Melalui Angkringan Pasinaon di Jetis, Sleman, Mbah Gun terus menggalakkan gerakan sosial dan literasinya untuk anak-anak Sleman. Uniknya, dia justru khawatir gerakannya tersebut viral di media sosial.
***
Anak-anak perempuan yang terbagi dalam beberapa kelompok usia tengah dirias ala penari saat saya berkunjung ke Angkringan Pasinaon, Jetis, Sleman.
Saya berkunjung pada Jumat (11/10/2024) sore untuk secara khusus menemui Rahmadi Gunawan (36), pemilik Angkringan Pasinaon sekaligus pemilik sanggar tari, yang kemudian akrab dengan sapaan Mbah Gun.
“Tepak sekali main ke sini sekarang. Malam nanti ada lomba tari,” ujar Mbah Gun menyambut kedatangan saya.
Mbah Gun lantas mempersilakan saya duduk di ruangan sebelah studio mini miliknya.
Rumah Mbah Gun di Jetis, Sleman, itu memang sangat “ramai”. Di pelataran rumahnya terparkir bajaj yang dimodifikasi menjadi perpustakaan keliling. Teras rumahnya disulap menjadi angkringan yang tidak hanya menyajikan makanan, tapi juga buku-buku. Itu lah Angkringan Pasinaon.
Lalu ruang depan rumah Mbah Gun jadikan sebagai panggung pertunjukan yang dikelilingi rak-rak buku. Ruang depan itu terhubung dengan studio mini Mbah Gun: tempat Mbah Gun melakukan aktivitas-aktivitas kreatif seperti mendesain, membuat kaos, dan lain-lain.
Menyimpan dendam dari ejekan-ejekan masa kecil
Mbah Gun terlahir dengan Alport Syndrome. Sebuah gangguan yang membuat kondisi fisiknya tidak seperti orang-orang kebanyakan. Dengan kondisi seperti itu, tak pelak jika semasa kecil dia begitu kenyang dengan ejekan-ejekan.
Dikucilkan pun sudah menjadi hal biasa bagi Gun kecil dan remaja. Di masa itu, kata Gun, ada dua standar pembagian tugas untuk nyinom di kalangan anak-anak muda Jetis, Sleman. Sebagai gambaran diskriminasi perawakan atas standaran ketampanan.
Jika rupawan, maka akan dimasukkan menjadi juru antar makanan-minuman kepada para tamu. Lalu bagi yang dianggap tidak rupawan, maka tempatnya adalah di belakang: tukang cuci piring.
“Jelas aku ada di bagian cuci piring terus, to,” ujar Mbah Gun dengan tawa.
“Aku nggak sakit hati lah dengan ejekan atau pengucilan itu. Aku akhirnya memang punya dendam. Tapi dendam positif,” sambungnya.
Dendam positif yang Mbah Gun maksud adalah bagaimana dia, suatu saat, ingin menunjukkan bisa berkontribusi besar pada lingkungannya.
Energi kreatif dari sekolah seni rupa
Bakat kreatif Mbah Gun mulai terlihat sejak kecil. Bapaknya pun menyadari bahwa meski anaknya tersebut dianggap “berbeda”, tapi sebenarnya punya bakat yang bisa dikembangkan.
Gun kecil memang suka menggambar dan punya keterampilan dalam hal kerajinan tangan. Maka, setelah lulus SMP, sang bapak mendaftarkan Gun kecil ke Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) di Bugisan, Bantul.
“Sebenarnya aku waktu itu penginnya masuk bengkel (SMK otomotif). Karena kebanyakan teman-temanku kan sekolah bengkel. Terus pikirku, kalau gambar bisa lah kukembangkan sendiri. Aku mau belajar bengkel saja,” tutur Mbah Gun. Dia lantas menggeleng-gelengkan kepala, mengungkapkan rasa kagumnya pada sang bapak yang percaya bahwa dengan masuk SMSR, Gun kelak akan menjadi “seseorang”.
Karena kenyataannya, SMSR memang benar-benar menempa mental Mbah Gun. Di sana dia mengaku tidak cuma belajar kesenian, tapi juga mendapat bekal-bekal hidup yang bisa dia gunakan untuk survive mengarungi kehidupan di masa-masa setelahnya.
Kembali ke Jetis Sleman setelah berkelana hingga ke Bandung
Lulus SMSR pada 2005, Mbah Gun memutuskan untuk berkelana ke Bandung, Jawa Barat. Saat itu dia diterima bekerja di sebuah toko perhiasan, sebagai desainer grafis.
Namun, Mbah Gun merasa tidak betah. Karena pada dasarnya dia tidak bisa jauh-jauh dari orang tuanya di rumah. Alhasil, dia memutuskan mengundurkan diri untuk pulang lagi ke Jetis, Sleman. Di Sleman, beragam jenis pekerjaan dia lakoni.
