita lucu ala Muna juga menjadi tantangan buat saya. Sa tulis itu gampang, isi tulisannya itu e, sa ragu bhela kalo da kan lucu buat kamorang (kalian). Lebih-lebih kalo yang baca bukan orang Muna. Pasti da tida lucu kamorang rasa. Sa pasrah mi kasian kalo misal cerita lucu yang sa tulis ini da tida bisa hibur kamorang.
Kenapa tidak lucu? Satu jawaban pasti, karena kamorang itu bukan orang Muna. Kalo sampai lucu, tapi kamorang bukan orang Muna, ado kayaknya ko tidak waras Pis (Pis dari kata “Pisa” yang berarti ‘sepupu’, tapi sering juga digunakan untuk pengganti kata ‘kawan’ yang sudah dianggap akrab sekali).
Tidak usah panjang lebar, mari paksa nikmati sa punya cerita dari Tanah Muna, Sulawesi Tenggara.
Katanya sambal, padahal lombo
La Ege, seorang petani di Kampung Pedalaman Muna. Hari-harinya da hanya akrab makan kambuse (jagung masak) kaondo (Ikan kering), dan katembe (sayur bening). Da dapat uang banyak usai menjual hasil panen da punya kebun. Karena belum pernah ke kota, hari Minggu, da jalan-jalan ke Kota. Di kota da singgah makan di sebuah warung makan. Da pesan nasi ayam ke pelayan.
Beberapa menit kemudian, pelayan datang dahidangkan pesanan La Ege. Nasi dan ayam daletakan di atas meja yang ditempati La Ege. Tak lupa da berucap “Ini sambalnya mas.”
“Oh iya, taru di situ saja, buat kawulusi ku sebentar.” Sahut La Ege. Kawulusi kurang lebih artinya pencuci mulut. Berhubung pelayannya wong Jowo da tidak tau arti kata kawulusi, jadi ia tak menyangkali apa yang dikehendaki oleh La Ege.
Nasi dan Ayam dilahap habis sama La Ege. Sampai akhirnya, momen puncak tiba. La Ege menggerakkan sendok ke dalam mangkok sambal. Cairan merah cerah berminyak memenuhi sendok, seakan mengisyaratkan betapa pedisnya itu sambal. Tapi akibat minimnya jam terbang La Ege di warung makan. Dalam hematnya, sambal itu adalah sebuah hidangan lezat dan sangat pas sebagai pencuci mulut.
Tanpa ragu-ragu bibir sendok da masukan dalam mulutnya.
“Aleeeeeee Ina, kalala itu bhela (Aduh, pedisnya, Mama!).” Keluh La Ege
Sisa sambal dimulutnya seketika da muntakan, lalu spontan da minum air di termos tanpa menuangnya lebih dulu ke gelas. Tak lupa damaki pelayan, “Kurang ajarnya itu pelayan, katanya sambal, padahal lombo.”
Anjing dan ayam bakuhina fashion
Masa sih anjing dan ayam mengenal fashion? Namanya juga cerita. Dalam cerita sa ini, fashion anjing dan ayam sebenarnya adalah bulu mereka.
Suatu ketika, anjing da berbaring santai di pekarangan rumah La Ege. Selang beberapa waktu seekor ayam betina lewat.
“Cie, cie cie, celana puntung ni e.” Labrak anjing ke ayam, yang bermaksud mengele-ele (mengejek) bulu ayam yang hanya sebatas lutut.
Ayam mengabaikan selutuk anjing, da bergegas jauh. Tak lama kemudian, da muncul lagi. Dan kembali anjing da gangu—da ejek fashion ayam.
“Piuuuuu, puntung ni e.” Usilan jail anjing kembali ke ayam. Usilan anjing laksana usilan seorang cowok di pos ronda dan suka menggoda cewek dengan memakai rok mini yang lalu-lalang.
Ayam tak kunjung da hiraukan anjing. Dia pun tak henti menggerakan langkahnya menjauhi anjing.
Ketiga kalinya, anjing berjumpa ayam. Lagi-lagi da belum tobat. Masih saja, fashion ayam da ele-ele.
“Puntung ni e.” Cibir kembali itu anjing.
Kali ini Ayam tak mampu lagi abai. Da habis kesabaran. Kekesalannya da menguap. Akhirnya da membalas.
“Dari pada ko, panjang memang, tapi sayang telurmu itu tetap saja da kelihatan bhela.” Pukulan telak ayam membuat KO si anjing.
Mencuri sendal di masjid
Suatu malam, La Ege baru da pulang dari masjid. Kepulangannya tida dengan tangan kosong, tapi da bawa satu pasang sendal hasil curian. Setibanya di rumah, mama La Ege geram usai da tahu kalo anaknya telah dacuri sepasang sendal di masjid.
Kayu bakar mendarat di betis La Ege, lalu disusul tangisan terseduh-seduh yang cukup mengganggu tetangga.
Tidak lama kemudian, Pak Ustaz lewat di depan rumah La Ege. Tangisan hebat La Ege telah mengundang Pak Ustaz untuk bertamu. Da hampiri la Ege dan da tanya “Ko kenapa Ege?”
“Sa dipukul mamaku Ustaz.” Jawab La Ege.
“Kenapa da pukul ko? Ko sala apakah?” Tanya lagi Pak Ustaz.
“Sa ditau mama kalo sa habis curi sendal di masjid,” kembali jawab La Ege
Pak Ustaz lalu dabilang “Itumi kamu Ege, sa suda bilang waktu di masjid, mencuri itu dilarang dalam agama. Jadi pantas saja kalo mama mu da pukul ko.”
Mama La Ege keluar dari rumah dan masih memegang kayu bakar. Betis La Ege tambah memerah karena dikena kembali kayu bakar. La Ege pun semakin menangis begitu hebatnya.
Tak tegah, Pak Ustaz mencoba melarai mama La Ege.
“Suda mi kasian, bu. Ege memang salah, Semoga dengan ini, La Ege datidami lagi ulang besok-besoknya.” Larai pak Ustad.
“Bukan begitu Pak Ustaz, ini ana terlalu kurang ajar, bisanya dacuri sandal di masjid cuman satu pasang, Padahal da tau kalau ada adenya di rumah da tak punya juga sandal,” kata Mama La Ege.
Pak Ustaz pun akhirnya terpaksa da geleng-geleng kepala.