Jogja Art+Book Festival meneguhkan bahwa musik dan seni rupa tak bisa lepas dari buku. Ketiganya, jadi identitas yang melekat pada Jogja. Pertemuan ketiganya jadi hal yang patut dirayakan.
***
Kerumunan orang sudah tak sabar menunggu penampil utama yang akan naik ke atas panggung The Sounds of Poetry, pembuka Jogja Art+Book Fest 2024 di The Ratan, Panggungharjo, Bantul pada Rabu (1/5/2024) lalu. Silampukau, grup folk dari Surabaya akan jadi puncak setelah tadi ada Christabel Annora, The Melting Minds, dan Merah Bercerita yang unjuk gigi di atas panggung.
Sebelum Kharis dan Eky, dua personel Silampukau membawakan lagunya, pembawa acara Alit Jabang Bayi mengundang sosok di balik festival yang mempertemukan musik, buku, dan seni rupa ini. Ia adalah Dodo Hartoko, lelaki berkacamata yang sejak lama bergelut di dunia seni rupa dan penerbitan buku.
“Luar biasa, kerumunan ini jadi suntikan semangat buat kami. Akhirnya bisa mengundang Silampukau! Tahun depan datangkan Efek Rumah Kaca, pada mau datang kan?” katanya kepada penonton.
Kerumunan menyambutnya dengan sorak. Sambil berkelakar, Dodo bercerita bahwa ini memang festival yang agak beda. Sudah gratis, banyak perhelatan menarik, penonton malah bisa dapat makan gratis pula.
Tak berselang lama, Silampukau tampil membawakan lagu-lagu yang kebanyakan dari album fenomenal Dosa, Kota, dan Kenangan yang banyak mengisahkan tentang Surabaya.
Tak pandang gender, semuanya nyanyi dan bergoyang bersama. Di kerumunan itu ada Ida Setyaningsih (26) yang mengaku memang ingin menonton band asal Surabaya itu. Pekerja di Jogja ini awalnya ingin berkeliling ke semua titik sebelum menikmati penampilan di panggung. Melihat bazar buku hingga pameran seni.
“Tapi apa daya datangnya telat, harus amankan tempat biar nggak terlalu jauh dari panggung. Acara ini emang spesial, sih. Kapan lagi ada acara musik, buku, dan seni jadi satu. Gratis pula,” kelakarnya.
Jangan pisahkan Jogja dari buku, musik, dan seni rupa
Jogja Art+Books Fest 2024 digelar selama dua pekan sejak 1 Mei 2024. Sepanjang durasi festival, ada ragam agenda seperti bazar dan diskusi buku, pameran seni rupa, forum seniman bicara, konser musik, hingga performance lecture.
Ketika masuk ke The Ratan, mereka yang datang langsung bisa melihat koleksi ribuan buku pilihan dari puluhan penerbit Jogja. Sejak hari pembuka, ruang untuk bazar buku tak pernah surut dari pengunjung. Terutama ketika sore hingga malam.
Selepas itu, pada jam tertentu akan ada sesi diskusi buku, seniman bicara, hingga public lecture. Selama dua pekan tanpa surut, setiap harinya selalu ada sesi acara yang bisa dinikmati penonton.
Di sudut lain juga ada pameran seni dari beberapa perupa kenamaan Indonesia yang bertajuk “Mooi Indie dari Masa ke Masa”. Ada karya dari Eko Nugroho, Erizal AS, Yunizar, Eunike Nugroho, dan Theresia Agustina. Seniman yang karya-karyanya, menurut Dodo Hartoko, biasanya sulit dijangkau secara gratis di Jogja.
“Ya karya mereka ini adanya di galeri seni Jakarta dan bahkan luar negeri. Kami ingin hadirkan di sini, dan ingin masyarakat mengaksesnya secara gratis,” kata Dodo yang saya temui Minggu (12/5/2024).
Baginya, sebenarnya Jogja Art + Book Fest ingin mewadahi tiga elemen yang kerap terpisahkan. Atau setidaknya banyak kalangan yang menganggapnya berbeda. Padahal, ketiganya punya hulu yang sama di dunia literasi.
Seni rupa, musik, dan buku adalah kesatuan yang tidak terpisahkan. Dan Jogja, sejak lama jadi titik temu ketiga elemen itu. Dodo yang lama berkutat di dunia seni dan industri perbukuan bercerita bahwa mereka yang terlibat di sini berangkat dari komunitas-komunitas yang sejak lama menghidupi ketiga elemen itu di Jogja.
Untuk musik, ia mengaku tidak sembarang mengundang penampil. Ia hadirkan, musisi dan grup musik yang memang dekat dengan dunia sastra dan literasi.
Industri perbukuan akar dari banyak hal
Baginya, literasi itu selayaknya darah dalam tubuh manusia. Jika ada masalah pada darah, maka implikasinya bisa ke beragam aspek lain dalam tubuh.
“Pada dasarnya semuanya itu ya mengakar dalam buku, dalam dunia literasi. Buku itu memengaruhi banyak hal, baik musik sampai seni rupa. Literasi kan muaranya tidak sebatas teks,” kata dia.
Jelang akhir perhelatan Jogja Art + Book Festival, acara-acara menarik masih berlangsung. Sebelum agenda The Sounds Poetry yang hadirkan Saut Situmorang, Setyawancello, Ni Made Purnama Sari, dan Latief Nugraha ke panggung di malam hari ada diskusi buku Tangan Kotor di Balik Layar. Karya terbaru dari Puthut EA yang dibahas penulisnya bersama dosen Sastra Indonesia UGM, Asef Saiful Anwar.
Diskusi itu jadi cukup spesial, karena penulisnya sudah lebih dari satu dekade hiatus dari forum-forum bedah buku karyanya. Penonton pun membeludak memenuhi semua kursi yang tersedia di ruang semiterbuka.
Gelaran Jogja Art + Book Festival 2024 menjelang usai. Dodo tentu berharap festival ini bisa berumur panjang. Tanpa festival semacam ini, Jogja, terasa tak lengkap.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Curhatan Mereka yang Bernasib Sial karena Tertipu Konser Bodong
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News