Menikah bukan cuma perkara dua pribadi yang ingin menyatukan hati. Ini juga soal bagaimana konsep acara pernikahan itu disepakati dua keluarga besar.
Ingin ada yang berbeda di hari bahagia
Dini (29) namanya. Melangsungkan pernikahan tiga tahun silam di Jakarta. Saat itu, Dini memilih konsep outdoor dengan alasan lebih nyaman. Tidak ada yang unik dari pernikahan Dini. Hanya saja, outfit pengantin yang ia gunakan cukup berbeda dengan pengantin yang biasanya. Dini menggunakan sepatu kets. “Dari dulu nggak pernah pakai heels, dari pada sakit pas acara nikah, mending pakai sepatu kets,” jelas Dini sembari meminum es kopi susu.
Ketika ditanya darimana ide menggunakan sepatu kets, Dini menjawab ide itu adalah hasil dari berselancar di Pinterest. Tidak ingin ambil pusing, Dini memillih untuk membeli sepatu kets itu dengan motif dan warna yang mirip milik pengantin pria. “Jujur saja, saat hari pernikahan rasanya lebih percaya diri, karena memang sesuai tektok pertama kalau nikah pakai sepatu kets,” ungkap Dini dengan raut wajah gembira.
Cerita berbeda datang dari Raisa (30). Masih dengan konsep menikah di outdoor, Raisa membutuhkan waktu tiga bulan untuk merancang acara pernikahannya. Raisa juga menikah di Jakarta. Pernikahan yang diadakan dua tahun lalu, tepatnya tahun 2019 itu diadakan di sebuah venue bernama Felfest. “Saat itu, almarhum ayah mertua sedang sakit, sehingga mencari tempat yang dekat dengan rumah mertua dan kebetulan masih baru,” ujar Raisa menceritakan alasannya.
Katanya, tidak ada inspirasi khusus untuk merancang pernikahan ini. Raisa dan calon pengantin pria atau suaminya sudah datang dua kali untuk mencicipi makanan dan merancang dekorasi. Keduanya bersama membahas rancangan konsep pernikahannya. Selebihnya, Raisa dan calon suaminya menyerahkan ke wedding organizer.
Meskipun dengan dekorasi yang sederhana, namun tetap terlihat indah karena terdapat danau yang menjadi latar Raisa dan suaminya menikah. Bahkan tamu undangan, juga mengatakan senang dengan suasana pernikahannya. Pasalnya, selain angin sepoi-sepoi, keduanya melakukan akad ketika langit dihiasi cahaya matahari terbenam.
“Padahal rasanya ketar-ketir, karena waktu itu setiap sore pasti hujan, takut kalau acaranya rusak, karena nggak mungkin batal,” ungkap Raisa terkekeh. Rupanya, bukan hanya itu, wedding organizer yang digunakan Raisa, juga sempat menawarkan jasa pawang hujang. Namun, keluarga keduanya menolak karena merasa tidak percaya akan hal itu, dan lebih memilih berdoa hingga hari pernikahan berlangsung.
Saya pun jadi bertanya-tanya, bagaimana cara untuk mempresentasikan konsep pernikahan yang cukup berbeda kepada orang tua. Takut-takut, bukan menikah namun malah dicoret dari kartu keluarga.
Konsep pernikahan dan keinginan keluarga
Ternyata, Dini dan Raisa tidak merasa kesulitan ketika berbicara dengan orang tua dan keluarga tentang konsep pernikahan. Menurut Dini, orang tua tidak pernah menentang konsep pernikahannya. Hal tersebut juga disetujui oleh Raisa yang mengungkapkan bahwa orang tuanya justru senang dengan konsep pernikahan tersebut. “No problemo, not necessary to be explain our parents,” ungkap Dini yang berarti tidak ada masalah, tidak perlu dijelaskan ke orang tua karena sudah pasti disetujui.
“Intinya itu yang terpenting komunikasi sedari awal,” tambah Raisa sembari menghabiskan sisa kopi affogatonya.
Berbeda dengan Dini dan Raisa yang tidak merasa kesulitan untuk melangsungkan pernikahan sesuai konsep yang mereka inginkan. Mas Yanto (47) asal Sewon, Bantul punya cerita saat pernikahannya justru bukan hanya dirayakan oleh keluarga, tapi oleh masyarakat umum yang sebagian besar tidak dikenalnya.
