Laki-laki ini sugar baby, menjadi simpanan perempuan yang merasa nyaman dengan kehadirannya. Tak ada hubungan seks dalam percintaan keduanya. Kebutuhan ekonomi dan ingin didengarkan jadi ikatan yang sulit dilepaskan.
***
Kampus, kini, nampaknya tak ubahnya berbeda dari sebuah kafe di bilangan Jogja yang menjamur, namun sepi oleh pembeli. Kampus berada di mana-mana, namun yang singgah tak pernah lebih dari ratusan. Penyebabnya tentu saja pandemi Covid-19 yang terus menjadi trauma menahun, bagi tiap insan yang berkerumun.
Saya berjalan perlahan di sebuah kampus yang cukup terkenal di Jogja. Kampus yang memiliki bangunan yang tinggi menjulang, rasanya seperti sedang menusuk-nusuk langit yang hari itu nampak seperti kertas buram. “Bentar lagi hujan, lebih baik Mas cepat-cepat ke lokasi. Saya sudah sampai,” begitu kata Wir* (25) ketika kami berjanjian untuk ketemuan.
Biasanya, selama ini, saya janjian liputan dengan narasumber, pertemuan berlangsung di tempat kediamannya, di sebuah kafe, pol mentok ya tempat makan. Namun Wir memilih untuk ketemuan di sebuah taman perpustakaan, di kampus yang ia huni selama hampir lima tahun hingga akhirnya ia lulus. Hal ini cukup unik, dalih pemilihan tempat pun amat menarik.
Laki-laki asal Jakarta ini tak lantas enyah dari Jogja walau sudah mengunci gelar sarjana. Katanya, kota ini terlampau sesak menyimpan cerita hidupnya. “Terutama kisah cintaku dengan dirinya… Hmm, entah ini bisa dibilang cinta atau apa,” katanya dengan sedikit pilu, kemarin malam, setelah kami janjian ketemuan via suara.
Tak ada alasan bagi Wir memilih perpustakaan kampus selain kenangan. Katanya, ia hanya mencoba untuk meresapi cerita, lantaran kampus lah yang membawanya bertemu dengan Rosa* (44), sugar momma, yang menyimpan sejumput kisah di antara mereka berdua. Kisah yang berkelindan bersama rasa sayang sekaligus dosa.
Asmara yang berawal dari perpustakaan
Saya memarkir motor, melihat dirinya tengah asik bermain ponsel dengan pakaian yang modis, rambut klimis, dan tentunya melempar senyuman manis ke arah saya yang bahkan mandi pun belum sempat dan pastinya menyimpan bau yang amis.
Ia terus-terusan melempar senyum, menyuruh saya untuk duduk. “Aku berusaha bercerita, supaya orang lain tidak terjebak dalam situasi pelik, seperti yang aku alami,” begitu katanya. Sebuah pembuka yang jujur saya membuat saya sedikit terkejut. Pikiran usang saya, Wir hendak menyombongkan dirinya kepada khalayak, lantaran kisahnya ini membuat ia bisa membeli banyak hal.
“Nggak, kok. Aku malah ingin lepas. Apapun yang sudah dilandasi cinta, itu sulit. Pun cinta tidak bisa disalahkan juga lantaran timbul tenggelam dalam medium yang bernama perasaan. Hanya saja, seperti kata Puthut EA, cinta tak pernah tepat waktu,” katanya.
Setelah obrolan ringan terjadi, seperti membahas mengapa belakangan udara Jogja amat panas hingga perbandingan mendasar kota ini dengan daerah asalnya, Jakarta, Wir terus menerus memberikan disclaimer bahwa tulisan perihal dirinya nanti, enggan untuk dijadikan sebagai pembenaran.”Mau bagaimana pun salah,” itu yang berkali-kali ia katakan, muak dengan keadaan.
Laki-laki yang memakai jaket kulit, celana jeans hitam, dan sepatu kulit itu mulai membuka cerita. Ia menjelaskan posisinya dalam hubungannya. Awalnya nampak sekali Wir mengalami kekagokan dan saya pun tak bisa mencairkan. Akhirnya, ia memilih jalan lain, yakni situasi pertama kali ia bertemu dengan Rosa.
