Buat orang yang bisa dengan mudah meluapkan emosi, orang yang tampak tak pernah marah adalah satu kejanggalan. Orang seperti ini biasanya ada saja di sekitar lingkungan pertemanan kita.
Kita biasa membuat berbagai spekulasi tentang teman yang tidak pernah marah ini. Umumnya kita menduga, ia punya tingkat kesabaran level dewa. Hatinya teramat bersih sehingga ia tidak seperti kita: hal-hal sepele tak mungkin memancingnya untuk muntab. Kadang dengan maksud memuji yang tulus, kita menyebut mereka sebagai orang berhati malaikat atau berhati peri. Kita memberi mereka vonis final: mereka tidak marah karena mereka memang tidak bisa marah.
Dalam obrolan Mojok dengan tiga orang yang kerap sekilas tidak pernah marah berikut, anggapan-anggapan itu terbukti salah. Pada dasarnya mereka tetap manusia biasa, bukan psikopat tanpa perasaan. Ini kisah mereka yang selalu menahan diri, atau di lain waktu: tidak mampu, untuk mengungkapkan rasa marah sehari-hari.
MOJOK: Kalian pernah nggak sih dikomentari, “Kamu kok nggak pernah marah sih?”
Dewi (31): Aku sering dibilang nggak pernah marah, baik banget lah, gitu-gitu. Sampai bosan bahkan sempat berantem gara-gara aku protes. Nggaklah, aku pernah marah. Kalimat andalanku, “Namaku Dewi, bukan dewa. Aku juga bisa marah.”
Kata orang-orang, (aku dianggap terlalu baik karena) aku suka ngasih barangku atau makanan. Dan dibilang nggak pernah marah biar kalau diisengin, dimarahin orang, atau difitnah, aku nggak marah alias diem.
Yusi (30): Kayaknya pernah. Ya aku pernah marah, cuma nggak aku tunjukkan aja.
Dafi (32): Ya pernah tho. (Sebenarnya) Bukannya nggak pernah (marah) sih, perasaan. Pernah lah, cuman jarang. Dan karena jarang, temen-temen suka nggak tahu.
Apa sih alasan kalian jarang menunjukkan kemarahan?
Yusi: Mungkin karena aku tipikal orang yang kalau marah aku pendam, jadi ketika marah, ya udah aku diamin aja, nggak aku keluarin emosinya di depan orang-orang. Yang paling utama sih karena nggak enak buat negur orang, terutama teman, yang udah bikin marah. Dan itu malah jadi kebiasaan, jadi kesannya nggak pernah marah.
Dafi: Karena kalau marah, kadang habis itu menyesal soalnya. Jadi karena ingat perasaan menyesal itu, jadi menjaga diri jangan sampai marah. Wasyuuu, aku kok jawabannya kayak sufi.
(Aku mulai merasakan penyesalan ketika marah itu) sejak kecil. Lupa sih kalau dipastikan sejak usia kapan. Menyesalnya ya menyesal… kayak, anjrit, harusnya masalah tadi kan bisa diobrolin. Malah bisa lebih beres. Kalau marah kan malah nambah masalah lagi.
Dewi: (Aku nggak menunjukkan kemarahan) soalnya nggak mau memperpanjang masalah. Kalau akunya sedih difitnah atau digunjingin orang, paling makan Yupi atau tidur. Baru kalau udah reda, aku jumpai dia dan bilang aku kesal bla-bla-bla. Sekarang aku kalau nggak suka, ya aku bilang. Soalnya dulu pernah kupendam, tapi aku malah jadi orang yang menakutkan dan nyebelin. Jadi sekarang udah berani bilang.
(Memendam itu bikin aku jadi menakutkan) karena terakumulasi dan pas memuncak, aku udah nggak sanggup nahan, jadinya terlalu sedih.
Aku pernah sampai mengurung diri satu tahun, kabur dari kampus, takut ketemu orang yang bikin aku kesal, dan aku lugat beberapa teman sampai depresi dan ke psikiater gitu. (Memendam emosi) bahkan berpengaruh ke kesehatannya. Aku jadi takut. Nanti bisa jadi monster kalau memendam perasaan.
Bisa nggak sih disebut bahwa kalian ogah mengeluarkan ekspresi marah karena malas berkonflik?
Dafi: Mungkin itu ya. Lebih tepat kayaknya. Itu juga jadi sebab aku paling males cerewet di medsos. Karena medsos tuh isinya konflik doang.
(Kalau sedang menghadapi konflik, efek fisik yang terasa adalah) gemetar. Tremor mesti tanganku. Kalau kemarahannya udah sampai di ubun-ubun ya gitu reaksi tubuhnya… gemetar. Intinya, marah itu kan biasanya di dada ya, lah kalau udah sampai kepala yang pusing, itu berarti parah. Tapi nggak sering sih. Karena aku kan orangnya lebih ke nrimo ing pandum. Wkwkwk.
