Warung Pojok Mbak Yuni di kawasan Kotabaru, Kota Yogya tak pernah sepi dari pembeli. Satpol PP pernah menegurnya karena warungnya semi permanen di trotoar. Nggak disangka teguran itu justru membuat warung ini jadi laris manis.
***
Sebuah warung dengan terpal oranye dan asbes sebagai atapnya, berdiri kokoh di trotoar pojok pertigaan Jl. I Dewa Nyoman Oka, Kotabaru, Yogyakarta. Seluruh pegawai berseragam kaos hitam tampak sibuk berlalu-lalang.Sebagian mengantarkan masakan yang baru saja matang ke gerobak saji.
Sebagian yang lainnya menyiapkan minuman ataupun bahan-bahan masakan yang mulai habis. Warung ini seperti warung tenda pada umumnya. Hanya meja kursi sederhana dan tikar lesehan di sepanjang trotoar bagi pengunjung yang ingin makan di tempat.
Sebenarnya warung ini pun juga tak terlalu luas, berbentuk panjang namun masih kalah dengan panjangnya antrean tiap pagi hingga menjelang makan siang. Katanya, warung yang bernama “Warung Pojok Mbak Yuni” atau biasa disebut Warjok Mbak Yuni terkenal akan harganya yang murah sekaligus lezat. Setiap makanan yang dihidangkan adalah masakan yang baru saja dimasak.
“Telurnya mau habis!”
Tiba- tiba salah seorang pegawai yang menjaga gerobak saji berteriak.
“Oke, bos!” sahut pegawai lainnya. Mereka berada di depan beberapa anglo dengan arang yang masih menyala-nyala. Asap tipis perlahan memasuki rongga penciuman ketika saya berada tak jauh dari tempat masak itu. Saya sedang duduk bersama Mbak Yuni di bawah pohon beringin, tempatnya biasa bekerja. Ia adalah pemilik Warung Pojok Mbak Yuni yang sudah berdiri sejak 2007.
Berawal dari dua macam sayur
Mbak Yuni memandangi aktivitas warungnya yang memasuki waktu sibuk, maklum sudah hampir mendekati jam makan siang. Jari-jari tangannya luwes mengaduk adonan tepung untuk campuran tempe goreng. Pinggir jalan ini menjadi saksi bisu perjuangan Mbak Yuni mendirikan warung yang dulu hanya sebagai tempat nongkrong ibu-ibu sambil menunggu anaknya pulang sekolah.
Berkali-kali, perempuan itu menyebut kata berjuang. Berjuang, berjuang, dan berjuang. Seolah memberi kode, apa yang ia dapatkan sekarang adalah buah dari perjuangan di hari lalu.
Cerita ini dimulai dari tahun 1998. Perempuan gigih itu bersama suaminya sedang memutar otak di tengah krisis moneter yang melanda. Usaha yang telah dibangun sejak 1994, terancam gulung tikar. Beberapa alat pencetak kerupuk yang biasanya mereka gunakan sebagai penopang hidup pun rasanya tak memiliki nilai lagi.
Seluruh usaha di masa itu hancur, termasuk usaha pembuatan kerupuk mesin milik Mbak Yuni. Nilai mata uang rupiah terpuruk. Begitu pun bisnis Mbak Yuni. Semakin lama mulai turun, dan akhirnya ikut terpuruk. Akhirnya, pada tahun 2001 mereka memutuskan untuk berhenti sebab tak sanggup lagi.
Pontang-panting Mbak Yuni rasakan bersama suami. Mereka berdua sama-sama tak punya pekerjaan lagi. Bisnis yang dikembangkan oleh sepasang suami-istri itu sudah tak tersisa. Hanya cinta dan kepercayaan merekalah yang tersisa. Kepercayaan untuk bangkit lagi.
“Dalam pikiran kami hanyalah, pekerjaan apapun yang penting ada,” ucap Mbak Yuni, hari Rabu (05/01/2022).
Akhirnya, Mbak Yuni memutuskan untuk membantu kakaknya berjualan gudeg tiap malam di sekitaran Jl. Pangeran Mangkubumi. Hasilnya tak seberapa, tapi yang penting cukup.
Memasuki tahun 2007, ia kepikiran untuk membuka warung makan sendiri. Kecil dan sederhana. Tapi lagi-lagi, yang penting cukup. Bersama suami, ia mendapatkan sebuah tempat yang menurut mereka strategis jika dibuka warung makan.
Tepatnya di pojok salah satu pertigaan besar di Kotabaru. Sering dilewati oleh orang yang melintas dan dekat dengan sekolahan. Jika tidak ada pelanggan dari jauh, seenggaknya bisa jadi tempat nongkrong orang tua yang menunggu anaknya pulang sekolah.
“Akhirnya, kami coba berjualan di situ kalo siang. Malamnya, saya jaga gudeg lagi sampai 2014,” kata Mbak Yuni sambil tersenyum. Matanya lurus memandang beberapa kendaraan yang mulai parkir di depan warung tendanya. Sekarang, tangannya sedang asyik memotong jamur yang akan ditumis.
Pada awal berdiri, Mbak Yuni hanya mengeluarkan modal sebesar 150 ribu rupiah. Setiap hari, ia memasak dua sayur dengan menu yang berbeda. Jika hari ini lodeh dengan tumis, maka besok Yuni akan memasak oseng dan sayur bening. Begitu seterusnya.
Bahkan, lauk yang ia sajikan juga terbatas. Kadang telur, ayam, ataupun ikan. Seluruh lauknya dimasak secara dadakan, ketika ada yang pesan. Alasannya, supaya lebih segar dan enak. Mbak Yuni juga tak mau menjual olahan daging berkaki empat, sampai sekarang. Sebab menurutnya, waktu masak yang dibutuhkan sangat lama. Tidak cocok dengan warungnya yang harus serba cepat karena ditunggu pelanggan.