“Perpustakaan kampus, di mana pun letaknya, nampak sama saja. Bangunan-bangunan yang membosankan, petugas perpustakaan yang wajahnya lebih kaku dari buku-buku Pram, suasana hening layaknya representasi pemakaman, tentunya, siapa yang mau singgah lama selain mereka yang itu-itu saja?” kata Wir.
“Perpustakaan kampus, di mataku ya hanya sebuah bangunan tanpa makna, menyimpan buku dan tak memiliki fungsi yang lainnya. Aku butuh buku, itulah yang membuatku datang ke tempat ini. jika aku tak suka membaca, mana sudi aku ke tempat membosankan seperti ini?” ia melanjutkan.
Wir membawa dua kaleng soda, beberapa kripik, dan tentu saja buah-buahan yang ia beli di tukang rujak. Kami nampak seperti sedang piknik dan sekadar curhat ketimbang datang membawa agenda. Wir, dalam obrolan pertama, nampak seperti Socrates yang sedang memainkan kata-kata demi masuk ke dalam pusat pembicaraan.
“Bahkan, kamar kosku lebih menyenangkan (ketimbang perpustakaan kampusnya, red). Hmm, itu sebelum aku bertemu dengan Rosa…” begitu caranya berputar dalam bercerita, untuk sampai kepada tujuan utama. “Rosa amat mencintai perpustakaan. Beberapa kali aku ke sana, kami selalu bersua. Sejak saat itu, perpustakaan adalah tempat terindah di bumi ini.”
Bahkan, pertemuan Rosa dan Wir berlandaskan sebuah hubungan yang normal. “Aku gemar membaca Jacques Derrida, ia suka Michel Foucault. Di sebuah kampus yang rasanya sangat kering orang-orang yang membaca itu, kami jadi rekan berdiskusi yang baik. Kami menghabiskan banyak waktu di perpustakaan,” terangnya.
“Bahkan aku tak melihat keriput di pipinya, atau mulai terlihat uban di rambutnya yang banyak memikirkan hal-hal berat selain teori kekuasaan, tentang subjek dan objek, juga… anaknya yang tengah menangis di rumah,” kata Wir.
Dari perbincangan yang banyak dan berisi, sampai ke perbincangan yang remeh dan lepas kendali, begitu terang Wir. “Sampai pada akhirnya aku bercerita tentang keluargaku yang hancur sejak aku SMA. Aku tidak menemukan sosok ibu di rumah, apalagi sosok ayah. Aku haus akan kasih sayang, namun apa daya, semua tak bisa aku penuhi.”
Wir merasa kering ketika bercakap dengan kawan sebayanya. Wir menganggap, mereka masih butuh waktu hanya sekadar memikirkan betapa hausnya dirinya akan kasih sayang. “Mereka (kawan-kawan sebaya Wir, red) masih banyak pikiran lain yang lebih penting ketimbang pacaran. Mereka masih perlu terbang bebas di angkasa, ketimbang menerima segala kisah yang butuh kasih,” ujar Wir.
Singkatnya, Rosa memenuhi apa yang selama ini Wir cari. “Setinggi apapun ilmu yang aku dapatkan, sosok Rosa membuatku kalap bahwa ia adalah istri orang lain. Aku merusak semuanya dan itu aku tahu aku salah. Baik Rosa atau aku, sepakat bahwa obrolan ini terjadi antara kami berdua saja.”
Wir memiliki sebuah bisnis kecil-kecilan yang bertautan dengan cara dirinya membayar uang kuliah. “Bagaimana pun, aku ogah untuk meminta kepada ibu atau ayah. Mereka adalah monster, dan aku rasanya jijik untuk meminta kepada mereka. Dua tahun lalu, bisnisku itu hancur, aku ditipu temanku, nahasnya Rosa ada dan aku jatuh ke pelukannya semakin dalam. Ah, lagi-lagi karena faktor uang, bukan?”
Sugar baby dan sebuah anomali
Istilah kerennya adalah sugar baby, yakni kegiatan mencari pasangan yang jauh lebih tua dan kaya-raya dengan tujuan mendapatkan keuntungan ekonomi dari mereka. Wir, walau niat awalnya bukan itu, pada akhirnya terperosok jauh dengan hutang demi hutang ia timbun.