(Aku jarang menampakkan kemarahan karena) resolusi konflik itu lebih sulit ketimbang melampiaskan kemarahan. Bukan ikhlas ya… mungkin lebih ke males terjadi konflik. Bukan sabar juga… soalnya sabar kan skemanya nggak gitu. Sabar kan kalau kita sebenarnya punya power, tapi kita memilih nggak memakai jalur kekuatan/status/dll. Kalau dasarnya nggak punya power ya nggak sabar namanya, tapi lebih ke takut.
Yusi: Ya, bisa dibilang seperti itu. Aku malas bermasalah sama orang lain.
Aku orangnya introver banget. Memang kenalanku banyak, tapi kalau dibilang punya banyak teman sih nggak. Cuma itu-itu aja temanku. Tapi aku kalau berteman sama orang bisa awet, ya mungkin karena itu tadi, aku orang yang cari aman, tidak mau berkonflik sama orang, teman, dan siap mendengar celotehan mereka. Tapi emang kalau terlalu banyak berinteraksi dengan orang, aku cepat banget capeknya, bisa-bisa aku mau istirahat ketemu orang selama beberapa hari. Hahaha.
Kalau kalian memilih tidak mengeluarkan kemarahan itu, ada semacam pelampiasan lain?
Dewi: Makan Yupi dan tidur. Tidurnya bisa lama banget. Ya, bangun, tapi tidur lagi bisa berhari-hari. Kalau sekarang udah bisa nyetop nggak sampai lama.
Oh, ada satu lagi, (pelampiasannya) dengan tiba-tiba WA orang dengan chat yang nggak kelas. Misal, nanya lagi apa, nyuruh dia tidur, dsb. Tapi terus pernah dimarahin sama temanku karena annoying banget kayaknya. Sekarang udah nggak WA orang sembarangan.
Aku kalau tidur pas marah aja. Kalau chat random itu, pas marah, kesal, sedih, atau ketika tiba-tiba kepikiran soal kemarahanku. Soalnya aku kan cenderung susah untuk cerita dan bagiku, masalahku nggak penting buat orang lain atau malah mengganggu. Dulu aneh banget aku, suka chat tiba-tiba minta maaf.
Aku beruntung sih, di tahun 2019 kawan chat random-ku baik banget dan suka marahin, suka kasih pemikiran yang beda, nggak muji atau kasih motivasi bijak. (Berkat teman itu) selama satu tahun tadi jadi masih bisa termanajemen emosiku, nggak separah temen-teman. Eh, ini judulnya curhat dong, nggak wawancara. Maapin.
Yang jelas, sampai sekarang aku tetap nggak bisa nunjukin kemarahan ke orang.
Yusi: Aku nggak ada pelampiasan khusus sih, paling cuma ngomel dalam hati aja, ngomong sendiri.
Dafi: Main PS paling. Atau YouTube-an. Kalau parah banget baru ngaji, kadang sampai tahajud segala. Wkwkwk.
Dari kapan sih kalian merasakan semua hal tadi?
Dewi: Ini semua aku alami sejak SMP hingga dewasa. Karena aku bodoh kali ya. Hahaha. Kalau flashback, sepertinya gegara aku sering mendengar aku diomongin di belakangku sih. Ada aja yang tiba-tiba suka cerita—orang yang di depanku baik, kuanggap temen, ternyata jelekin aku. Itu kayaknya dari aku SMP. Makanya aku jarang punya teman dekat. Kalau kulihat teman-teman dekatku saat ini, mereka orang yang ngomongnya seadanya (nggak mengatai di belakang).
Yusi: Sepertinya ini bawaan dari orok aja sih, tapi mungkin juga karena udah jadi (((kultur))) di rumah. Kami tipikal orang yang nggak enak buat ngeluarin emosi sama orang lain, kecuali mamakku.
(Aku susah marah kalau di luar, tapi sering marah di rumah) bisa dibilang karena situasi dan perlakuan yang emang berbeda antara di rumah dan di luar. Kalau dulu kan waktu masih kecil di rumah sering dimarahin terus, tapi nggak berani melawan. Baru berani melawan ketika udah besar dan dari situ udah mulai meluapkan emosi yg dipendam selama ini ketika kena marah. Jadinya suka marah-marah juga sekarang di rumah. Dan ngerasa lebih bebas aja kalau mau marah di rumah, nggak perlu jaga image banget di depan orang-orang. Sedangkan di luar itu aku ngerasa sebagai sumber bahagia karena di rumah sering dimarahun terus dan jaim.
