Sandal hilang di masjid itu sudah jadi fenomena. Meski sudah banyak korban, kejadian ini terus terulang. Pada bulan-bulan biasa, fenomena ini kerap terjadi saat salat Jumat, dan ketika bulan puasa tiba akan lebih menjadi-jadi terutama saat salat tarawih.
Awalnya karena menjadi korban
Cecep (21) mengatakan pernah menjadi korban kehilangan sandal di masjid sebelum akhirnya terjun ke dunia hitam sebagai pelaku utamanya. Pria asal Wonogiri tersebut mengaku pernah kehilangan sandal jepit merek Swallow ketika tarawih di sebuah masjid. “Saya pulang paling belakang, karena harus nggulung sajadah dulu,” tegasnya saat saya temui di kedai kopi daerah UGM pada 14 April 2021.
“Pas saya keluar masjid, kok sandal saya nggak ada. Ya sudah, akhirnya pulang nyeker.”
Kesal dengan sandalnya hilang di masjid, pada malam berikutnya dia sengaja membawa sandal paling jelek yang dia punya. “Ini nggak mungkin dimaling. Ketinggalan di jalan saja pasti nggak ada yang mau ngambil,” tutur pria dengan rambut kribo itu.
“Merknya Swallow juga. Orang ke masjid sandalnya kalo nggak Swallow ya Melly,” tegasnya ketika saya konfirmasi perihal merek.
Awalnya saya mengira tujuan Cecep membawa sandal jelek adalah bentuk preventif agar terhindar aksi kriminalitas, tetapi ketika saya konfirmasil lebih lanjut, jawabannya sungguh mindblowing. “Enggak biar ilang. Ya biar bisa dituker sama yang bagus,” celetuknya sambil cengengesan.
“Saya pulang duluan waktu itu, nggak mau ikut beresin masjid. Nah, saya cari-cari sandal bagus, terus saya bawa pulang.”
Pria yang kesehariannya bekerja sebagai juru masak itu menegaskan, sandal bagus hasil nuker itu tidak pernah dia pakai ke masjid pada malam-malam setelahnya. “Bisa ilang lagi kalo dibawa. Diamankan di rumah.”
Lantas saya menyinggung apakah dia melihat sandal buluknya yang dia tukar apa tidak, dia langsung menggeleng. “Kayaknya langsung dibuang sama si korban, wong memang sudah jelek dan nggak layak pakai.”
Tidak merasa sebagai pelaku kriminal
Bagi Cecep, kelakuannya itu bukanlah bentuk kriminalitas. Bukan juga pencurian. Dia hanya menukar, tidak mengambil seperti yang pernah dilakukan siapa pun dan membuatnya harus pulang nyeker tempo hari. “Saya cuma nuker. Kasihan kalau saya ambil dan nggak ditinggali sandal lain.”
Di sisi lain, bagi Cecep sebenarnya fenomena pencurian sandal (Curandal) atau sandal hilang di masjid jauh lebih pelik daripada kelihatannya. Ada fenomena gunung es yang tidak bisa dilihat hanya puncaknya saja. “Soalnya berkelanjutan,” tegasnya.
“Nggak ada niatan ambil, tetapi kalo jadi korban, biasanya ambil sandal asal yang tersisa. Misal saya ngambil sandal mas, terus mas merasa bingung pas mau pulang, nah mas langsung asal ambil sandal yang ada. Nanti si pemilik sandal yang mas ambil itu, ya bakal ambil sandal lainnya. Gitu terus sampai ke orang terakhir yang keluar dari masjid.”
Saya lantas bisa menarik kesimpulan bahwa pelaku pertama sudah pasti yang keluar dari masjid pertama kali, kemudian efek domino akan membuat yang terakhir pulang menjadi korban. “Ya kayak gitu, lah,” Cecep mengkonfirmasi.
“Makanya kudu cepet-cepet pulang biar nggak kehilangan sandal, atau malah bisa ngambil sandal yang bagus juga,” lanjutnya.
Yang kemudian masih mengganjal di kepala saya adalah, apakah si pelaku pertama itu memang berniat mengambil sandal, yang artinya memang sudah memiliki rencana buruk sejak keberangkatan dari rumah, atau tergoda melihat sandal kinclong sehingga khilaf karena ada kesempatan, atau entah motif lain, dan Cecep memberi jawaban yang sungguh masuk akal. “Beda-beda alasannya, menurut saya.” Sungguh jawaban cari aman dan tidak menjawab sama sekali.
Akan tetapi dia melanjutkan. “Tapi biasanya gini, Mas. Kadang saya itu juga pas pulang asal masukin kaki ke sandal yang kira-kira punya saya, dan jalan gitu aja. Pas di perjalanan, kok kayaknya rasa sandalnya beda, dan baru sadar kalo itu sandal orang lain. Jadi ya kadang emang nggak sengaja, dan efeknya bikin yang sandalnya hilang di masjid ngambil sandal orang lain. Mau balek lagi ke masjid sudah malas.” Nah, itu baru jawaban yang ingin saya dapatkan.
Meski begitu, Cecep mengaku memiliki teman sesama pelaku Curandal yang ketahuan pemilik sandal aslinya. “Dia goblok,” tukas Cecep.