Mas Yanto memang melangsungkan pernikahan bukan dari konsep yang ia buat sendiri, tapi ikut acara acara Golek Garwo dan Nikah Bareng. Kisahnya bermula pada bulan Mei 2006 silam, ketika istrinya meninggal karena kecelakaan di Ring Road Selatan, tepatnya di depan Hotel Ross In. Kesedihan tidak hanya dirasakan oleh Mas Yanto saja, namun juga ketiga anaknya. Saat itu, anak pertamanya baru duduk di kelas satu sekolah dasar.
Kepergian istrinya begitu membekas, bahkan anaknya yang pertama juga sempat tidak naik kelas. Menjalani kehidupan sebagai seorang single parent, membuat Mas Yanto harus bekerja dan mengurus anak sendiri. “Kadang juga galau, seperti ada yang hilang,” ujar Mas Yanto dengan mata berkaca-kaca.
Berselang dua tahun, temannya yang seorang tunanetra kemudian mengajaknya bertemu. Temannya itu mengajak Mas Yanto untuk ikut dalam kontak jodoh yang diadakan di KUA Sewon. Dengan rasa penasaran yang tinggi, Mas Yanto kemudian mencoba untuk ikut pertemuan di Balai Desa Pandowo Harjo. “Datang orang saja, tidak bawa syarat administrasi, yaitu fotokopi KTP, bukti masih single atau surat cerai atau surat kematian, dan kartu keluarga,” jelas Mas Yanto.
Dalam perjalanannya, Mas Yanto menyadari bahwa yang di ikuti bukanlah Kontak Jodoh, karena tidak ada mak comblangnya. Mas Yanto kembali mencari informasi, dan ia pun mengetahui bahwa itu adalah Forum Ta’aruf Indonesia yang dikenal dengan Golek Garwo.
Insecure pun dirasakan Mas Yanto. Katanya, teman-temannya dalam acara Golek Garwo itu kebanyakan masih berstatus single. Kelesuan Mas Yanto dirasakan oleh temannya yang juga sama-sama ikut dalam acara Golek Garwo. “Semua di sini senasib, mosok kamu kalah mentalnya dengan yang masih muda,” kalimat itulah yang kemudian menyadarkan Mas Yanto agar tidak berlarut-larut menarik diri.
Singkat cerita, Mas Yanto mendekati seorang wanita dengan paras cantik. Namun sayang, rupanya Mas Yanto hanya dimainkan saja oleh wanita cantik itu dan berakhir kandas. Mentalnya jatuh lagi, ada keinginan dari Mas Yanto untuk keluar saja. “Kalau keluar, berarti kalah sebelum berperang, pecundang,” lagi-lagi sebuah kalimat menyadarkan Mas Yanto untuk tetap mencari tambatan hati kedua.
Ketemu jodoh, nikah di atas lori
Perjalanan panjang dilalui Mas Yanto, hingga akhirnya ia bertemu seorang wanita yang sama-sama berada dalam acara Golek Garwo. Waktu itu, Mas Yanto menjadi orang yang boleh memilih pertama kali dari sekian banyaknya wanita di acara Golek Garwo.
Gayung bersambut, Mas Yanto pun berhasil mendapatkan seorang tambatan hati. Kebetulan, baik keluarga Mas Yanto ataupun keluarga istrinya sama-sama setuju. Namun, sebuah godaan datang, wanita cantik yang ditemuinya pertama kali datang dan meminta kejelasan hubungan. Dengan tegas, hal itu ditolak oleh Mas Yanto.
Sebuah kebetulan, rupanya calon jodohnya, masih satu keturunan dengan istrinya yang pertama yaitu satu mbah buyut. Komunikasi terus dilakukan Mas Yanto dengan keluarganya dan keluarga dari penggantin putri.
Lamaran dilangsungkan pada bulan November 2012. Mas Yanto dan calon istrinya kemudian memilih untuk menikah di acara Nikah Bareng. Terbesitlah untuk menikah di tanggal 12 Desember 2012. Sempat terjadi sebuah perdebatan kecil karena menentukan tanggal secara mendadak. “Tetap akhirnya setuju,” ungkap Mas Yanto menerawang masa-masa persiapannya menikah dahulu.
