Pencurian kutang berbusa
Tasya pernah menjadi korban, bahkan bukan ia sendiri, hampir semua temannya yang mengabdi juga jadi korban. Mereka kehilangan kutang alias BH.
“Awal-awal merasa kok daleman berkurang tapi mikirnya mungkin jatuh atau terbang. Jadi enggak ambil pusing,” kata Tasya.
Beberapa minggu setelah itu, pihak pondok menemukan beberapa pakaian dalam di pos jaga malam. Bikin Tasya kaget, karena ternyata pos jaga malam itu berlokasi di masjid pondok.
Usut punya usut, pelaku adalah santri putra yang jaga malam. Mereka berjumlah 9-12 orang, diam-diam memasuki area asrama putri pada saat semua orang tidur.
Pelaku maling kutang mengaku mereka mencuri sebagai pemuas hasrat seksual. Mereka pilih-pilih dalam melancarkan aksinya, cuma kutang berbusa yang diambil.
“Akhirnya kami jemur di dalam kamar mandi. Enggak berani di jemuran luar lagi,” kata Tasya.
Pihak pengelola pondok pesantren hampir saja mengeluarkan belasan maling kutang. Namun, akhirnya bikin surat perjanjian bersama orang tua dan berjanji tak mengulangi. Tak cuma perjanjian saja, pihak ponpes mengganjar hukuman dengan membotaki, menjemur, dan mempertontonkan ke santri lain dengan deskripsi di papan tulisan besar.
Tidak ada kepemilikan barang pribadi
Kepemilikan bersama adalah keniscayaan di dunia pesantren. Diizinkan atau mengambil sendiri, pokoknya semua barang milik bersama. Begitulah kata teman saya yang mantan santri.
Tasya tidak heran lagi kalau tiba-tiba uang, baju, sabun, bahkan odol hilang dari tempatnya. Sudah pasti ada yang mengambil meski barang-barang sudah diberi nama.
“Orang luar mikirnya masa’ orang-orang di pondok suka mencuri, tapi ya gitu faktanya,” kata Tasya.
Rasanya kesal juga kalau yang hilang adalah barang-barang berharga. Itu sih udah sampai di tahap pencurian yang menjengkelkan.
Seorang teman Nasor pernah digebuki massal karena mencuri berkali-kali. Teman-temannya yang jengah sudah habis kesabaran. Lucunya, anak tersebut dipakaikan helm terlebih dahulu untuk melindungi area rentan.
“Akhirnya anak ini diadili sama teman-temannya sendiri untuk memastikan agar jera tanpa melukai. Inisiatif mereka pakaikan helm dulu biar aman,” terang Nasor.
Santri lain mencurigai ia mencuri hape dan uang berulang kali. Teman-teman angkatan yang curiga lalu menginterogasi. Namun, mengaku tak semudah itu. Ada ritual supaya pencuri mau ngaku.
“Jadi teman-teman mainin air putih dalam botol, botolnya kasih minyak wangi. Semua santri kumpul, disuruh nulis jujur mencuri atau tidak. Habis itu mereka minum air itu. Nah, ditakuti-takuti kalau bohong bakal tiba-tiba gila atau telanjang di tengah lapangan. Karena airnya sudah dibacakan doa-doa, padahal mah enggak. Airnya cuma bau wangi aja biar mistis” terang Nasor tertawa.
Setelah mengaku dan mendapat hukuman, anak tersebut mengalami luka memar. Uniknya, mereka-mereka yang mengadili itu sendiri yang merawat sampai sembuh.
Kena rundung karena jago matematika di pesantren
Pendidikan Indonesia di jenjang dan jenis manapun rasanya tak lengkap kalau tak ada bullying atau perundungan. Tidak perlu heran karena di pondok juga terjadi.
Roro (bukan nama sebenarnya) mengaku menjadi korban perundungan saat masih duduk di MTs atau SMP. Perundungan di pondoknya tak berbentuk pukulan fisik.
Ia mendapat perundungan secara sosial. Teman-teman menjauhinya dan ia menjadi bahan omongan di belakangnya. Sebabnya sepele, karena hanya Roro yang tidak remedial saat ulangan matematika. Teman-teman Roro menuduh ia tak mau memberi contekan.
“Mereka diemin aku. Kalau misal teman kumpul di satu kamar, aku datang, mereka langsung diam dan langsung bubar. Enggak enak banget rasanya begitu karena kita 24 jam bareng. Aku nangis banget,” keluh perempuan yang mondok di Mojokerto itu.
Ia terus jadi bahan omongan bahkan sampai SMA. Roro memang jago matematika, guru sayang padanya. Namun, karena tak nyaman terus mendapat sindiran dan menjadi penyebab guru pilih kasih, Roro akhirnya bertindak. Ia mengirim surat buat sang guru.
“Bu, kalau kelas tolong jangan terlalu peduliin aku,” bunyi sedih surat yang ia kirimkan. Karena surat itu, hubungan Roro dan guru tersebut renggang hingga sekarang.
Seperti pondok pesantren pada umumnya, terdapat hari bahasa. Semua santri harus berbahasa sesuai peraturan di hari itu.
Dulu saat mendapat perundungan, seringkali ia jadi target yang teman-temannya catat. Roro dapat hukuman paling banyak.
“Jadi tiap malam setiap santri mencatat tiga orang yang melakukan pelanggaran. Semua orang catat aku karena mereka lagi enggak suka sama aku,” katanya. Roro bukan satu-satunya objek perundungan. Banyak santri mengalami hal yang sama.