“Aku pernah kerja di toko stiker. Pernah juga membuka cuci motor bareng temen-temen remaja masjid sini,” ungkap Mbah Gun.
Saat itu, dia dan teman-temannya patungan untuk membeli alat cuci. Tak lama menjajal pekerjaan tersebut, Mbah Gun lalu pindah kerja di sebuah studio foto di Sleman. Saat itu pekerjaannya adalah sebagai kurir macam-macam yang berhubungan dengan studionya.
“Tapi gara-gara kerja di studio itu, lama-lama aku juga diajari cara pakai kamera. Akhirnya bisa fotografi,” terangnya. Memang seorang yang serba bisa.
Pengungsi-pengungsi Merapi di Jetis Sleman
Sebenarnya sejak kecil Mbah Gun sudah punya dorongan besar untuk berkecimpung dalam gerakan-gerakan sosial. Tapi karena kerap tak diperhitungkan, alhasil jalannya tak begitu mulus.
Hingga akhirnya pada 2009 Mbah Gun bisa bergabung dengan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Sleman. Setelah dari sana, dia kemudian tergabung dalam gerakan Karang Taruna.
Agak unik memang. Biasanya untuk sampai ke KNPI, seseorang harus terlibat aktif dulu di level Karang Taruna. Tapi Mbah Gun justru terbalik. Alhasil, ilmu-ilmu yang dia dapat dari KNPI pun sangat dibutuhkan di Karang Taruna tempatnya berkiprah.
Erupsi Gunung Merapi di Jogja pada 2010 menjadi momentum bagi Mbah Gun untuk menunjukkan kiprah sosialnya. Masa itu, banyak pengungsi yang berlari ke Jetis, Sleman. Saat itu, Mbah Gun mengambil peran untuk mengkoordinir para relawan.
“Aku ngoordinasi orang-orang dari kampus-kampus besar Jogja waktu itu. Misalnya dari UGM yang jadi relawan di sini,” akunya.
“Aku dianggap pintar membagi peran. Apalagi proses membantu para pengungsi itu juga berjalan lancar,” sambungnya.
Di titik itu, Mbah Gun merasa ada kenyamanan dalam gerakan-gerakan sosial. Seiring dengan itu, orang-orang pun mulai tak memandang Mbah Gun sebelah mata lagi.
Mendampingi para petani hingga menemukan istri
Rasa nagih terhadap gerakan sosial kemudian membawa Mbah Gun menjadi pendamping untuk para petani di Pepen, Trimulyo, Sleman. Dia mengambil peran bagaimana menghubungkan para petani ke para pemangku kebijakan guna menyalurkan aspirasi-aspirasi mereka. Pendampingan itu berlangsung dalam kurun 2012-2013.
Saat mendampingi para petani itu pula Mbah Gun dipertemukan dengan seorang perempuan yang akhirnya dia peristri.
“Saat itu dia jadi sekretarisku. Ternyata minatnya pun mirip-mirip denganku. Gerakan sosial iya, kesenian iya, literasi iya,” ujar Mbah Gun.
Pernikahan Mbah Gun dan istri berlangsung pada 2015. Saat itu, pernikahan mereka bahkan dihadiri oleh Yuni Satia Rahayu (Wakil Bupati Sleman 2010-2015), karena kenal dekat dengan Mbah Gun yang terlibat aktif dalam pendampingan petani di Pepen.
Dari sanggar tari hingga Angkringan Pasinaon
Usai dari Pepen, Mbah Gun kembali berdiam di Jetis, Sleman. Saat itu, dia membuat Tabo (tanggap bocah). Yakni sebuah gerakan untuk memantau jentik-jentik nyamuk.
“Sampai ada momen aku diomongi sama anak kelas lima SD. Katanya, percuma aku geleleng di daerah luar, tapi kalau di kampung sendiri nggak bikin apa-apa,” kata Mbah Gun.
Dari situ, energi kreatif Mbah Gun lantas keluar semua. Dia mulai dari membangun sanggar tari bernama Sanggar Bocah Jetis.
Pada 2014, melalui Twitter (saat itu belum bernama X), Mbah Gun menyampaikan keinginannya untuk membuat gerakan literasi. Dia mulai dengan mengunggah sekitar 60 buku–yang kebanyakan buku-buku pelajaran–di rumahnya.
Tak dinyana, lantaran cuitan Mbah Gun di Twitter, donasi buku banyak berdatangan ke Sanggar Bocah Jetis. Mbah Gun lantas menjadikan rumahnya sebagai taman bacaan.
Pada 2015–setelah akhirnya menikah–Mbah Gun dan istrinya mencoba mengikuti lomba Pemuda Pelopor dari Pemkab Sleman. Mbah Gun dan istri lalu mencoba membuat inovasi kaitannya dengan pendekatan minat baca.
“Kalau cuma perpustakaan kan sudah banyak. Maka aku buat lah Angkringan Pasinaon ini. Konsepnya angkringan, tapi ada sentuhan literasinya,” jelas Mbah Gun.