Satpol PP membawa berkah
Beberapa tahun berlalu, Mbak Yuni dan suami tetap bertahan di warung kecil yang kadang ramai dan sepi itu. Semua tak menentu. Sampai suatu hari, Satpol PP mendatangi warung mereka.
“Dulu kan warung ini semi permanen, disuruh jadi bongkar pasang sama Satpol PP,” kata Yuni, “tapi itu malah jadi berkah! Satpol PP membawa berkah!” lanjutnya. Perempuan itu menceritakan, sejak warungnya diubah menjadi tenda bongkar pasang, dagangannya perlahan menjadi ramai. Mungkin karena lebih luas sehingga orang-orang menjadi ngeh ketika melewati jalan ini.
“Awal ramai ya dari mulut ke mulut. Orang-orang sering ngrekomendasiin buat makan di sini. Apalagi tempat ini cukup strategis, deket kantor dan sekolahan,” ujar Mbak Yuni.
Setiap pukul tiga pagi, Mbak Yuni dan seluruh karyawan sudah berada di lokasi warung. Mereka serempak mendirikan tenda, menata peralatan masak, hingga meja kursi bagi pembeli. Sampai sekarang, masakan satu per satu ia masak sendiri dibantu dua pegawai masak lainnya. Tak ada resep rahasia khusus, hanya masakan rumahan biasa racikan tangan Yuni.
“Sebelum subuh udah mulai masak. Yah, warung ini kan jam enam pagi sudah buka, jadi kami harus gasik,” ucap perempuan asal Klaten itu.
Walau ngoyo harus bangun pagi-pagi buta, setidaknya Mbak Yuni bersyukur. Sekarang, ia sudah mampu mengangkut seluruh perlengkapan warungnya dengan mobil setiap hari. Dulu lebih rekoso lagi, ia harus mengangkut barang-barangnya menggunakan becak. Jika dulu modalnya hanya Rp150 ribu sekali masak. Sekarang, ia mampu menghabiskan Rp10 juta dalam sehari.
Berbagai macam sayur dan lauk pauk ia hidangkan setiap harinya. Dijamin, setiap hari kesini pun mungkin tak akan bosan. Jika dulu warung kecil semi permanennya hanya mampu menjual beras 2 kg dalam sehari, sekarang ia mampu menghabiskan beras 2 kuintal dalam sehari.
Modal saja segitu, bagaimana dengan keuntungan dalam sehari?
Yuni tertawa, katanya: “Rahasia dapur!”
Harga menu di Warung Pojok Mbak Yuni sangat terjangkau. Satu porsi menu dengan dua jenis sayur dan telur harganya Rp10 ribu. Gorengan rata-rata dijual perbiji seribu rupiah.
Kisah telur padang yang gagal
Salah satu menu andalan dari warung ini adalah telur goreng. Orang-orang sering menyebutnya telur gobal-gabul. Walaupun Mbak Yuni sendiri pun tidak tau darimana nama yang sekarang populer itu berasal. Pokoknya, beberapa pelanggan sering menyebut demikian. Mbak Yuni ngikut saja.
“Sebenernya dulu saya pengen bikin telur dadar padang,” ia terkekeh, “tapi gagal.”
Saya mengernyit sambil ikut tertawa pelan, “kok bisa? kan jago masak, Mbak?”
“Salah resep, salah cara goreng, salah semuanya,” Yuni melanjutkan tawanya.
Perempuan yang saat ini berhasil memiliki enam belas karyawan itu, memang penggemar telur. Apalagi telur dadar padang, enak dan empuk.
Sepuluh tahun yang lalu, Yuni coba-coba membuat menu lain untuk warung pojoknya, telur dadar padang. Pasti digemari oleh semua orang.
Sayangnya, niat Yuni gagal. Bukannya telur goreng tebal khas Padang yang didapat, malahan telur tipis nan krispi. Tapi kata Yuni, malah enak.
“Saya coba jual. Eh laku. Sekarang jadi favorit,” akuinya.
Kegagalannya berbuah manis. Mungkin kalau dulu telur padangnya berhasil, belum tentu sepopuler sekarang. Dan Yuni, tak mau mencoba membuat telur padang dengan resep lain lagi, walaupun barangkali bisa berhasil. Baginya, telur padang gagal biarlah tetap menjadi telur gobal gabul kegemaran banyak orang.
Suara genjrengan gitar kecil dari belakang kami tiba-tiba memutus obrolan. Mbak Yuni menoleh ke sumber suara. Ternyata, seorang pengamen sedang berdiri di depan tempat makan para pembeli. Dengan cepat Yuni melambaikan tangan ke arah pria itu, memanggilnya untuk datang ke meja kami. Beberapa lembaran uang keluar dari saku celana kain yang ia pakai.
“Kalau ngamen, sama saya aja ya. Pelanggan saya jangan,” ujarnya, lalu pengamen itu langsung pergi. Kata Mbak Yuni, bukannya tidak suka, tapi ia menghargai beberapa pelanggan yang merasa terganggu jika kerap didatangi pengamen saat makan. Maka dari itu, ia selalu membiasakan para pengamen untuk datang langsung ke tempatnya. Toh, mereka bisa mendapat hasil yang sama dari meja Mbak Yuni dibanding harus berkeliling dari meja ke meja.
Reporter :Rahma Ayu Nabila
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Kisah Pembuat Replika Robot Transformers dari Bantul, Pemesan Rela Antre Setahun dan liputan menarik lainnya di Susul.