“Aku, sih, itungannya itu sebuah hutang. Rosa bilang anggap saja itu balas jasa lantaran aku mendengarkan kisah-kisahnya. Hanya itu saja. Kami bahkan tidak sampai melakukan kegiatan yang berbalut dengan ranjang. Hanya saling mengusap dan seka, walau itu hitungannya juga dosa, ya?” katanya, tidak membutuhkan jawaban.
Langit Jogja makin seperti kertas buram seperti dijadikan orek-orekan bagi siswa yang sedang ujian matematika. Walau begitu, tak menetes satu pun tetesan air dari angkasa. Malahan, yang ada, linang air mata tercipta dari wajah Wir yang terawat dan tanpa jerawat itu. Air mata itu tidak menetes, tidak juga jatuh. Ia diam, terombang-ambing dalam perasaan yang tak menentu.
Wir menyalahkan dirinya, dari cara mendapat uang yang instan, kebutuhan hidupnya meningkat pesat. “Seperti apa-apa aku dapat, uang begitu mudah masuk rekening, aku jadi butuh hal-hal yang sebelumnya nggak pernah aku butuhkan. Aku jadi seperti mau segalanya di bumi. Pikirku, toh ada Rosa. Dan itu jahat sekali, kan?” katanya.
Alasan Wir atas pemenuhan uang untuk kuliah lantaran bisnisnya gagal total, ini seperti halnya yang dilaporkan oleh Vice yang bersumber dari SeekingArrangement, sebuah situs kencan online yang dikhususkan untuk Sugar Daddy, Sugar Momma, dan juga Sugar Baby.
SeekingArragement menyebutkan, “bahwa kebutuhan mencukupi ongkos pendidikan merupakan salah satu motivasi utama sugar babies mencari pasangan lebih tua. Sebab, dari generasi muda Indonesia yang kini berusia 25 tahun hingga awal 30-an, hanya 12 persen yang memiliki gelar sarjana. Bahkan, di mayoritas kota-kota besar Indonesia, 56 persen penduduk berusia muda belum bisa menempuh pendidikan S1 karena keterbatasan biaya.”
Seperti menjadi anomali, trend sugar baby ini menunjukan sebuah ketimpangan dari sebuah kondisi sosial-ekonomi maupun gender di sebuah wilayah. Dalam kondisi sosial-ekonomi, hadirnya trend sugar baby, menampilkan lanskap bahwa lapangan kerja yang dibutuhkan lebih kecil ketimbang jumlah tenaga kerja.
“Lebih enak menjadi simpanan Rosa ketimbang harus mencari kerja sana-sini, walau aku tahu ini tidak mungkin berlangsung lama,” kata Wir, seorang mahasiswa yang memperoleh IPK di atas 3.5. Hal ini menjadi sebuah anomali baru bahwa etos kerja juga mempengaruhi seseorang dalam mencari pekerjaan.
“Aku bukan tanpa perhitungan, tapi daftar kerja sana-sini nihil panggilan. Nilai lumayan, tapi ketika melihat kondisi—dan gaji, aku jadi banyak memperhitungkan. Itu sih yang menjadikan diriku bertahan dengan Rosa yang awalnya hanya membutuhkan, jadi cinta,” tambah Wir.
Cinta seperti apa yang dimaksud oleh Wir? Barangkali semilir angin di depan perpustakaan sebuah kampus lumayan terkenal ini menjadi jawaban; bahwa cinta itu ada banyak macamnya, seperti angin yang menerjang dedauanan, bisa meranggas, bisa juga mengikuti iramanya.
Lantas bisa juga merujuk kepada ketimpangan gender. Barangkali pemilihan Wir sebagai narasumber atas dasar ia mau bercerita dan berterus terang. Banyak di luar sana yang menolak, dari total lima sugar baby, empat adalah perempuan dan semua menolak ketika saya mintai keterangan. Jawab mereka kompak, kisahnya tidak menarik.
Padahal, di sini saya tidak menjual kisah, namun melihat sebuah hal mengapa lebih banyak perempuan yang masuk dalam lembah bernama sugar baby, ketimbang laki-laki. Dilansir dari ILOSTAT (Data Organisasi Buruh Internasional atau ILO), pada tahun 2020, hanya 53.2% populasi perempuan di Indonesia yang memiliki pekerjaan.
