Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan

Nasib Monyet Ekor Panjang yang Terancam Punah tapi Tak Ada Payung Hukum yang Melindunginya

Aisyah Amira Wakang oleh Aisyah Amira Wakang
15 Desember 2025
A A
Berantas topeng monyet. MOJOK.CO

Aksi Peduli Monyet dan Animal Friends Jogja di Hari Monyet Sedunia (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

27 tahun yang lalu, saat duduk di bangku kelas 5 SD, Wanggi Hoed mulai menyadari ada yang tidak beres dengan pertunjukkan topeng monyet di Indonesia. Barangkali, sama seperti anak-anak kebanyakan, ia masih menganggap bahwa pertunjukkan topeng monyet adalah kegiatan yang lumrah bahkan menghibur. 

Ia tertarik dengan tingkah monyet ekor panjang yang lucu dan pintar, yakni bisa mengendarai sepeda motor versi mini, membawa payung, dan berkeliling ke orang-orang sekitar sambil menyodorkan toples. 

Namun, anggapan itu seketika berubah saat dia melihat langsung penyiksaan terhadap monyet yang dilakukan oleh pawang. Mungkin tidak secara eksplisit, tapi sebagai seorang seniman pantomim, yang suka mengamati tubuh makhluk hidup sejak remaja, Wanggi mulai menyadarinya.

“Kan ada ya pawang yang bawa tongkat bambu terus biar monyetnya bergerak, dia pecuti monyetnya sampai ditarik-tarik lehernya,” ucap Wanggi.

Pengalaman itu juga yang menggerakkan hati Wanggi untuk ikut bergabung Aksi Peduli Monyet. Lewat bakatnya menggerakkan tubuh hingga menyalurkan emosi ke penonton, Wanggi ingin menginterpretasikan tubuh monyet yang kerap dijadikan sebagai objek hiburan, komoditas, sekaligus korban kekerasan selama puluhan tahun.

Aksi peduli monyet Jogja. MOJOK.CO
Wanggi Hoed dalam aksi peduli monyet di Titik Nol Jogja pada Minggu (14/12/2025). (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

“Tubuh menjadi ruang terakhir bagi mereka yang suaranya terus diabaikan. Pantomim memberi saya cara untuk memperpanjang suara monyet ekor panjang, yang selama ini tenggelam oleh arus hiburan dan konten media sosial,” ujar seniman pantomim tersebut.

Oleh karena itu, Wanggi nyaris tak pernah absen ikut aksi memperingati Hari Monyet Sedunia. Salah satunya, aksi yang digelar di Titik 0 Kilometer Jogja pada Minggu (14/12/2025) pagi. Di sana, Wanggi menjadi aktor kunci dalam pertunjukkan teatrikal bersama 15 aktivis dari Aksi Peduli Monyet maupun Animal Friends Jogja (AFJ).

Basmi aksi topeng monyet, perburuan, dan hilangnya habitat

Aksi yang digelar di Titik 0 Kilometer Jogja sebagai respons atas masifnya perdagangan monyet dan satwa liar lain yang bahkan berlangsung secara terang-terangan di pasar-pasar hewan di Jogja. Padahal, Daftar Merah IUCN telah menetapkan monyet ekor panjang dalam kategori endangered atau genting akibat perburuan dan hilangnya habitat.

Praktik eksploitatif terhadap satwa juga dapat dilihat langsung di open studio karya seniman Angki Purbandono yang bertajuk (Membaca) Topeng Monyet di Cemeti Institute. Dalam open studio tersebut, Angki menelusuri topeng monyet sebagai artefak budaya yang dulu dianggap hiburan, kini perlu dibaca ulang sebagai praktik eksploitatif terhadap satwa. 

Aksi peduli monyet. MOJOK.CO
Aksi Peduli Monyet dan Animal Friends Jogja guna memperingati Hari Monyet Sedunia di kawasan Titik Nol Jogja pada Minggu (14/12/2025) pagi. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

“Lewat open studio ini, saya ingin membuka arsip, kostum, dan ingatan kolektif, lalu menempatkannya dalam dialog yang lebih jujur tentang relasi manusia dan satwa,” ujar Angki. 

Ancaman serius bagi kesehatan publik

Angelina Pane, salah satu perwakilan dari Aksi Peduli Monyet berujar status monyet ekor panjang yang terancam punah semakin pelik. Tak hanya soal topeng monyet, tapi juga karena tak adanya payung hukum untuk melindungi kelangsungan hidup hewan tersebut. Sebab, hingga saat ini, ia belum masuk daftar satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan dan Kehutan Nomor 106 Tahun 2018.

Oleh karena itu, perdagangan monyet, kata Angeline Pane, masih dianggap lumrah di Jogja. Padahal, dalam proses perdagangan itu, Angelina yakin ada proses perburuan yang menyiksa hewan primata tersebut. 

