Lulusan S2 Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan publikasi internasional memilih jualan bakso di Jogja usai gagal lolos seleksi PNS untuk formasi dosen.
***
Dika Widia Putra (27) tengah memotong daging saat saya mampir di warung baksonya di parkiran barat Taman Monjali, Sleman, Jogja, pada Minggu (27/4/2025) siang WIB. Warung bakso milik Dika tampak mencolok dari jalan raya.
Sembari menunggunya beres, saya lantas memesan seporsi bakso komplet. Karena tidak terlalu memperhatikan daftar menu, saya agak kaget ketika mendapati ada bakso kotak di dalam semangkuk bakso yang saya pesan.

Pasalnya, selama ini bakso kotak identik dengan bakso Jawa Timuran. Kala pindah ke Jogja pun, saya belum pernah menjumpai bakso kotak. Baru di bakso milik Dika—namanya Bakso Bang Uyo—itulah saya menjumpai.
“Bakso kotak itu terinspirasi dari Bakso Mas Roy Surabaya memang. Di Jogja masih jarang,” terang lulusan S2 Peternakan UGM itu saat kami akhirnya bisa berbincang.
Alasan lulusan S2 Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) pilih jualan bakso
Bagaimanapun, S2 peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) adalah label prestisius. Bayangan ideal banyak orang: lebel tersebut mestinya kerja di instansi pemerintah atau perusahaan besar.
Lantas, kenapa Dika memilih jualan bakso?
“Yang mendasari jelas orangtua. Karena mereka membiayai anak-anak selama ini ya dari bakso,” ujar Dika.
“Nah, saya mau membawa usaha keluarga ke level yang lebih tinggi dan luas. Itulah kenapa saya bawa resep orangtua ke Jogja. Bisa bersaing atau nggak?” sambungnya.
Orangtua Dika sebenarnya asli Sukoharjo, Jawa Tengah. Namun, mereka merantau ke Jepara, Jawa Tengah, untuk jualan bakso.
Sejak kecil, Dika sudah akrab dengan “dunia bakso” karena ikut orangtuanya yang merintis warung bakso di Jepara.
Jualan sejak S1
Setelah lulus SMA pada 2015, Dika berhasil diterima di Fakultas Peternakan UGM.
Semasa kecil hingga SMA, Dika sudah belajar usaha bakso dari orangtuanya sendiri. Lalu, momen merantau ke Jogja itupun dia gunakan untuk mematangkan basic bisnisnya.
“Saya kan suka mengamati orang-orang berwirausaha. Saya juga suka kulineran. Terutama mie ayam, bakso, siomay, seta-satean. Di situ saya lakukan analisis pasarnya,” ungkap lulusan S2 Peternakan UGM tersebut.
Selain itu, semasa S1 pun Dika mulai mencoba-coba jualan. Dia pernah jualan pisang cokelat di kawasan kampus. Pernah juga jualan nasi ayam, celana dalam, hingga rambak kulit dari rumah ke rumah. Dimulai dari menawari tetangga kosannya di daerah Klebengan, Jogja, lalu ke warung-warung gudeg yang dia ampiri.
“Bagi saya dagang itu hobi. Saya tipikal orang yang nggak bisa diem. Jadi kalau kuliah pulang-kuliah pulang malah stres. Seharian di rumah nggak bisa, harus keluar, ketemu orang, ngobrol,” tutur Dika.
Selain itu, Dika juga menyibukkan diri di organisasi. Awalnya, ada lima organisasi yang Dika ikuti. Lalu karena kuliahnya menjadi tidak fokus dan membuat IP-nya rendah, alhasil dia memutuskan meninggalkan tiga organisasi (menyisakan dua saja), sambil terus jualan.
Baca halaman selanjutnya…
Gagal PNS dosen padahal tinggal selangkah. Ilmu kuliah berguna atau tidak?












