Di bumi Jogja, ada banyak sekali kiai yang menjadi pengasuh pondok pesantren, dari mulai pondok yang kecil, menengah, sampai pondok pesantren yang besarnya ngaudubillah setan.
Dari sekian banyak kiai itu, sosok KH Irwan Masduqi atau akrab dipanggil Gus Irwan adalah sebuah anomali. Maklum saja, sebagai seorang pengasuh pondok pesantren, usianya masih sangat muda, yakni 39 tahun.
Karena itulah tak mengherankan jika dalam dunia skena per-pesantren-an Jogja, pengasuh Pondok Pesantren as-Salafiyyah 2 Mlangi ini dikenal sebagai kiai milenial.
Lahir pada 18 Maret 1983, Gus Irwan pernah nyantri di Pesantren Tegalrejo, Magelang (1994-1997), Pesantren Lirboyo, Kediri (1998-2004), kemudian melanjutkan studinya di Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (2005-2009). Program magisternya ditempuh di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (2010-2012).
Dalam salah satu rangkaian program Sowan Kiai besutan Mojok.co dan Gusdurian Jogja, kami berhasil sowan ke pondok Gus Irwan beberapa waktu yang lewat.
Pondok as-Salafiyyah 2 Mlangi, seperti tentu saja namanya, berada di daerah Mlangi. Sebuah daerah di Sleman yang memang terkenal sebagai markasnya pesantren, sebab di Mlangi ada banyak sekali pesantren.
Lokasi pondok as-Salafiyyah 2 Mlangi sangat mudah ditemukan. Dari jalan Ringroad barat, masuk ke Jalan Masjid Patok Negoro yang posisinya persis di seberang Rumah Sakit Umum Queen Latifa. Lokasi pondok berada di dekat Masjid Nurhuda yang hampir seluruh bangunannya berkelir putih. Menjadikannya seperti Taj Mahal versi ekonomis.
Kami berenam: Saya, Dafi (redaktur Mojok), Ali (videografer Mojok), Fatin (Gusdurian Jogja), Bahru (Gusdurian Jogja), dan Fairuz (Gusdurian Jogja), beruntung bisa menyambagi Gus Irwan di pondoknya tanpa harus melewati prosedur yang berbelit-belit.
Kami sampai di pondok sekitar pukul sembilan malam. Saat kami datang, Gus Irwan ternyata sedang mengisi pengajian posonan. Kami lantas dipersilahkan oleh salah satu pengurus pondok untuk menunggu di ruang yang kami anggap sebagai ruang tamu. Belakangan baru kami ketahui bahwa ruang tempat kami menunggu tersebut ternyata adalah ruang tata usaha pondok.
Sembari menunggu Gus Irwan, kami sibuk memandangi bangunan-bangunan di sekitar pondok. Ruang tata usaha menjadi ruang yang paling menarik perhatian kami, maklum, ornamen bangunannya sangat Jawa. Di bagian dalamnya terdapat ukiran kayu khas Jepara yang membuat kawasan ini lebih tampak seperti sebuah padepokan yang mengajari ilmu kanuragan alih-alih pesantren yang mengajari ilmu agama.
Lima belas menunggu. Gus Irwan akhirnya selesai mengisi dan langsung mendatangi kami.
“Wah, rombangannya sudah datang,” ujarnya sembari masih membawa kitab. Kami langsung salim satu per satu.
Bagi yang belum pernah tahu dengan sosok Gus Irwan sebelumnya, mungkin akan merasa begitu takjub dan kaget. Usianya masih sangat muda. Saya bahkan sempat mengira bahwa lelaki yang bersarung kelabu, bekemeja batik lengan panjang, dan bersongkok hitam sambil menentang kitab di tangan kanannya itu bukanlah Gus Irwan. Bayangan saya, mungkin asistennya.
Saya baru yakin bahwa beliau memang benar-benar Gus Irwan saat Fatin dan Dafi salim dan mencium tangan beliau.
