Bagi para pekerja Wonogiri, Solo dan Jakarta menjadi titik penting. Keduanya punya peran dalam perkembangan kaum boro Wonogiri.
***
Saya bersama tiga kru Mojok lain melakukan ekspedisi kecil-kecilan di Wonogiri selama empat hari. Sejak Senin (30/10/2023) hingga Kamis (2/11/2023), tim ramping ini berusaha mencari tahu akar sejarah pedagang mie ayam wonogiri yang tersebar di berbagai penjuru tanah air. Namun, cerita soal etos kerja para pekerja dari kota ini justru menjadi warna menarik tersendiri.
Kami berangkat dari Jogja dan sengaja lewat Solo karena hendak mewawancarai beberapa narasumber penting yang tahu perihal sejarah mie ayam wonogiri. Selepas mentas wawancara di kota kaya kuliner itu, kami melanjutkan perjalanan ke arah tenggara menuju Kota Gaplek.
Setelah keluar dari pusat Kota Solo, di jalan Solo-Sukoharjo tampak pabrik-pabrik garmen yang berderet. Ahmad Efendi, Tim Liputan Mojok yang membonceng saya dan kebetulan ber-KTP Wonogiri lalu berujar, “Banyak orang Wonogiri yang kerja di pabrik-pabrik ini,” ujarnya lantang di tengah berisiknya deru kendaraan.
Di hari kerja, setiap pagi, para buruh yang hendak bekerja ke pabrik-pabrik garmen itu sering terlihat di tepi jalan utama Kecamatan Wonogiri dan Selogiri. Menunggu bus yang mengantar mereka ke tempat kerjanya.
Selama menelusuri sudut-sudut Kabupaten Wonogiri, penghujung musim kemarau terasa begitu menyengat. Cuaca di berbagai daerah lain juga panas, namun lanskap yang gersang di wilayah tersebut seakan menambah gerah. Di pusat kabupaten, bukit-bukit tandus terlihat memancarkan fatamorgana panas di siang hari.
Sebagian wilayah di Wonogiri memang terkenal gersang dan tidak produktif untuk pertanian basah. Tak heran jika kawasan ini menyandang gelar Kota Gaplek. Makanan yang berbahan dasar singkong yang tahan hidup di tanah kering dan jadi sumber pangan pokok warga Wonogiri sejak lama.
Di sisi lain, Wonogiri juga menjadi kabupaten dengan UMK terendah kedua di Jawa Tengah. Posisi yang tak banyak berubah sejak beberapa tahun terakhir.
Banyak menimba ilmu bekerja di Solo sejak era kolonial
Saat di Solo, saya berjumpa dengan Heri Priyatmoko, seorang sejarawan dari Universitas Sanata Dharma. Heri mengungkapkan, relasi Solo dan Wonogiri sudah erat sejak lama. Solo sebagai kotapraja yang mendapat otonomi besar dari pemerintah kolonial bak menjadi magnet bagi para pekerja dan pengusaha dari wilayah sekitarnya.
“Wonogiri itu seperti adoh ratu cedhak watu,” cetus Heri.
Artinya, di Wonogiri sejak dahulu memang tidak banyak pusat perniagaan yang bisa jadi sumber penghidupan masyarakat. Akhirnya, warganya datang ke Solo, pusat kota dan pemerintahan untuk bekerja dan membuka usaha.
Bahkan, dalam perkembangan usaha mie ayam dan bakso yang banyak digeluti perantau Wonogiri, Solo memiliki posisi penting. Ada banyak bermacam pekerjaan yang mereka geluti di Solo.
“Bahkan simbah saya yang orang Wonogiri dulunya juga bekerja di Solo. Ada banyak pekerjaan. Mulai dari buruh pabrik sampai kerja di orang Tionghoa. Termasuk di bidang kuliner,” papar Heri.
Pecinan Solo menjadi salah satu episentrum khazanah kuliner. Termasuk olahan mie yang memang lekat dengan tradisi Tionghoa. Heri berpendapat, fase awal belajar para perantau Wonogiri dalam mengolah mie terjadi di Solo.
Pascakemerdekanaan, barulah Jakarta muncul sebagai destinasi penting bagi para pekerja Wonogiri. Heri beranggapan bahwa ibu kota menawarkan lebih banyak peluang usaha dan kerja ketimbang kota praja terdekat yang jadi jujugan sebelumnya.