Data ini nampaknya tidak pernah berubah secara siginifikan. Berbeda dengan laki-laki yang menyentuh angka 81.6%. Hal ini tak pernah jauh dari stigma dan anggapan bahwa perempuan lebih lemah ketimbang laki-laki, dalam berbagai banyak hal. Konsep dan stigma ini, menjadikan banyak perempuan menyerah dan memutuskan untuk mengambil jalan pintas seperti menjadi sugar baby.
Dalam banyak kasus, memperkerjakan perempuan dianggap sebagai sesuatu yang merugikan. Semisal aturan cuti haid dan kehamilan. Padahal, hal tersebut sudah diatur dalam dilindungi dalam Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003.
“Cerita saya nggak menarik, Mas. Seperti hal-hal klasik bahwa saya juga butuh kenyamanan dan kemapanan. Di usia segini, kebutuhan melejit, pekerjaan tak kunjung bisa diraih—sekalinya dapat pun upahnya palingan hanya akan habis pada seperempat bulan. Saya nggak mau diwawancara karena capek mendapat stigma demi stigma,” kata salah satu dari empat perempuan yang menolak saya wawancara.
Mencintai karena kondisi
Berkali-kali, Wir mengatakan bahwa ia mencintai Rosa. “Tanpa memandang ia memiliki kehidupan dengan suaminya, aku mencintai dia. Bukan hanya karena uang, lho. Bukan, bukan hanya karena uang,” katanya yang bahkan mengulang bukan karena faktor uang dua kali banyaknya.
Dari berbagai hal, Wir sadar, nyatanya jelas bahwa uang yang diberikan bukan berlandaskan asas ikhlas. “Aku harus menemani dirinya curhat, entah di perpustakaan atau di tempat yang lebih tertutup. Sekali lagi, kami tak pernah melakukan sampai jauh. Rosa butuh rasa nyaman, pun dengan diriku. Bisa jadi, cinta adalah mata uang bagi kami. Mata uang yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, namun dengan tindakan.”
Ditanya apakah Rosa mencintai dirinya juga, ia menggelengkan kepala. Bukan karena Rosa tak mencintainya, namun karena ia menolak Rosa untuk membalas cintanya. “Tiap kali menatap matanya, aku sedih. Pada akhirnya ia pulang bukan kepadaku. Aku adalah tempat untuk ia pergi, bukan pulang.”
Wir juga merasa bahwa Rosa seperti hendak menunjukan kehebatannya. Dengan status sebagai pekerja sekaligus mahasiswa pascasarjana, ia bisa membantu keuangan keluarganya dan juga Wir sebagai simpanannya. “Rosa seperti hendak pamer kepadaku bahwa ia kuat dalam sisi finansial, namun uang hanya alat tukar, bukan untuk merengkuh kebahagiaan. Yah, kebahagiaannya itu memang diriku, nahasnya aku didapatkan ketika rupiah sudah terlampir. Ini getir.”
Melihat langit yang mulai gelap lantaran hujan siap menggulung pelataran depan perpustakaan kampus yang lumayan terkenal ini, Wir mengatakan, “Pada akhirnya cinta seperti apa yang dikatakan oleh band .Feast, seperti keset selamat datang. Walau bukan konteksnya, tapi ya ibaratkan bahwa cinta itu adalah gerbang menuju penderitaan berikutnya jika kita tidak bisa mengolahnya. Sayangnya, aku dan Rosa adalah anak manusia yang tidak bisa mengolah hal yang harusnya indah bernama cinta. Aku selalu bersyukur ketika melihat anak muda yang saling jatuh cinta dan masyarakat menyebutnya normal. Karena bagiku, sampah masyarakat, normal adalah hal yang jauh. Jauh sekali.”
Wir memakan satu potong buah semangka yang ia beli. Ia melepeh beberapa biji si buah semangka itu. Saya pun bertanya, “Semisal Rosa meminta sudah, apakah kamu siap?”
Ia menggeleng. Ia mengaku tak punya plan berikutnya selain menjadi sugar baby. Ia berniat menjadi sugar baby secara full-time. Wir, dalam sebuah senyum yang berikan namun mata yang terus menampakkan linang, berkata bahwa ia melihat peluang, mencari manusia-manusia kesepian lain yang berlalu-lalang. Wir sudah biasa disebut jalang, walau ia sangat ingin dicap sebagai manusia yang malang.
BACA JUGA Perempuan yang Membenci Ciuman dan Tak Menikmati Seks dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.