Selama 15 tahun, Sarwo menjadi tukang parkir di Pasar Kranggan. Ia dapat julukan sebagai Tukang Parkir Terbaik di Kota Jogja. Apa alasannya?
***
Siang itu, Sarwo Sukendro Putro (53) tampak sedang sibuk mengarahkan beberapa kendaraan yang akan parkir di tepi jalan seberang Pasar Kranggan, Kota Jogja.Â
Saat sebuah Daihatsu berwarna hitam datang, dengan sigap pria paruh baya ini meniup peluit dan memberi aba-aba. Tak perlu waktu lama, mobil tersebut sudah terparkir di ruang yang semestinya. Senyum dan ucapan terima kasih pun ia dapatkan setelahnya.
Ketika saya menghampirinya, Sarwo, begitu sapaan akrabnya, langsung melempar senyum. Sepertinya ia sudah tahu siapa saya dan apa tujuan saya menemuinya hari itu, kendati saya belum memperkenalkan diri.
“Masnya pasti wartawan,” ujarnya yang tengah mengaso di bawah pohon.
Sambil merasakan angin sepoy-sepoy, ia melepas rompi hijau yang jadi seragam dinasnya itu. Sama seperti saya, mungkin dia sedang kegerahan. Meski awan mendung sudah berjalan ke arah langit Kota Jogja, cuaca siang memang cukup bikin sumuk.
“Kemarin juga ada wartawan yang datang, Mas. Katanya saya itu masuk ICJ [grup Facebook ‘info cegatan Jogja’],” sambungnya tertawa kecil.
Dijuluki tukang parkir terbaik
Belakangan nama Sarwo memang sedang viral. Tiga hari setelah pergantian tahun, tepatnya pada Kamis (4/1/2023), Pemerintah Kota Jogja melalui Penjabat Walikota Yogyakarta, Singgih Raharjo, memberikan apresiasi pada lelaki paruh baya tersebut.
Menurut keterangan resminya, Singgih menyebut bahwa apresiasi itu karena kinerja Sarwo yang begitu baik sebagai juru parkir di Pasar Kranggan. Kata dia, apresiasi tadi adalah bagian dari sistem reward and punishment yang diterapkan untuk pelaku pariwisata. Salah satunya juru parkir.
“Saya mendapat informasi dari media sosial soal kinerja Pak Sarwo. Saya baca, kemudian saya menyuruh staff untuk mengecek. Ternyata benar, beliau sudah lama jadi jukir dan apa yang ia lakukan sangat baik,” ungkap Singgih.
Singgih pun memberikan sejumlah bingkisan dan sembako kepada Sarwo sebagai bentuk reward. Tak hanya itu, karena Sarwo merupakan juru parkir resmi yang tercatat di data Dinas Perhubungan Kota Jogja, izin kerjanya pun juga diperpanjang untuk enam bulan ke depan.
“Harapannya apresiasi ini bisa menginspirasi jukir-jukir lain di Jogja.”
15 tahun menjadi tukang parkir di Jogja
Kepada Mojok.co, Sarwo mengaku sudah sejak 2008 lalu bekerja sebagai seorang juru parkir. Artinya, 15 tahun sudah ia menggeluti profesinya tersebut.
Sebelum menjadi tukang parkir, lelaki yang bertempat tinggal di Jalan Sidobali, Muja Muju, Kecamatan Umbulharjo, Kota Jogja ini, bisa kerja serabutan. Apa saja ia kerjakan demi memenuhi kebutuhan keluarganya.
“Apa saja saya kerjakan, Mas. Yang penting halal,” ujarnya.
Awal pertemuannya dengan dunia perparkiran ini, ujar Sarwo, bermula dari salah satu temannya yang sudah lebih dulu jadi tukang parkir. Melihat pekerjaan ini bisa ia lakukan dan hasilnya juga lumayan, tertariklah dia untuk mendaftar jadi tukang parkir.
Namun, Sarwo mengaku ingin menjadi tukang parkir melalui jalur yang resmi. Ia tidak ingin jadi tukang parkir abal-abal, dadakan, atau ilegal yang selama ini kerap jadi keluh masyarakat. Maka, ia pun mendaftarkan diri ke Dinas Perhubungan Kota Jogja sebagai juru parkir resmi dan ditempatkan di sebelah selatan Pasar Kranggan.Â
“Setiap enam bulan sekali saya mengurus surat izin perpanjangan, Mas. Nah, kebetulan kemarin habis dapat apresiasi izin saya diperpanjang juga sampai Bulan Juli,” kata Sarwo.
Di Pasar Kranggan, Sarwo punya spesialisasi kendaraan roda empat. Artinya, ia dapat jobdesk sebagai juru parkir mobil-mobil yang lokasinya berada di sebelah selatan atau seberang jalan Pasar Kranggan. Saat saya menemuinya, kebetulan Sarwo tengah mendapatkan jatah kerja pagi, yakni dari pukul 7.00 WIB hingga 14.00 WIB.
“Lima belas tahun ya saya kayak gitu tadi, Mas. Mobil masuk tak abani, keluar juga saya layani,” katanya dengan tawa kecil.
Pernah dapat tips 150 ribu
Karena menjadi juru parkir melalui jalur resmi, penetapan tarif pun juga harus mengikuti aturan pusat. Berdasarkan Perda Nomor 1 Tahun 2020 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum, Jalan Diponegoro–tempat Sarwo bekerja–ditetapkan sebagai Kawasan II. Dengan demikian, tarif resmi parkir adalah Rp1.000 untuk kendaraan roda dua dan Rp2.000 bagi roda empat.