Kami semua kemudian duduk di kursi di depan ruang tata usaha. Kami mengobrol sebentar. Sekadar intermezzo untuk memperkenalkan program sowan kiai yang sedang kami garap.
Gus Irwan lantas bercerita tentang masa-masa saat dirinya masih sering menulis di berbagai media.
“Gus, njenengan ini tak bisa dibantah banyak dikenal sebagai salah satu orang yang aktif di Jaringan Islam Liberal lho, sebab tulisan njenengan banyak yang dimuat di websitenya Islam Liberal,” kata Fairuz.
“Yah, itu juga nggak sengaja sebenarnya. Saya sering menulis di facebook, dan ternyata oleh kawan-kawan tulisan itu diminta, ya saya mau saja. Nggak nyangka kalau ternyata sering tayang di website Islamlib,” jawab Gus Irwan sambil terkekeh.
Gus Irwan kemudian memanggil salah satu santrinya untuk membuatkan minuman untuk kami. Santri tersebut kemudian masuk ke dapur. Tak butuh waktu lama bagi santri tersebut untuk kembali membawa tujuh gelas kopi di atas baki dan kemudian menatanya di atas meja sesuai dengan tempat duduk kami.
“Saya ini dulu kalau nulis ya di mana-mana. Maklum, saya memang dulu pernah hidup hanya mengandalkan uang dari honor menulis.” terang Gus Irwan.
Kami kemudian mendengarkan kisah-kisah lain seputar masa muda Gus Irwan yang berkeliling dari diskusi ke diskusi, dari seminar ke seminar, dari buku satu ke buku yang lain. Hal yang sebenarnya biasa namun tampak sangat revolusioner di mata kami.
“Wah, menarik, Gus. Tapi tentu akan lebih menarik kalau obrolan ini langsung kita rekam di depan kamera,” ujar saya.
Gus Irwan terkekeh. “Ya wis, tak ganti baju dulu,” ujarnya. “Eh, ini syutingnya mau di mana?”
“Kami manut njenengan saja, Gus,” jawab Dafi.
“Oke, di situ saja,” jawab Gus Irwan sembari menunjuk pojokan ruang tata usaha.
Gus Irwan kemudian berlalu untuk mengganti bajunya.
Sembari menunggu Gus Irwan mengganti bajunya, kami mulai mengeset tempat untuk syuting. Awalnya hanya Dafi dan Fairuz yang inframe di depan kamera, namun ternyata Gus Irwan menghendaki saya dan juga Bahru (yang oleh Gus Irwan sering disangka sebagai Aguk Irawan sebab tampangnya mirip betul) untuk ikut inframe. Biar kelihatan rame, kata Gus Irwan.
Tak berselang lama, Gus Irwan Sudah berganti baju. Pergantian yang kami tak habis pikir, sebab pakaian yang ia pakai kelihatannya tak ada bedanya dengan saat sebelum ia ganti baju.
“Njo, dimulai…” katanya.
Sesi wawancara di depan kamera pun benar-benar dimulai. Gus Irwan duduk di kursi sebelah kiri, Dafi dan Fairuz di tengah, sementara saya dan Bahru di pojok kanan sebagai pelengkap.
“Gus Irwan ini adalah salah satu kiai yang masih muda,” terang Fairuz.
“Belum kiai, bukan kiai, cuma pembantu pondok” timpal Gus Irwan.
“Mungin jadi kiai nunggu real count-nya,” kata saya.
Gus Irwan tertawa kecil. “Iya, itu menurut quick count, kalau kiai itu harus nunggu KPU.” Kami semua tertawa. “Kalau nanti KPU sudah menentukan, saya akan dekarasi,” candanya.
“Hahaha, deklarasi kiai,” kata Fairuz.
“Nanti pakai sujud syukur,” sambung Dafi.
“Dan harus tiga kali,” saya menimpali.
*Maap, Pak Prabowo. Bukan bermaksud menyindir, cuma terbawa suasana saja.
