Menjadi desainer grafis sepintas seperti pekerjaan yang tampak manis. Sehari-hari bergelut dengan tata letak dan visual. Orang-orang bilang, mereka adalah golongan pekerja dengan selera art-nya yang tinggi.
Tidak sedikit juga desainer grafis asal Indonesia yang mendunia. Di tahun 2013 saja, di laman pasar desainer grafis terbesar dunia, 99designs.com, mencatat dari 225.000 desainer grafis dari 192 negara, 17.000 di antaranya berasal dari Indonesia. Tak salah kemudian sebutan raja desainer grafis dunia disematkan untuk Indonesia.
Tidak sedikit pula, yang kemudian namanya mendunia karena karya-karyanya. Namun, apakah kabar baik ini membuktikan hidup desainer grafis semanis madu? Bagaimana dengan para desainer grafis yang bekerja di akar rumput, baik freelance maupun di dalam agensi?
Sebelum kita bicara suara hati desainer grafis, saya ingin meluruskan sesuatu. Sering terjadi miskonsepsi antara ilustrator dengan desainer grafis. Keduanya sama-sama menghasilkan karya desain. Namun peran mereka berbeda. Ibarat dua sisi koin, berbeda tapi sama.
Menurut crafter.getcraft.com, kedua cabang seni visual ini memang tergolong dalam seni komersial dan masuk ke bidang industri. Keduanya terikat hukum pasar dan menjadi alat komunikasi di dunia pemasaran. Keduanya bertujuan menyampaikan pesan kepada publik. Tapi hasil dan caranya berbeda.
Pada ilustrator, gambar menjadi fondasi kuat dalam proses penciptaan karya. Pesan sponsor disampaikan tanpa perlu menggunakan kata-kata. Mereka menciptakan seni visual yang menarik minat publik, sembari memasukkan pesan sponsor di dalamnya. Bisa dibilang, ilustrator haruslah membuat kreasi visual dari langkah paling awal: menggambar.
Sedangkan desainer grafis berfokus dari tatanan halaman atau layout. Mereka akan merancang komposisi layout dari berbagai elemen grafis: gambar, font, label, border, dan lain sebagainya. Semua dipadukan menjadi satu sehingga pesan sponsor tersampaikan dengan lebih detail lewat struktur visual yang estetis dan efisien.
Dari penjelasan ini, bisa dibilang ilustrator adalah produsen kain dan desainer grafis adalah penjahit. Dan kali ini saya mewawancarai tiga orang desainer grafis “akar rumput” tadi. Nama mereka mungkin tidak anda ketahui, tapi bisa jadi karya mereka pernah anda lihat. Dan dari penuturan mereka, getir pahit desainer grafis terungkap.
Setelah setahun, gaji belum dibayar
Mas Willy (23) adalah orang pertama yang menyasar di otak saya ketika bicara tentang kehidupan menjadi desainer grafis. Sebagai orang yang pernah bekerja sama, saya jadi saksi dari kepiawaian Mas Willy dalam mengolah karya visual. Tapi dibalik senyum dan tawa saat ngobrol dengan saya, blio mengungkapkan banyak hal pahit.
“Pertama jadi desainer grafis dua tahun lalu mas. Itu kalau bicara kerja. Tapi dari SMK sudah biasa membuat desain grafis, buat sendiri atau pesanan teman,” ujar Mas Willy sambil sibuk menggarap desain salah satu kliennya.
“Awalnya kerja menjadi desainer grafis gimana, Mas?” tanya saya sembari menyeruput kopi khas Basabasi.
“Awalnya aku magang di tv nasional mas. Tapi masih random dari ngurus take, edit, lightning juga. Selama kuliah, saya kerja sampingan sebagai konten kreator di sebuah coffee shop. Punya teman saya. Tapi itu belum kerja tetap,” jawab Mas Willy.
“Sek, bedanya content creator sama desainer grafis itu apa mas,” tanya saya agak kurang nyaman. Takut salah sasaran wawancara. Padahal sudah ditraktir kopi juga.
“Content creator itu cuma bahasa sekarang mas. Biar yang daftar itu sepaket. Bisa desain grafis, videografi, fotografi, kalau perlu servis laptop mas hahahaha,” jawab Mas Willy sambil terkekeh.
“Tapi secara kerjanya, aku memang desainer grafis sih mas, kalau take foto sama video itungannya nyambi,” jawab Mas Willy.