Mas Yanto pun mengakui, untuk mengikuti acara Nikah Bareng itu, ia harus memberikan pemahaman kepada orang tuanya, seperti tidak perlu membayar uang menikah, tidak perlu menyiapkan mahar, dan adanya pesta rakyat. Maklum saja, acara Nikah Bareng masih cukup asing di telinga orang tuanya Mas Yanto. Apalagi mendengar cerita bahwa ijab kabul akan diadakan di atas lori atau kereta pengangkut tebu.
Dilihat dari filosofinya, menikah di lori bertujuan agar sebagai pemimpin atau kepala keluarga mampu mengajak anak dan istrinya untuk tetap berada pada rel jalan yang benar.
Meskipun Mas Yanto dan istrinya sudah menikah di acara Nikah Bareng, namun, tetap dibuat syukuran di rumah bagi tetangga-tetangga. “Kalau tentang menikah itu yang terpenting selalu berkomunikasi dengan keluarga dan harus mengantongi doa restu agar dapat berjalan lancar,” pungkas Mas Yanto dalam percakapan di sebuah rumah makan Kawasan Ring Road Selatan.
Mempelai boleh merencanakan, orang tua ikut menentukkan
Fenny Yulianti, pemilik Baksya Wedding, perencana pernikahan di Yogyakarta ini mengakui kadang menemukan perbedaan konsep yang diinginkan calon pengantin dengan kedua orang tua. Kedua mempelai ingin menikah dengan konsepnya yang kadang aneh, tapi tidak dengan orang tua yang ingin konsep pada umumnya.
“Mempelai ingin begini, orang tua ingin yang begini. Biasanya kami jadi penengah, mewujudkan keinginan mempelai tanpa menghilangkan keinginan orang tua,” katanya kepada Mojok.co.
Fenny Yulianti yang mulai bergerak di usaha wedding planner sejak 2017 ini mengatakan sebagai perencana pernikahan urusan konsep pernikahan yang diinginkan klien adalah kesehariannya. Ia pernah diminta untuk membuat konsep pernikahan Europe Night Market atau pasar malam seperti di Eropa. Menjadi tantangan karena acaranya dilakukan di indoor. Pernah juga ia diminta untuk membuat konsep pernikahan dua minggu sebelum hari H.
Selama membuka jasa perencanaan pernikahan, menurutnya ada dua karakter orang tua. Yang pertama, orang tua dengan tipe fleksibel serta open minded, ngikut dengan keinginan anak. Serta tipe orang tua yang tidak ingin neko-neko. “Mereka biasanya tidak setuju dengan konsep acara pernikahan yang tidak pada umumnya,”kata Feny.
Seringkali, Feny menemukan calon mempelai ingin menikah dengan konsep yang sedang tren. Misalnya, sedang ramai konsep industrial atau rustik, minta yang seperti itu. Ada juga pernikahan artis yang jadi rujukan untuk konsep yang diminta mempelai, misalnya Raisa. Padahal sebenarnya banyak konsep yang bisa digali dari budaya di Indonesia.
Terdorong untuk menampilkan budaya dan potensi seni dalam sebuah pesta penikahan, Fenny membuat sebuah konsep pernikahan yang menurutnya lain dari yang lain. Acara yang diberi tajuk ‘Charity Art Wedding’ ini berlangsung 11 April lalu di Joglo Abhipraya, Sleman, Yogyakarta.
Ia menggandeng beberapa mitra untuk mewujudkan konsepnya seperti untuk dekorasi dari Art Makaryo, dokumentasi Historia dan Duta Foto, Make up dari Mashiaba, Yayasan Among Beksa, Sanggar Kalpika dan Keroncong Jogja.
“Konsepnya itu mengusung budaya Indonesia, dekorasi misalnya selama ini kesannya itu-itu saja. Nah ini pakai daun, ranting yang ada di sekitar kita. Di saat resepsi ditampilkan tarian tradisional, kemudian musik keroncong, ada juga live painting,” kata Fenny yang membuat acara itu juga dalam rangka memperingati Hari Seni Sedunia.
Disebut charity karena saat itu calon pengantin tidak punya kemampuan jika melakukan pernikahan sendiri. Selain membantu pasangan mempelai untuk merayakan pernikahan, ia berharap bahwa apa yang ia lakukan bisa memberikan gambaran bagi yang mau menikah, bahwa konsep pernikahan bisa diambil dari budaya sendiri.