Gus Irwan benar-benar kiai yang humoris. Beberapa guyonan dari Saya, Dafi, Fairuz, juga Bahru disambar serta-merta. Ia beberapa kali malah ikut melontarkan guyonan.
Gus Irwan lantas menjelaskan tentang pondok yang ia asuh. Pondok as-Salafiyyah 2 yang ia asuh saat ini sudah punya banyak santri.
“Ada 840-an,” terang Gus Irwan.
“Wah, sudah hampir seribu. Sudah berani tawur,” timpal saya.
“Sudah bisa jadi supporter sepakbola,” sahut Gus Irwan sambil tertawa. Kami tentu saja ikut tertawa.
Kami lantas bertanya tentang keputusan Gus Irwan untuk mengasuh pondok pesantren di usianya yang masih sangat muda. Maklum, lelaki di usia muda biasanya cenderung masih suka berkelana, belum mau mukim, apalagi memimpin sebuah pondok pesantren.
Menurut Gus Irwan, salah satu alasan dirinya mau memimpin pesantren Pondok as-Salafiyyah 2 adalah karena faktor kultural. Mlangi selama ini memang dikenal punya banyak pesantren, di mana sekarang para pengasuhnya adalah generasi ke 5 dan 6 dari para pendiri kampung Mlangi. Nah, dirinya sebagai cucu Kiai Masduqi Zaid (pendiri Pondok Pesantren as-Salafiyyah 1) ingin mengembangkan pondok pesantren utama as-Salafiyyah 1 yang dikenal lebih tradisional ke arah yang lebih modern.
Menurutnya, Pondok as-Salafiyyah 2 yang ia pimpin punya tujuan untuk melahirkan lulusan-lulusan pesantren berpendidikan formal tapi tetap berbasis pesantren salaf.
“Pesantren kalau nggak ada lembaga formalnya, untuk survive saja berat, khusus untuk Jogja,” terangnya. “Kalau di Jawa Timur seperti Lirboyo, Ploso, atau Sidogiri, misalnya, tanpa pendidikan formal pun sudah besar. Lha kalau di Jogja kan memang sentra pendidikan formal, maka kalau pesantren itu tanpa dibarengi pendidikan formal, maka akan susah untuk survive.”
Menyadari realitas itulah, Gus Irwan kemudian mengembangkan pesantren berbasis pendidikan formal yang kemudian bernama as-Salafiyyah 2.
Gus Irwan yakin bahwa kemajuan Islam bisa tercapai saat ilmu agama bisa dipadukan dengan ilmu terapan. Nah, adanya dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum menurutnya adalah salah satu penyebab mundurnya Islam.
“Seakan-akan Islam itu ya cukup ilmu fiqih, akidah, dan akhlak saja, padahal kan tidak. Islam itu ya harus maju.”
Lebih lanjut, Gus Irwan menjelaskan pentingnya pesantren untuk bisa lebih adaptif dalam menyikapi perkembangan teknologi. “Pesantren harus menjadi pusat kajian keagaaman sekaligus juga sains,” tuturnya. “Santri harus sekolah, santri harus kuliah.”
Keyakinan tersebut Gus Irwan implementasikan pada pesantren asuhannya dengan memciptakan terobosan-terobosan berbasis teknologi. Salah satu terobosan yang ia lakukan adalah membuat pesantrennya menerapkan sistem paperless. Pendidikan di as-Salafiyyah 2 dikonsep agar menggunakan seminim mungkin kertas. Para santri di sana dibiasakan untuk menggunakan tablet.
“Tapi tabnya sudah kami hilangkan koneksi internetnya, kalau mau ngenet, harus pakai wifi, itu pun di jam-jam tertentu. Nanti ujiannya pakai tab, dan akses bukunya juga sudah disediakan di tab.”
Menurutnya, santri wajib melek teknologi, termasuk juga melek sosmed. Hal tersebut selain agar santri bisa ikut menangkal hoax yang bertebaran di media sosial, juga agar santri bisa aktif dan optimal dalam menyebarkan sesuatu yang baik di sosial media.