“Dulu aku mikir biar bisa kerja sambil kuliah mas. Gajinya juga ga banyak, Cuma 500 ribu (rupiah) tambah kopi gratis tiap hari. Tapi malah ga efektif mas, banyak nongkrongnya. Jadinya keluar mas, sekalian mau magang,” imbuh mas Willy yang lulusan salah satu kampus produsen desainer grafis di Jogja.
“Yah tapi lumayan ya mas bisa ngopi gratis dan digaji,” ujar saya sekenanya.
“Walah mas, gaji terakhir saya aja belum dibayar sampai sekarang. Tak ikhlaske mas hahaha,” jawab Mas Willy sambil kembali tergelak. Dan hampir setahun lalu Mas Willy keluar dari pekerjaannya.
“Akhirnya selesai magang 4 bulan, saya kerja full time mas. Itu baru benar-benar merasakan kerja jadi desainer grafis. Termasuk ngurusin revisi yang nggak selesai-selesai, Mas. Belum lagi request, padahal sedang sibuk kerjaan harian, Mas,” keluh Mas Willy sambil menyesap vapornya.
“Tapi masalah gaji gimana, Mas,” tanya saya.
“Hahahaha, sama-sama tahu aja, Mas. Apalagi ga ada desainer grafis yang kerjanya kantoran. Pulang ke rumah masih kerja, ngejar request orang,” jawab Mas Willy sambil bicara gaji.
“Tapi tidak usah ditulis ya mas,” imbuh Mas Willy.
“Pengennya Mas Willy gimana sih perkara kerjaan desainer grafis,” tanya saya sambil gantian menyesap nikotin via rokok.
“Gapapa mas kerjaan dobel-dobel. Tapi setiap kerjaan ada angkanya mas. Ada gajinya. Tapi selama ini yang dirasakan kerjaan banyak tapi gaji juga seadanya. Kita juga butuh diapresiasi lho mas,” ujar Mas Willy.
“Jadi konten kreator itu tidak mudah, Mas. Tidak cukup kalau pakai teori di kuliah. Ilmu desain grafis dapatnya selalu di luar kampus, Mas. Dan lebih banyak otodidak. Kemampuan ini rumit lho, Mas,” ujar Mas Willy sambil meneruskan pekerjaannya. Waktu terbaca pukul 23.00. Memang overtime.
“Sebagai desainer grafis, kami harus selalu riset. Misal membuat logo atau desain promosi, kami riset, brainstorming, bikin draft, dan ditawarkan ke klien. Itu biasanya sering tidak cocok. Sudut pandang kami sama klien sering beda. Ketika sudah jadi sesuai konsep, sering kali dikritik sebagai downgrade. Sampai approval bisa lama, Mas, apalagi ada banyak orang yang approval. Wah nek gitu, mesti susah ending-nya,” imbuh Mas Willy lagi.
“Kalau bahasanya, waktu itu fana tapi revisi itu abadi tho,” imbuh Mas Hari, yang membuat kami tergelak. Mas Hari ini teman nongkrong yang tahu juga lika-liku temannya yang bekerja sebagai desainer grafis
“Desainer grafis itu harus pengertian. Paham taste dari boss, paham taste dari pasar juga. Dan setiap jenis desain punya taste berbeda dan tak bisa dipaksakan,” imbuh Mas Willy sambil menutup laptopnya.
Makasih, Mas. Mantap!
Gambaran kehidupan desainer grafis dengan beban kerja berat bisa kita lihat di film Thailand, ‘Heart Attack’. Film ini berkisah tentang seorang desainer grafis freelance yang tidak pernah punya kuasa menolak pekerjaan dari klien.
Di hari yang berbeda, saya bertemu Mas Miko (23). Salah satu mahasiswa di Jogja ini juga sudah lama menggeluti dunia desain grafis. “Awalnya suka gambar pakai tangan mas. Puas gitu habis desain terus lihat hasilnya. Kayak gila keren banget gambar gua,” kenang Mas Miko saat pertama berkecimpung menjadi desainer grafis.
Dari hobi itu, ia belajar gambar pakai gadget. “Mulai bikin desain-desain gitu. Makin hari banyak yang tau aku bisa bikin desain mas. Mulai tuh aku freelancer desain kaos sama banner. Lumayan mas buat anak SMA bisa punya duit sendiri,” imbuh Mas Miko.
“Tapi fokus jadi desainer grafis dari kapan mas,” tanya saya.
“Itu sih dari 2019 ya mas. Itu mulai dapat tawaran freelance per project mas. Dulu pernah mas desain buat produk otomotif impor. Diminta bikin desain kemasannya. Pernah juga bikin konten medsos buat tim e-sport juga. Tapi paling sering emang bikin desain kaos gitu mas, jersey gitu,” jawab Mas Miko.