Nikah Bareng, berawal dari orang-orang yang gagal menikah
Berselancar di sosial media instagram, saya kemudian menemukan sebuah poster yang menarik perhatian. Nikah Bareng Estafet, begitulah tulisan yang saya lihat. Bukan itu saja, di bawahnya juga terdapat tulisan Golek Garwo Online. Tanpa pikir panjang, saya pun mencoba untuk menghubungi Mas Ryan (42), nama yang tercantum sebagai sebagai panitia.
Di bangku taman sekolah dasar Kawasan Umbulharjo, saya baru tahu bahwa Mas Ryan merupakan pencetus acara Nikah Bareng dan Golek Garwo di Jogja. Penyelenggara pernikahan dimana Mas Yanto pernah mendapatkan calon istri sekaligus menikah.
Mas Ryan bercerita, semua bermula saat gempa bumi melanda Yogyakarta lima belas tahun silam, tepatnya 27 Mei 2006. Kejadian itu memakan banyak korban jiwa dan korban harta benda. Kepanikan terjadi di setiap sudut Jogja, banyak yang kehilangan tempat tinggal, banyak juga yang berlomba untuk bangkit menata kehidupan.
Namun, menurut Mas Ryan, ada satu hal yang terlupakan, yaitu nasib para calon pengantin yang gagal menikah karena dampak dari gempa bumi. Mas Ryan kemudian mengumpulkan para calon pengantin yang gagal menikah untuk dinikahkan secara bersamaan. “Diberikan fasilitas juga sesuai kebutuhan, yaitu selain mahar, perias, dan prosesi acara, juga diberikan kebutuhan rumah tangga, seperti tempat tidur, dan bahkan diberikan shelter atau tempat penampungan,” ungkap Mas Ryan mengingkat peristiwa 15 tahun silam.
Kata Mas Ryan, saat itu, ada lima pasang calon pengantin yang dinikahkan di Desa Guwosari, Pajangan, Bantul. Kebetulan, salah satu pasangan calon pengantin itu memiliki keterbatasan khusus atau difabel.
Konseptor juga ingin nikah bareng
Berjalannya waktu, sebagai konseptor, Mas Ryan yang single pun ingin menjajal nikah bareng. ”Karena beda dengan nikah massal, jadi nikah bareng ini punya konsep di setiap acaranya. Selain itu jika nikah massal lebih ke orang yang sudah tua, namun ternyata di nikah bareng, banyak yang pasangan muda,” jelas Mas Ryan bersemangat. Karena itulah, Mas Ryan merasa nikah bareng ini bisa menjadi ikon Jogja dan juga inspirasi bagi banyak orang.
Terbentur tidak punya pasangan, Mas Ryan akhirnya merasakan lika-liku mencari belahan jiwa. “Banyak yang nolak, daripada yang menerima,” ungkap Mas Ryan terkekeh. Meski punya nama sebagai pencetus acara nikah bareng, ternyata bukan perkada mudah bagi Mas Ryan untuk mendapatkan jodoh. Setelah pasang surut dunia pra menikah yang harus dijalani, sampai-sampai harus mebuat iklan di surat kabar. Mas Ryan berhasil menikah di tahun 2008.
Katanya, saat itu kurang seminggu dari acara Nikah Bareng yang targetnya hanya lima puluh pasang. “Alhasil, acara Nikah Bareng yang diadakan di Parasamya, Bantul diundur hingga pasangan berjumlah lima puluh empat pasang demi menunggu saya,” kata Mas Ryan terkekeh.
Saat mengikuti Nikah Bareng, Mas Ryan pun merasakan banyak tantangan yang dihadapi, terlebih dari keluarga. “Tidak mudah untuk menjelaskan alasan dan konsep nikah bareng ke keluarga, bahkan dikira tidak mampu,” ungkap Mas RyanIa mencoba meyakinkan keluarganya bahwa Nikah Bareng bukan seperti nikah massal yang sudah marak terjadi.
Kata Mas Ryan, dengan adanya Nikah Bareng, harapannya yang tidak bisa menikah karena keterbatasan biaya menjadi bisa menikah, dan yang memang sudah memiliki tabungan untuk menikah, dapat digunakan untuk perjalanan setelah menikah.
