Berharap stand up comedy bisa untuk hidup
Selain senang membuat orang lain tertawa, tentu banyak juga komika yang berharap stand up comedy mengubah hidupnya, paling tidak dari sisi ekonomi. Memang, ada banyak cerita dari komika yang semula berasal dari kalangan bawah, kini menjadi rockstar di dunia hiburan. Namun, jalan yang harus mereka tempuh sangatlah terjal dan sulit.
Misalnya saja Yono Bakrie, komika yang menjuarai kompetisi Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) season 10. Dalam salah satu panggung di kompetisi tersebut, ia bercerita tentang keputusannya untuk mundur dari pekerjaan di Samarinda. Ia pengin fokus berkomedi di Jakarta, tapi butuh waktu berbulan-bulan baginya hingga dapat job. Alhasil, ia menganggur.
Untuk menghasilkan kelucuan saja, butuh waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Apalagi untuk mendapatkan job. Menurut Sanpras, komika di Jogja juga tak semuanya rutin dapat pekerjaan. Dan untuk mendapatkan pekerjaan, mereka harus punya materi solid sepanjang 10 sampai 15 menit dan clean. “Yang tidak SARA, tidak saru.” tambah Sanpras.
Pasalnya, job yang datang amat beragam begitupun audiensnya, mulai dari anak muda dan orang tua.
Itu jadi syarat yang dari Stand Up Indo Jogja sebagai komunitas yang mengakomodir banyak komika. Komika yang aktif dan memenuhi kriteria tersebut akan masuk dalam katalog. Lantas ditawarkan pada EO yang hendak mengisi acaranya dengan panggung komedi tunggal.
Harus punya sambilan atau pekerjaan tetap
Adapun, bayaran yang didapatkan komika dari panggung berbayar, menurut Sanpras, sudah lumayan bagus. “Kalau sekarang sih para EO udah cukup mengerti ketika mengundang stand up comedian, ada nilai ekonomi di sana,” jelas Sanpras. “Empat kali stand up itu udah bisa UMR lah.”
View this post on Instagram
Ada juga beberapa komika mendapatkan penghasilan dari pekerjaan yang masih bersinggungan dengan stand up comedy. “Misal, ada komika Jogja dari UAD, namanya Salman. Di Jogja dia suka bikin konten segala macam, terus jadi tim kreatifnya Denny Sumargo,” tutur Sanpras.
“Demand pekerjaan buat komika banyak karena stand up comedian itu dirasa kemasan yang komplit. Dia bisa nulis lucu, acting lucu, bikin sketsa-sketsa juga oke,” tambahnya.
Sisanya, kebanyakan komika masih perlu bekerja penuh atau paruh waktu untuk menghidupi dirinya.
Sanpras sendiri, selain mendapatkan penghasilan dari stand up comedy, juga mencari pendapatan sebagai desainer lepas. Ia juga rutin membikin konten seputar tips dan trik ber-stand up comedy. Sanpras dapat sedikit saweran dari penikmat kontennya itu.
Untuk bisa di titik itu, dinikmati banyak audiens dan memiliki nilai ekonomi, Stand Up Indo Jogja menempuh jalan yang panjang.
Geliat Stand Up Indo Jogja
Hadir sejak Juli 2011, Stand Up Indo Jogja rutin mengadakan open mic hingga hari ini. Pada 2012 hingga 2015, mereka juga punya cabang di banyak kampus. Beberapa di antaranya ialah UNY, UGM, UAD, UII, UIN, dan lain sebagainya.
Di tahun-tahun itu pula, Stand Up Indo Jogja selalu punya perwakilan yang hadir di kompetisi nasional, SUCI. Pada SUCI season satu, 2011, ada Wisben Antoro, Gareng dan Sakdiyah Ma’ruf. Di season kedua ada Sigit Hariyo Seno. Season ketiga ada Bene Dion yang kini menjadi sutradara film. Season keempat ada Hifdzi Khoir dan Benidictivity, dan seterusnya.
Kini cabang Stand Up Jogja hanya tersisa di dua kampus, yaitu UNY dan UGM. Kendati demikian, antusiasme orang-orang untuk bergabung dengan Stand Up Indo Jogja tak bisa dikatakan surut.
Menurut Sanpras, hingga hari ini, selalu ada pendatang baru yang ikut di acara Sharing Komika Jogja setiap Selasa. Dan, ketika gelaran open mic, ada komika yang tak dapat kesempatan tampil dan harus mengantri di minggu selanjutnya. “Aku nggak tahu, apakah covid ini bikin tambah stres, terus orang-orang nyari pelarian baru,” imbuhnya.
Alhasil, kata Sanpras, kini ada sekitar 75 anggota yang aktif di Stand Up Indo Jogja. “Ini yang sering datang di Selasa dan Jumat. Kalau totalnya, aku sih berani bilang sekitar 500,” jelas Sanpras. “Misalnya dia datang sekali, open mic, lalu menyerah, kalau itu dihitung sebagai anggota komunitas, angkanya bisa 500.”
Acara bulanan untuk komika spesial
Di samping rutin mengadakan sharing dan open mic, Stand Up Indo Jogja juga punya acara bulanan berupa showcase yang menampilkan komika potensial. Setiap akhir tahun, acara serupa juga hadir dengan format yang lebih spesial, bertajuk Freedom of Nggambleh (FON).
“FON kemarin tuh sekitar 30 orang penampil. Kapasitasnya 250 penonton. Sold out,” terang Sanpras.
Tak bisa ditampik, tingginya minat terhadap stand up comedy di tingkat lokal tak lepas dari ingar bingarnya di level nasional. Sebut saja reputasi Stand Up Indo Jogja, seperti yang sudah disebut sebelumnya, cukup terangkat karena komikanya yang berhasil di kompetisi nasional.
Selain itu, komunitas Stand Up Indo, yang menjadi tempat bernaung banyak komunitas lokal, juga memberikan banyak dukungan. Sanpras, misalnya, mendapatkan kesempatan untuk tampil di Stand Up Fest 2023 yang baru digelar awal Agustus lalu.
Tak hanya Sanpras, Stand Up Fest memang memberikan banyak slot untuk komika lokal. “Dari Jogja yang ikut Stand Up Fest itu ada 13-14 orang,” pungkas Sanpras.
Reporter: Sidratul Muntaha
Editor: Agung Purwandono