Dulu awalnya Miko cuma nunggu permintaan dari temen. “Makin kesini coba challenge diri sendiri buat matok harga. Dulu masih 30 ribuan rupiah satu desain. Tapi revisinya mas mashaallah,” imbuh Mas Miko penuh ekspresi.
“Emang gimana mas, revisi mulu ya,” tanya saya.
“Ya mas bayangin aja. Dalam sehari bisa revisi 2 kali mas. Bahkan sempet mulai dari nol mas. Bener-bener desain dari awal. Itu waktu ada request jersey. Tapi bukan itu sih yang bikin sebel mas,” jawab Mas Miko. Kalau urusan revisi saja tidak membuat sebal, lalu apa lagi?
“Masalahnya, desain dari aku ga dipakai mas. Malah minta ke orang lain. Kan goblok tuh mas,” ujar Mas Miko dengan nada tinggi, diikuti sumpah serapah yang tak pantas saya tulis di sini.
“Waktu itu fana, revisi itu abadi,” ujar saya mengingat kata Mas Hari.
“Dulu pernah juga mas dapet proyekan bikin konten sport gitu. Dijanjiin dapat 200 ribu rupiah sekali bikin konten. Itu campur ya mas konten grafis sama video. Tapi realitanya dapat 3M mas,” ujar Mas Miko.
Sebelum saya terkagum-kagum, Mas Miko segera menjawab, “maksudnya, dapat ucapan ‘Makasih Mas, Mantap’ doang. Dapat makan minum sih, tapi ga ada itu gaji 200 ribu! Baru sekarang merasakan kerja digaji soalnya udah kantoran.”
“Tapi Mas Miko emang merasa gajinya belum cukup ya,” tanya saya menggoda.
“Ya ga pernah cukup mas, namanya juga manusia. Tapi harusnya nih mas, yang ngegaji itu paham kerja desainer sesungguhnya. Jadi tahu berapa gaji yang pantas dari kerjaan kami. Jangan Cuma nuntut doang tapi gaji semaunya,” ujar Mas Miko.
“Tapi yang biasanya gatau diri itu teman sih mas. Minta desain semaunya, revisi mulu, eh endingnya gratis. Bangsat sih, kalau nolak dibilang sombong, tapi kalau dikerjain ga dihargai,” imbuh Mas Miko sambil membuka gawainya. Ternyata sedang membalas request klien. Saya makin merasa benar, pekerjaan para desainer grafis ini memang jauh dari istilah “nine-to-five”.
Desainer grafis, multi job untuk bertahan hidup
Kembali di waktu dan tempat terpisah, saya bertemu Mas Yakobus (26). Adek saya di gereja ini sedang bekerja di sebuah perusahaan digital marketing. Tentu dengan posisi menjadi desainer grafis. “Tapi tetap saja disebutnya content creator. Karena dituntut bisa juga di luar desain grafis,” ujar Mas Yakobus singkat.
Mas Yakobus ini mulai menggeluti dunia desain grafis sejak kuliah. Awalnya by order dari teman-teman kampus atau organisasi. Terus mulai promosi jasa desain. Dari desain poster, banner, kaos, dan desain logo mas. “Baru sekarang kerja kantoran meskipun masih karyawan kontrak,” ujar Mas Yakobus yang memang belum lama menandatangani kontraknya.
“Puji Tuhan tho, dapat kerja di tengah pandemi,” ujar saya sambil menyesap rokok yang dibawakan Mas Yakobus.
“Iya mas. Toh seneng kok kerja jadi desainer grafis. Bangga sama karya kita mas. Bisa dibilang ada kebahagiaan tersendiri. Banyak belajar hal baru mas, apalagi bicara taste dan marketing,” ujar Mas Yakobus sambil menyalakan rokok dengan bara api rokok saya.
“Ada ga senengnya ga nih,” tanya saya memancing.
“Ga ada kerjaan yang seneng terus mas. Kalau desainer sih paling males berhadapan dengan selera klien. Idealnya klien sering tabrakan sama kami, tapi dipaksakan. Akhirnya putar otak buat win-win solution,” jawab Mas Yakobus.
“Apalagi sampai dikira pekerjaan desain grafis itu santai. Kami mikir terus sepanjang hari, dari sekadar konsep desain sampai memadukan pesan dengan grafisnya. Itu nggak gampang mas,” imbuh Mas Yakobus.