“Proses perburuan itu melibatkan pembunuhan orang tuanya untuk diambil bayinya. Bayangkan, seperti misalnya ibu, ibu itu tidak akan melepaskan anaknya ketika mau diambil. Dan itu juga terjadi dengan para monyet yang diburu secara ilegal,” jelas Angelina saat ditemui di Titik Kilometer Jogja, Minggu (14/12/2025).

Memelihara monyet maupun menjadikannya atraksi topeng monyet, kata Angelina, sebetulnya bentuk pelanggaran etika terhadap satwa liar sekaligus ancaman serius bagi kesehatan publik melalui risiko zoonis. Mulai dari penularan TBC, herpes B, rabies, hingga parasit yang dapat berdampak langsung pada manusia. Sebab biasanya, monyet dewasa yang tumbuh agresif, seringkali ditinggalkan langsung oleh majikannya.

Iklan

Jaga habitat alami monyet

Poster larangan perdagangan monyet. MOJOK.CO
Poster bertuliskan “Dipisahkan dari ibunya secara paksa dengan membunuh! Dipamerkan publik figur sebagai satwa peliharaan membuat perdagangan satwa liar makin tak terkendali.” (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Menurut Angelina monyet memegang peran penting dalam menjaga keseimbangan habitat alaminya. Sebagai penyebar biji, mereka berkontribusi langsung pada proses regenerasi hutan.

Bencana ekologis yang terjadi belakangan di Indonesia yang juga akibat keserakahan manusia, seharusnya menjadi pengingat bahwa penghormatan terhadap seluruh bentuk kehidupan, termasuk satwa liar, adalah keharusan. Bukan memburu dan menjadikannya pekerja seperti topeng monyet.

Oleh karena itu, Angelina mendesak pemerintah Jogja untuk menerbitkan peraturan daerah yang secara tegas melarang perdagangan monyet. Aksi Peringatan Hari Monyet Sedunia ini juga diharapkan mampu menjadi ruang pertemuan antara advokasi kebijakan, kerja-kerja komunitas, dan praktik kesenian, sekaligus menegaskan pesan yang tak bisa ditawar.

“Monyet ekor panjang adalah satwa liar yang harus dilindungi dan tidak untuk diperdagangkan. Segala bentuk eksploitasi termasuk topeng monyet dan konten hiburan di media sosial, bukan hanya tidak etis, tetapi harus dihentikan sekarang,” ucap Angelina.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Elang Jawa Terbang Bebas di Gunung Gede Pangrango, Tapi Masih Berada dalam Ancaman atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Terakhir diperbarui pada 15 Desember 2025 oleh

Tags: Hari Monyet SeduniaJogjaKekerasanMonyetperdagangan monyetpunahtopeng monyet
Aisyah Amira Wakang

Aisyah Amira Wakang

Artikel Terkait

Peringatan Hari Monyet Ekor Panjang Sedunia di Jogja. MOJOK.CO
Bidikan

Pilu di Balik Atraksi Topeng Monyet Ekor Panjang, Hari-hari Diburu, Disiksa, hingga Terancam Punah

15 Desember 2025
Harga Paha Atas Olive Chicken Naik, Warga Jogja Resah (Unsplash)
Pojokan

Keresahan Warga Jogja di Balik Kabar Kenaikan Harga Menu Paha Atas Olive Chicken

12 Desember 2025
UMK Jogja bikin perantau Jawa Tengah menderita. MOJOK.CO
Ragam

Penyesalan Orang Jawa Tengah Merantau ke Jogja: Biaya Hidup Makin Tinggi, Boncos karena Kebiasaan Ngopi di Kafe, dan Gaji yang “Seuprit”

11 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO
Ragam

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

11 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Perjalanan Aswin Menemukan Burung Unta: Dari Hidup Serabutan hingga Membangun Mahaswin Farm

Perjalanan Aswin Menemukan Burung Unta: Dari Hidup Serabutan hingga Membangun Mahaswin Farm

10 Desember 2025
Nekat resign dari BUMN karena nggak betah kerja di Jakarta. MOJOK.CO

Nekat Resign dari BUMN karena Lelah Mental di Jakarta, Pilih “Pungut Sampah” di Kampung agar Hidup Lebih Bermakna

10 Desember 2025
Jadi omongan saudara karena sarjana nganggur. MOJOK.CO

Putus Asa usai Ditolak Kerja Ratusan Kali, Sampai Dihina Saudara karena Hanya Jadi Sarjana Nganggur

12 Desember 2025
Wali Kota Semarang uji coba teknologi bola GPS untuk mitigasi banjir Semarang MOJOK.CO

Bola GPS Jadi Teknologi Mitigasi Sumbatan Air Penyebab Banjir di Simpang Lima Semarang

13 Desember 2025
UMK Jogja bikin perantau Jawa Tengah menderita. MOJOK.CO

Penyesalan Orang Jawa Tengah Merantau ke Jogja: Biaya Hidup Makin Tinggi, Boncos karena Kebiasaan Ngopi di Kafe, dan Gaji yang “Seuprit”

11 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

11 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.