Mas Ryan menyadari bahwa mencari pasangan ternyata memang tidak mudah. Akhirnya, pada tahun 2011, Mas Ryan turut memfasilitasi Nikah Bareng dengan sebuah acara Golek Garwo di Kawasan Sewon, Bantul. Tujuannya agar para jomlo atau yang belum punya pasangan segera bertemu dengan belahan jiwanya. Meskipun demikian, mengikuti acara Golek Garwo, bukan berarti harus mengikuti acara Nikah Bareng, begitupun sebaliknya.
Konsep unik jadi nilai lebih Nikah Bareng
Jika kata viral sudah ada sejak dulu, pasti acara Nikah Bareng dan Golek Garwo ini sudah memenuhi beranda instagram dan tiktok. Konsep acara Nikah Bareng memang sering kali membuat saya geleng-geleng kepala. Bayangkan saja, beberapa konsep dari acara Nikah Bareng adalah menikah di dalam guci, menikah di atas mobil pemadam kebakaran, menikah di flying fox, dan masih banyak lagi.
Konsep acara Nikah Bareng ini juga selalu memiliki filosofi. Seperti nikah di dalam guci, filosofinya adalah guci dari tanah liat dengan harapan cinta semakin melekat erat untuk pasangan dan negara. Ada pula menikah di atas crane, Taman Pintar, yang memiliki filosofi, crane mampu mengantarkan ke jenjang yang lebih tinggi untuk mendapatkan penerangan.
Ternyata, konsep unik dari acara Nikah Bareng ini digunakan untuk membedakan dengan nikah masal. “Kalau pemikirannya nikah masal itu kan untuk pasangan yang bermasalah, selain itu juga tidak ada yang istimewa. Namun Nikah Bareng ini berbeda,” ungkap Mas Ryan. Karena itulah, acara Nikah Bareng pasti selalu punya konsep unik dan tematik agar selalu terkenang di hati pasangan alumni Nikah Bareng.
Hebatnya, ide dalam mengkonsep acara Nikah Bareng ini selalu didapatkan secara spontan oleh Mas Ryan. Namun, dibalik ide-ide tersebut, ada nilai sosial, budaya, religi, nasionalisme, dan destinasi wisata Jogja yang diselipkan sehingga juga bisa bermanfaat bagi masyarakat.
Dibalik nikah yang hebat, ada uang yang besar. Namun, itu tidak berlaku bagi acara Nikah Bareng. Kata Mas Ryan, mengikuti acara Nikah Bareng tidak perlu membayar sepeser pun. “Kami bukan wedding organizer atau event organizer, tapi ini adalah orang-orang yang peduli terhadap pernikahan sehingga bekerja untuk sosial,” ungkap Mas Ryan menjelaskan. Pasalnya, masih banyak yang mengira untuk mengikuti acara Nikah Bareng harus membayar mahal karena menggunakan sarana publik.
Di masa Pandemi Covid-19, acara Nikah Bareng tetap diadakan. Seperti acara Nikah Bareng yang diadakan bertepatan saat Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia ke 75 di Pantai Selatan. Saat itu konsep pernikahannya para pasangan pengantin bermain tiktok terlebih dahulu di pantai, baru bergantian dinikahkan. Sedangkan, tamunya menggunakan sistem drive thru.
Saat ini, Mas Ryan dan teman-temannya yang bekerja sama dengan paguyuban rias pengantin Jogja dan banyak mitra lainnya juga sedang mempersiapkan untuk acara Nikah Bareng di di bulan Juni yang bertajuk Nikah Bareng Estafet.
Uniknya, di acara Nikah bareng juga selalu ada pasangan yang menarik perhatian, seperti kakek berusia 70 tahun dengan wanita muda berusia 26 tahun. Selain itu, acara Nikah Bareng tidak hanya melayani pasangan dari Jogja saja, namun juga pasangan dari Luar Pulau Jawa dan Luar Negeri, seperti yang sudah pernah diadakan di Tugu Jogja. “Nanti setelah dinikahkan atau yang biasanya disebut ijab kabul, baru ada pesta rakyat, tidak harus keluarga, siapa saja boleh datang ke pesta rakyat,” tambah Mas Ryan di akhir ceritanya.
BACA JUGA Ditinggal menikah oleh seseorang yang dicintai bukan perkara mudah dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.