Senioritas perkara kamar mandi
Dunia pesantren tak luput dari senioritas. Hal kecil bisa menjadi besar, misal karena santri junior pakai kamar mandi yang biasa santri senior gunakan.
Santri senior atau kakak kelas kerap melakukan sidang kepada adik kelas yang mereka anggap melewati batas. Meskipun “melewati batas” itu tak pernah ada indikatornya. Intinya terserah senior saja.
Dulu kasus sidang yang senior Roro lakukan adalah perkara rebutan kamar mandi yang tak bagus-bagus amat. Ada santri junior yang ketahuan menggunakan kamar mandi belakang yang biasanya senior gunakan. Senior-senior ini merasa perbuatan junior melewati batas.
“Dikumpulin semuanya sama senior. Padahal sebenarnya masalah sepele. Seperti rebutan antre atau rebutan makan juga bisa jadi masalah. Pokoknya ada batasan antara punya senior junior,” ujarnya.
Soal nilai-nilai kesopanan ini juga pondok Nasor terapkan. Kalau tidak sopan, santri senior akan meminta junior untuk menghadap. Namun, ia sepakat-sepakat saja dengan senioritas asal tidak di atas ego.
“Sepengalaman saya dulu, senior-senior jenjang SMA mendidik supaya enggak merokok kalau masih SMP. Kalau ada yang ketahuan, mereka sidang, senior kemudian meminta beliin rokok satu slop, dan bersihkan kamar mandi. Menurut saya ini dibangun di atas pendidikan,” terangnya.
Di pondok pesantren enggak boleh pacaran apalagi kalau enggak cerdik
Para santri seperti memahami ‘dilarang pacaran’ sebagai peraturan tak tertulis di dunia pesantren. Kalau ketahuan akibatnya bisa berat dan repot.
Dulu kakak kelas Roro harus menerima hukuman skorsing seminggu karena ketahuan memasang foto berdua dengan laki-laki di lock screen laptop. Keduanya tampak duduk berjauhan di sebuah bangku taman.
Akan tetapi tutor atau bagian keamanan yang iseng mengecek laptopnya mempermasalahkan. Santri sampai melakukan gerakan protes, pasang banner di mana-mana, tapi hukuman tetap berlanjut.
“Awalnya laptopnya disita karena tidak mengumpulkan di jam yang seharusnya. Terus tutor iseng cek dan menemukan foto itu. Aku lihat sendiri fotonya dan itu foto yang enggak gimana-gimana. Diskors, enggak masuk akal,” terang Roro geram.
Lain lagi cerita kakak kelasnya yang lain. Kasus yang satu itu sangat berat karena berakhir dengan DO. Sebabnya kakak kelas tersebut kabur ke Malang bersama pacar. Lalu beberapa hari setelahnya tersebar video tak senonoh, sekaligus mengakhiri masa santrinya di pondok itu.
Saya bertanya bagaimana santri pacaran di tengah keterbatasan akses. Roro bilang kebanyakan chat via Facebook menggunakan laptop.
“Pas Aliyah (SMA) kan bawa laptop. Nah kalau pas zaman MTs (SMP), ke warnet atau pinjam laptop kakak kelas,” ujarnya.
Kalau nyali si santri sedang membara, ada juga yang kabur dan ketemuan saat pihak keamanan sedang lengah. Seperti kakak kelas Roro yang berakhir pada hukuman atau bahkan DO.
Pondok pesantren dan hal-hal baik yang sulit dilupakan
Tentunya banyak cerita baik yang terjadi selama masa nyantri. Ketiga narasumber mengakui, awalnya adaptasi terasa menantang alias sulit.
Mereka memulai masa nyantri selepas SD. Usia yang masih sangat belia saat berpisah dengan orang tua dan jauh dari rumah.
“Seminggu pertama nangis terus. Selalu telepon orang tua minta pulang tapi orang tua selalu nguatin dan ngomong dicoba dulu, Nak,” kata Tasya.
Tapi semua yang terjadi pasti ada hikmahnya. Sampai hari ini Tasya juga selalu mengenang momen-momen di mana ia dan para santri bisa belajar dengan tekun karena di pondoknya menggunakan bahasa arab di hampir semua mata pelajaran. Jadi harus selalu belajar.
Lalu di pondok modern seperti Roro, terdapat Pelajaran IT yang sangat membantunya saat selesai mondok. Roro bahkan merasa ia masih lebih cakap daripada teman-teman lain terkait penguasaan teknologi.
“Ada yang bilang anak pondok ketinggalan zaman, itu salah banget,” kata Roro.
Satu hal yang pasti, mereka merasa kedekatan santri di pondok pesantren selama bertahun-tahun menjadikan hubungan seperti keluarga. Meski kadang cerita yang mereka lalui mirip kisah sinetron.
“Saya salut sama pertemanan pondok karena dibawa sampe kapan pun. Karena sama-sama enggak punya kepentingan soal berteman. Natural aja gitu. Ada yg salah antemi, suka sama cewek, ya, rebutan, kamu salah kamu nggak di-konco. Tapi uniknya itu enggak berlangsung lama, dendam pun enggak ada,” pungkas Nasor.
Reporter: Ussy Sara Salim
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Keluh Kesah Orang Desa: Biaya Pesantren Mahal Bikin Orang-orang Kecil Mumet!
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News