Penerimaan terhadap Angkringan Pasinaon ternyata sangat bagus. Kata Mbah Gun, jika dulu bikin sanggar yang datang adalah anak-anak kecil, maka ketika Angkringan Pasinaon jadi, segmennya pun makin luas. Banyak orang–anak-anak dan dewasa–berdatangan ke angkringan yang berlokasi di Jetis, Sleman, tersebut.
Pustaka ning ratan
Inovasi-inovasi literasi pun terus muncul dari Mbah Gun. Dia pernah dua kali ngontel dari Jetis ke Prambanan dengan membawa gerobak berisi buku-buku. Berhubung saat itu di Prambanan ada event yang diadakan oleh Perpustakaan Nasional (Perpusnas).
“Saat itu berangkat jam empat Subuh, baliknya jam 6 Magrib,” terang Mbah Gun.
Mbah Gun juga pernah membuat gerakan Pustaka Ning Ratan (Pustaka di Jalan/Pustaka Jalanan). Saat itu dia bekolaborasi dengan teman-temannya di beberapa Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di Sleman. Dua minggu sekali mereka akan mengadakan acara literasi kecil-kecilan di Lapangan Denggung.
Di acara itu, Mbah Gun membawa serta anak-anak sanggar tarinya untuk pentas–juga kecil-kecilan–di sana.
Tak berhenti, Mbah Gun dengan menggunakan motor roda tiga (orang-orang menyebutnya Tosa) yang sudah dimodifikasi sebagai perpustakaan keliling mengadakan roadshow di 20 titik pedusunan.
“Kegiatannya ya lomba membaca buku nyaring, mewarnai. Mereka kuajari memawarnai wayang. Di situ aku juga menyantuni anak-anak kurang beruntung,” beber Mbah Gun.
“Semua kegiatan aku biayai sendiri, dari hasil jual desain atau kaos,” tambahnya.
Keliling bersama anak-istri
Usai roadshow dengan motor roda tiga, Mbah Gun lalu memodifikasi sebuah bajaj mangkrak milik almarhum suami Yuni Satia Rahayu, mantan Wakil Bupati Sleman 2010-2015, sebagai perpustakaan keliling.
“Aku waktu melihat bajajnya kayak ngedip-ngedip hahaha, minta diadopsi. Akhirnya aku tembungan ke Bu Yuni. Terus boleh kumanfaatkan,” lanjutnya.
Mbah Gun pun lantas memperbaikinya. Alhasil, dari bajaj yang kata Yuni sebenarnya sudah tidak bisa nyala lagi itu, di tangan Mbah Gun ternyata bisa beroperasi lagi.
Bajaj–yang kemudian jadi perpustakaan keliling–itu kemudian Mbah Gun bawa keliling ke sekolah-sekolah. Di jam-jam istirahat, dia melakukan pelayanan pada siswa-siswa yang ingin membaca.
Yang mengagumkan, tiap kali keliling, Mbah Gun tidak pernah sendiri. Dia selalu ditemani istri dan dua anaknya, ke mana pun Mbah Gun membawa perpustakaan kelilingnya.
Sanggar Ciptaningtyas: dari kasih yang suci
Atas gerakan-gerakan literasi dan kesenian Mbah Gun, Kepala Dinas Kebudayaan Sleman, Aji Wulantara, sampai singgah di Angkringan Pasinaon Mbah Gun di Jetis, Sleman.
“Karana tahu aku punya sanggar tari, akhirnya aku diminta bikin Nomor Induk Kebudayaan (NIK). Agar, minimal kalau tercatat di data dinas, mudah kalau ada apa-apa,” kata Mbah Gun.
Dari situ, nama Sanggar Bocah Jetis pun diganti menjadi Sanggar Ciptaningtyas. Ciptaningtyas berarti “terbuat dari kasih yang suci”. Sanggar tersebut rutin menggelar latihan dan pentas tari untuk anak-anak setempat. Seperti Jumat malam saat saya berkunjung ke sana.
Nama Ciptaningtyas itu juga dia ambil dari nama anak perempuan pertamanya.
Menjelang jam delapan malam, para orang tua mulai berdatangan. Mereka ingin menyaksikan anak-anaknya tampil di panggung tari Sanggar Ciptaningtyas. Anak-anak pun tampak antusias. Sejak mereka beres didandani, selepas Magrib mereka saling bergantian menjajal panggung.
“Tapi aku itu masih khawatir kalau viral. Nggak siap gerakan-gerakan yang kubuat viral. Karena kalau sudah viral, itu nanti bisa jadi melenakan, bahaya bagi konsistensi gerakan ini,” tutup bapak dua anak tersebut.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Kisah Pegiat Literasi Surabaya, Buka Lapak Bacaan Gratis di Tunjungan Malah Sering Kena Gusur
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News