Dafi: Dari kecil sih, aku lupa persisnya. Mungkin karena aku bungsu dari 10 bersaudara, jadi pelampiasan kemarahan mas dan mbakku kan ke aku semua. Dan aku nggak punya pelampiasan balik, kalau mau marah ke siapa? Awalnya gitu seingetku. Aku tuh pas masih bocah sering diomelin.
(Mirip) kayak persoalan merawat bapak-ibuku yang sudah sepuh misalnya… semua (saudara) menumpukannya ke aku… dan aku nggak punya power untuk balik minta ke mereka. Wasyuuu… malah jadi cerita ini ke orang lain. Tapi gapapa sih, mungkin karena kebiasaan menahan diri di dalam keluarga, jadi kalau di luar itu masalah jadi terasa sepele-sepele aja.
Buat Mas Dafi yang sudah punya anak, pengalaman pernah jadi pelampiasan emosi banyak orang itu ngefek ke cara mendidik anak nggak?
Dafi: Iya dong. Aku justru agak keras ke anakku. Biar dia terbiasa kalau nanti sekolah kan pasti ketemu anak yang nggak menyenangkan, nyebelin, tukang buli. Cuma nggak setiap waktu, soalnya anakku lembut banget hatinya.
Tapi anakku juga sama kayak aku, nggak bisa marah sama sekali. Nggak tahu cara melampiaskan kemarahan lebih tepatnya. Sama kayak aku.
Itu bikin kamu khawatir?
Dafi: Nggak sih. Karena yang penting kan kontrol diri. Aku percaya kalau peristiwa itu Cuma 10 persen yang kejadian, dan 90 persennya bagaimana kita mereaksinya. Kalau lepas kontrol ya remuk.
Hal kayak apa yang paling sering bikin kalian kesal?
Dewi: Apa ya… salah satunya kalau misal udah ngingetin sesuatu, tapi orangnya nggak gubris, kayak misal sampah nggak langsung dibuang jadi bau. Atau kalau soal kerjaan, sudah diingetin tapi orangnya lupa. Itu bikin sengit (nggak suka) sih karena nanti yang dijadiin kambing hitam aku.
Tapi kalau soal kerjaan, aku diajarin buat riwayat kronologis kerjaku. Jadi kalau aku yang salah, aku minta maaf. Kalau yang salah orangnya, ya aku cuekin walau tetap kesal.
Oh, satu lagi, kesal hati dan fisik tuh kalau aku nggak ada waktu rehat gara-gara harus dengerin keluhan orang. Kemarin aku naha kesal lalu ngedrop, demam karena kecapean dengerin dan mikir solusi, terus ditambah kehujanan.
Yusi: Sekarang aku gampang kesal untuk hal-hal kecil dan hal-hal yang dilakukan, tapi nggak sesuai standar atau ekspektasiku. Misalnya soal kebersihan, kalau nggak sesuai standarku, kadang suka kesal.
Apa sih enak dan nggak enaknya jadi orang yang bisa memendam kemarahan?
Dewi: Enaknya kita jadi bisa berpikir jernih buat melangkah lebih lanjut. Nggak enaknya: lelaaah, Bundaaa….
Yusi: Nggak enaknya itu kalau udah kesal banget sama orang, nggak bisa negur/marah dengan lepas karena nggak enakan. Jadi mengganjal di hati.
Enaknya mungkin jadi nggak bikin konflik berkepanjangan soalnya kalau aku udah nggak bisa nahan, aku bakal ngomong kata-kata kotor dan hal-hal jelek lainnya tanpa dipikir dan itu malah bisa memperburuk situasi.
Dafi: Enaknya, bisa kasih pause untuk situasi yang nggak menguntungkan kita sih. Terus jadi ada waktu buat mikir. Setelah emosinya stabil tapi ya, kalau masih dalam keadaan emosi ya nggak mungkin bisa mikir.
Biasanya pas mikir itu jadi ketemu, oh, aslinya situasinya nggak buruk-buruk amat kok. Akunya aja yang lebar, pakai emosi segala. Gitu kira-kira.
Terus, pas dipelonco di pesantren, misalnya, aku jadi biasa aja. Soalnya udah terbiasa menahan diri di rumah.
Kerugiannya, ya tadi, jadi sering diremehkan. Terutama di keluarga. Karena dianggap nggak pernah protes atau marah, jadi aku dianggap terima-terima aja ditugasin apa sama mas dan mbakku.
Di lingkungan pertemanan mungkin juga gitu, tapi nggak separah di keluarga sih. Dan untungnya karena di lingkungan pertemanan yang nggak parah, jadi akunya santai-santai aja.
BACA JUGA Lewat Akun Alter, Gen Z Mencari Teman, Cinta, Popularitas, dan Perang dan liputan Mojok lainnya.
[Sassy_Social_Share]