“Berbekal etos kerja yang tinggi mereka bisa bertahan dan sukses di perantauan,” kata Heri.
Di perantauan, usaha yang paling banyak digeluti warga Wonogiri adalah berdagang mie ayam dan bakso. Bahkan, Ketua Paguyuban Mie Ayam Tunggal Rasa Wonogiri, Eddy Santoso berujar kalau biasanya istri dari penjual mie ayam turut membuka usaha lain yakni berjualan jamu.
Belum lagi, industri mie ayam bakso saja melibatkan banyak peluan usaha lain. Misalnya, pembuatan gerobak, pembuatan mie, penggilingan daging, sampai bahan-bahan untuk bumbu masakan.
“Satu warung mie ayam itu item-nya banyak. Melibatkan banyak aspek bisnis lainnya yang bisa jadi peluang usaha,” kata Eddy.
Nggak akan menganggur asal mau merantau ke Jakarta
Menurut catatan Pemkab Wonogiri, jumlah perantau di wilayah ini mencapai 35 persen atau 350.000 orang dari 1 juta penduduk. Tradisi merantau ini membuat ada kebiasaan menitipkan anak ke simbahnya di kampung halaman.
“Para perantau itu biasanya anaknya dititipkan ke mbah mereka di kampung. Sekolah di Wonogiri sampai SMP atau SMA. Kalau nggak punya banyak lahan di kampung ya nanti ikut merantau,” jelas Eddy.
“Jadi ibaratnya, orang Wonogiri begitu mbrojol itu ya sudah ada pekerjaan. Selama penjual mie ayam dan bakso ada di Jakarta, Solo, dan kota besar lain, nggak akan menganggur,” imbuhnya tertawa.
Namun, cakupan tujuan perantau Wonogiri juga tidak terbatas di Solo dan Jakarta. Banyak juga yang memilih hijrah ke luar Jawa.
Kondisi itu terlihat saat saya mengunjungi Desa Bubakan, salah satu kampung penghasil perantau penjual mie ayam dan bakso. Sudut-sudut desa yang terletak di Kecamatan Girimarto ini penuh rumah mewah yang sepi ditinggal penghuninya mencari nafkah ke berbagai daerah.
“Ada yang ke Jakarta, Sumatera, Kalimantan, sampai Papua. Ada yang pulang tiga bulan sekali sampai yang hanya mudik saat Lebaran,” ujar Kasno, Perangkat Desa Bubakan yang saya jumpai di rumahnya.
Tradisinya, perantau yang mulanya berjualan mie ayam dan bakso keliling dengan gerobak, ketika sudah mulai membuka warung akan mengajak saudaranya untuk ikut merantau. Saudaranya akan membantu mengurus usaha tersebut.
“Saat usahanya semakin berkembang nanti mulai mengajak tetangga. Setelah mereka yang membantu paham dan punya modal nanti akhirnya pada buka usaha sendiri. Begitu seterusnya sehingga siklusnya selalu ada perantau,” jelas Kasno.
Wonogiri saat ini
Kabupaten Wonogiri saat ini sudah mengalami banyak perubahan sejak era generasi awal para perantau. Pabrik garmen yang mulanya banyak berkumpul di Solo dan Sukoharjo, mulai banyak bermunculan di Wonogiri.
Edi Sulistianto, seorang pengusaha asal Kota Gaplek berujar bahwa prospek kerja di Wonogiri perlahan bertambah. Membuat generasi muda punya lebih banyak alasan untuk bertahan.
“Dulu memang kebanyakan anak muda lulus SMA langsung merantau ke kota besar. Sekarang pabrik konveksi banyak sekali, sehingga cari kerjaan nggak sesulit dulu. Sebagai pengusaha yang saya rasakan gitu,” paparnya.
Peluang untuk hidup di kota sendiri semakin terbuka. Namun, fakta bahwa Kabupaten Wonogiri menduduki peringkat kedua UMR terendah di Jawa Tengah tetap membuat sebagian anak mudanya tetap merantau. Meneruskan siklus kaum boro yang memadati kota-kota besar dengan berbagai usahanya.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Tulisan ini merupakan bagian dari Ekspedisi Mie Ayam Wonogiri
BACA JUGA Mie Ayam Es Asem Pak Marno, Mie Lembek Legendaris dan Laris di Wonogiri