Dafi kemudian menanyakan pertanyaan yang berhubungan dengan usia Gus Irwan.
“Gus Irwan ini kan kiai muda, nah kalau di forum-forum yang dihadiri oleh banyak kiai besar dan senior, pernah nggak, misalnya, Gus Irwan agak disepelekan karena usinya yang masih muda?” Tanya Dafi.
“Alhamdulillah nggak pernah. Alhamdulillah, kiai-kiai yang sepuh itu justru mendukung kiai-kiai yang muda, men-support dan mendoakan. Artinya ya di kalangan para kiai sangat senang jika ada kader-kader muda yang peduli terhadap pendidikan.”
Obrolan yang paling seru tentu saja saat Gus Irwan menceritakan kisah nakalnya selama nyantri di Pesantren Tegalrejo asuhan Kiai Haji Abdurrahman Chudlori.
“Saya itu, meskipun goblok dan jelek, tapi pernah satu almamater dengan Gus Dur dan Gus Mus,” terangnya sambil tertawa. “Gus Dur itu dulu di Tegalrejo plus di Mesir, sedangkan Gus Mus di Lirboyo, plus di Mesir. Lha saya alhamdulillah pernah di Lirboyo, di Tegalrejo, di Mesir.”
Saat mondok di tegalrejo, Gus Irwan ternyata adalah salah satu santri yang sangat nakal. Ia bahkan pernah di-takzir (dihukum) berdiri di depan masjid dan disiram air comberan dan tahi.
Salah satu kenakalan yang sangat ia ingat betul adalah mencuri.
“Nyuri makanan-makanannya kiai.” terangnya. “Itu saya lakukan pas giliran jaga dalemnya kiai bersama kawan-kawan. Nah, jam tiga malam itu lapar sekali, akhirnya kami operasi masuk ke dapur dalemnya kiai untuk ambil makanan yang ada. Kawan saya ambil nasi secukupnya sama lauk secukupnya. Tapi saya nggak, saya ambil rotinya, ambil susunya, ambil buahnya.”
Kami tertawa mendengar cerita tindak pencurian tersebut. Benar-benar muda, beda, dan berbahaya.
“Mbah Kiai itu ilmunya saja dikasihkan gratis, masak cuma buah sama susu saja mbayar,” kata Gus Irwan
Kisah mencuri makanan milik kiai ini tak pelak mengingatkan saya pada kisah legendaris Gus Dur yang dulu saat mondok di Tegalrejo pernah bersama-sama kawan-kawannya mencuri ikan di kolam milik Kiai Abdurrahman.
Kami lantas sadar, bahwa Gus Irwan ternyata bukan hanya satu almamater dengan Gus Dur, tapi juga satu aliran kriminal.
Kelak, menjelang wafatnya Kiai Abdurrahman, Gus Irwan sowan dan mengakui perbuatan pencuriannya saat mondok.
“Saya terus terang sama Mbah Yai, ‘Mbah Yai, kulo bade nyuwun istihlal (penghalalan), dulu saya pas mondok, saya pernah ngambil ini, ini, ini. Pokoknya semua kejahatan terstruktur saya, kejahatan masif saya, saya ikrarkan di depan Mbah Kiai dan alhamdulillah beliau meridhoi.” terangnya.
Kisah tentang pengakuan dosa Gus Irwan pada Mbah Kiai Andurrahkan tersebut sekaligus menjadi akhir wawancara kami.
Kendati demikian, obrolan masih tetap berlanjut tanpa direkam kamera. Kami berenam bahkan diajak berkeliling area pesantren.
Di salah satu sudut pesantren, Gus Irwan menunjukkan pada kami sebuah kolam yang nantinya akan diisi dengan ikan-ikan konsumsi.
“Besok kalau ikannya sudah ada, sampeyan jangan lupa dolan sini,” kata Gus Irwan pada saya. “Yah, biar ada yang nyuri, siapa tahu sampeyan bisa jadi Gus Dur berikutnya,” katanya sambil terkekeh. Saya tertawa kecut.
Blaik…