Sementara untuk bagi hasil, kata Sarwo, tiap bulannya ia harus menyetor Rp1 juta kepada Dinas Perhubungan Kota Jogja. Itu adalah jumlah yang harus ia berikan sesuai aturan. Di luar itu, maka penghasilan akan masuk ke kantong Sarwo sebagai upah.
“Padahal, kalau mau nakal kita gampang banget nuthuk lho, Mas. Pasar Kranggan selalu ramai, kita dekat tempat wisata juga. Kasih aja [tarif] Rp5 ribu atau Rp10 ribu, biar cepat buat setoran. Tapi saya sendiri enggak mau, karena itu tidak sesuai aturan dan tidak berkah,” jelasnya.
Meski sudah berkomitmen dengan tarif parkir yang sudah ditetapkan, memang ada kalanya Sarwo mendapat tips dari pengendara. Ia mengaku, sangat sering para pengendara memberinya uang lebih, padahal ia sudah memberi tahu tarif yang sebenarnya. Kata dia, mungkin itu bentuk rasa terima kasih karena sudah dilayani dengan baik.
“Prinsip saya itu sabar, ikhlas, dan senyum. Layani dengan baik, orang akan senang dengan kita,” tuturnya.
“Pernah paling banyak saya dikasih tips Rp150 ribu dari pemilik mobil. Wah, kaget juga saya, seumur-umur jadi tukang parkir dikasih tips segitu. Kalau tips Rp5 ribu atau Rp10 ribu ‘kan sering,” sambungnya.
Cukup untuk menghidupi keluarga
Sarwo juga bersyukur, selama 15 tahun bekerja sebagai juru parkir, hasilnya cukup buat menghidupi keluarganya. Selain istri, ia juga menghidupi dua anak. Anak pertamanya, seorang perempuan, kini tengah menempuh pendidikan di SMA Negeri 11 Yogyakarta. Sementara anak keduanya adalah laki-laki yang sekarang bersekolah di SMP Negeri 14 Yogyakarta.
“Anak-anak saya ini enggak ada yang malu kalau bapaknya tukang parkir. Padahal teman-temannya banyak yang orang tuanya guru, PNS lho, Mas,” akunya.
Kepada saya, Sarwo memang tak berkenan mengatakan jumlah nominal penghasilan yang ia dapatkan tiap harinya. Ia hanya mengatakan, kalau untuk sekadar bikin dapur ngebul, uang saku dan jajan anak-anaknya, penghasilannya sudah lebih dari cukup.
“Kalau diniati, bisa nabung. Ya kalau dibilang pernah kekurangan apa enggak, pasti ya pernah. Cuman gimana kita menyiasatinya aja supaya cukup,” akunya.
Pada masa liburan seperti nataru kemarin, penghasilannya boleh dibilang lebih besar ketimbang hari-hari biasanya. Namun, ia juga tak memungkiri ada saat-saat tak ada penghasilan masuk. Misalnya seperti saat pandemi Covid-19 kemarin.
“Menurut saya itu semua ngalamin. Syukurnya sekarang kondisi sudah normal dan pemasukan ada lagi.”
Menyayangkan parkir ilegal yang tarifnya nuthuk
Sebagai orang yang ingin berlaku jujur dalam bekerja, Sarwo juga cukup menyayangkan praktik-praktik parkir dengan tarif nuthuk di Jogja. Kepadanya, saya menunjukkan beberapa berita di media online terkait keluhan masyarakat soal tarif parkir yang begitu tinggi, terutama di tempat-tempat wisata seperti Malioboro dan sekitarnya.Â
Sarwo hanya bergeleng-geleng.
“Enggak bener itu, Mas. Seringnya itu yang parkir tengah malam,” jelasnya.
“Yang jadi kebingungan saya, mereka itu juru parkir resmi apa bukan. Kalau resmi, mbok ya ikutin tarif sesuai aturan, kan udah jelas. Kalau bukan resmi, minimal jangan pasang harga yang tak masuk akal, kan kasian pengunjung. Itu nanti juga bikin jelek nama Jogja,” sambungnya dengan sedikit kegeraman.
Pada libur Natal dan tahun baru kemarin, beberapa teman seprofesinya bahkan bercerita kalau dalam semalam saja para juru parkir di sekitaran Malioboro sedang “panen”. Tanpa menyebut nominal, kata Sarwo, jumlahnya bahkan berkali-kali lipat dari yang ia dapat dalam sehari.
“Kadang ada rasa iri, Mas, saya tak memungkiri. Soalnya mereka dapatnya lebih banyak,” katanya.
“Tapi tetap saja itu tidak berkah kalau menurut saya. Tetap ikuti aturan dan jangan kelewatan, nanti malah kita juga yang rugi,” pungkas tukang parkir terbaik di Jogja ini menutup obrolan.
Sebelum saya berpamitan, Sarwo meminta izin untuk mengarahkan satu mobil yang akan terparkir. Ia bilang kalau itu bisa jadi mobil terakhir yang ia parkirakan hari itu karena jam kerjanya sudah selesai.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Mencari Tempat Parkir di Jogja yang Tarifnya Rp1.000
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News