“Ada pengalaman ga enak juga,” tanya saya. Memang Mas Yakobus ini harus dipancing terus untuk meluapkan isi hati.
“Paling ga enak ya mas. Dulu aku dapat orderan bikin desain logo barbershop. Desainnya harus jadi dalam 1 minggu karena mau launching. Aku bisa tuh mas selesai dalam 1 hari udah termasuk revisi. Tapi bayarannya baru 3 bulan kemudian. Gatau apa nunggu profit dulu atau gimana mas,” jawab Mas Yakobus sambil menghabiskan rokoknya.
“Kalau di sebelum ini (pekerjaan sekarang), kerjaanku macam-macam mas di studio. Tapi kami idealis sehingga project bisa molor sampai 1 tahun. Ada juga project untuk klien di Jepang, tapi setahun belum terkirim karena idealis tadi. Tapi itu value dari desain grafis mas,” imbuh Mas Yakobus.
“Tapi gaji kamu udah cukup belum,” tanya saya.
“Ya boleh dibilang belum mas. Desainer grafis harus multi job untuk bertahan hidup. Karena value kami belum dihargai pantas. Kadang sampai jualan desain di kanal jual beli. Lumayan mas buat nabung,” jawab Mas Yakobus.
“Emang gaji paling pantas berapa sih,” tanya saya penasaran.
“Kalau bicara desainer grafis atau content creator yang modelnya palugada, apa lu mau gua ada, harus tinggi mas. Karena melibatkan banyak skill yang dipakai dalam satu pekerjaan. Menurutku, lima sampai enam juta mas,” jawab Mas Yakobus.
“Lima juta di Jogja yang UMR nya jongkok ini,” ujar saya bercanda. Tapi Mas Yakobus menatap tajam dan menjawab, “iya mas.”
“Tapi belum ada keinginan mencari pekerjaan dengan gaji lebih sesuai dengan beban kerja,” tanya saya sambil menyulut rokok kembali.
“Belum mas. Ini aku lagi menambah pengalaman. Belajar tapi digaji kan juga bagus mas. Sekalian menemukan taste desain pribadi untuk lebih mengarahkan klien,” jawab Mas Yakobus.
Sudah saatnya desainer grafis melek hukum
Di Indonesia sendiri sebenarnya ada Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI), tapi untuk menanggapi sambat ini, saya hubungi Faizal Makruf (23). Pria muda ini adalah ketua umum Serikat Merdeka Sejahtera (SEMESTA), serikat buruh yang berbasis di Jogja. Saya tertarik mengetahui tanggapan blio terhadap situasi teman-teman seumurannya ini.
“Gimana tho tanggapanmu perihal kerjaan desainer grafis. Mereka itu sering overtime tapi gajinya jelek dab,” tanya saya via telepon. Mas Faizal langsung saja menyahut.
“Wah ya jelas merugikan pekerja. Melanggar hukum itu, dan tidak menghargai ilmu desain. Apalagi sampai gajinya belum cukup. Kalau yang memperkerjakan protes gaji mereka kemahalan jika desain yang diterima harus dibayar layak, lebih baik bosnya suruh desain sendiri,” jawab Mas Faizal berapi-api. Memang tabiatnya.
“Lha gini, sekarang itu serba palugada. Bahkan sampai muncul istilah content creator biar desainer grafis mengerjakan banyak hal. Menurutmu piye dab,” tanya saya kembali.
“Nah ini seharusnya membuat calon pelamar was-was. Bisa saja atasan atau perusahaan atau pengusaha nggak tahu job desc atau jenis pekerjaan yang dilakukan desainer grafis. Atau malah bisa jadi ini bentuk dari menganggap enteng beban kerja buruhnya,” jawab Mas Faizal. Obrolan kami sempat terputus karena Mas Faizal sedang menyiapkan bantuan sosial dari serikat.
“Ngene, Dab, terus untuk para desainer grafis harus gimana? Harus paham hukum dan berserikat atau gimana,” tanya saya ringkas.
“Ini nggak cuma berlaku untuk desainer grafis, tapi semua. Semua pekerja harus melek lagi dengan aturan dan kondisi ketenagakerjaan. Semua ya, jadi setelah itu semoga keinginan untuk collective bargaining-nya tumbuh. Sehingga semua sadar bahwa kekuatan kelas pekerja ada di kuantitas atau jumlahnya dalam bersolidaritas sesama pekerja,” jawab Mas Faizal sambil izin undur diri. Memang sibuk sekali ketua serikat ini.
BACA JUGA Shelter Syantikara, Nyaman untuk yang Isoman Berbeda Iman liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.