“Bawa sandalnya pas salat Ied, dan nggak tau kalau sandal itu ada tandanya. Ada garis bekas diiris di ujung, dan kebetulan dilihat yang punya,” lanjutnya.
“Temen saya cuma clingak-clinguk dan bilang ‘iya, kemarin ketuker’, padahal dia emang niat nuker dari awal.”
Berdasarkan fakta itu, menurut Cecep, cara mengatasi sandal hilang di masjid, atau minimal jika hilang masih berpotensi ditemukan, adalah memberi tanda pada sandal itu. “Ditandain saja. Dicoret-coret atau malah ditulisi nama. Yang ada namanya gede di bagian alas, sudah pasti nggak bakal diambil meski bentuknya jadi jelek,” tegasnya.
“Cara lain biar nggak hilang ya ditaruh di tempat persembunyian gitu. Agak jauh. Atau ditindih batu. Atau yang paling gampang ya pulang pertama kali dari masjid. Sudah aman, dan malah bisa ngambil sandal lain juga.”
Sandal yang tertukar milik kakak ipar
Setali dengan Cecep, Yogi (23) juga mengatakan bahwa urusan Curandal memang tidak bisa dipandang hitam putih. Dia mengatakan kepada saya pernah mengambil sandal milik kakak iparnya ketika pulang tarawih. “Nggak sengaja bawa sandal kakak iparku. Terus kakak iparku yang pulang belakangan bingung kok sandal yang dia pake nggak ada. Nyari terus nggak nemu-nemu, akhirnya dia pinjam sandal milik marbot masjid.”
Yogi tidak sadar membawa sandal kakak iparnya karena bentuknya mirip dan memang sering memakai sandal itu juga ketika di rumah. “Kan sandal itu juga sering saya pakai. Saya lupa pas tarawih ternyata pake sandal lain. Nah, kakak ipar saya pas pulang, kaget lihat sandalnya sudah ada di rumah.”
Menurut Yogi, kakak iparnya tidak mau mengambil sandal lain di masjid yang bukan miliknya. “Dia nggak mau ngambil. Dan dia nggak bawa sandal saya juga, wong dia nggak merasa bawa sandal itu.”
Akibatnya, Yogi terpaksa harus kembali ke masjid membawa sandal marbot yang dipakai kakaknya dan mengambil sandalnya yang tertinggal. “Untungnya belum ilang sandal saya yang ketinggalan. Kalau ilang, walah, malah repot sendiri saya.”
Sandal hilang tak hanya di area laki-laki
Puji (34) mengatakan kepada saya bahwa fenomena sandal hilang tidak hanya terjadi di area sandal laki-laki, tetapi terjadi juga di area sandal perempuan. “Di area perempuan juga banyak yang kehilangan sandal,” tegasnya.
“Saya pernah menjadi korban. Dulu saya bawa sandal bagus yang model selop gitu. Pas mau balik sudah nggak ada. Itu kan berarti pelakunya emang niat ngambil.”
Seperti efek domino yang dikatakan Cecep, Puji lantas asal mengambil sandal yang ada dan pulang dengan sangat kesal. “Daripada pulang nyeker, ya ambil yang ada,” tegasnya sambil mengenang fenomena menyebalkan itu.
“Tapi saya rugi, sandal yang saya bawa itu sandal Swallow jelek, sementara sandal saya yang ilang itu bagus dan harganya ya lumayan lah. Lupa saya berapa, tapi jelas lebih malah daripada Swallow.”
Saya lantas menanyakan kenapa tidak memilih sandal lain yang lebih bagus alih-alih membawa pulang sandal Swallow jelek. “Biar nggak terlalu merasa berdosa saja,” jawabnya. “Sandal jelek kan yang punya pasti nggak eman-eman kalau pulang. Kalo saya ngambil yang bagus, pasti yang punya bakal kesel juga kayak saya.”
Sebentar, logika ibuk-ibuk satu anak itu di satu sisi benar, tetapi di sisi lain justru akan menimbulkan korban lebih banyak. Saya membahas kemungkinan pemilik sandal jelek yang Puji ambil akan mengambil sandal bagus lainnya yang ada, sehingga apakah Puji mengambil sandal jelek atau bagus, tetap saja akan ada pemilik sandal bagus yang kehilangan sandal, dan ibuk-ibuk itu terdiam beberapa saat. Sepertinya blio kantem pikir.
“Benar juga, ya?” ucapnya setelah tampak berpikir keras.
“Kalo gitu harusnya saya ngambil yang bagus saja dulu,” lanjutnya penuh penyesalan.
Berbeda dari Cecep dan Yogi, Sukmo (26) memiliki pandangan tersendiri terkait aksi Curandal ini. “Saya belum pernah kehilangan. Belum pernah jadi pelaku juga. Tetapi karena sering nongkrong di depan masjid pas yang lain pada tarawih, saya tau fakta mengejutkan di balik fenomena ini,” tegasnya ketika kami ngobrol di sebuah kedai kopi pada 20 April 2021 malam.
Sambil sok misterius, Sukmo mengatakan bahwa oknum laknat itu adalah sekumpulan bocah kecil (bocil)—yang sama sepertinya—ikut keluar saat orang lain melaksanakan tarawih. “Bocil-bocil itu entah iseng atau malah rajin, menyusun sandal berdasarkan warna-warnanya,” tegasnya.
“Yang merah disatuin jadi satu. Yang ijo dikumpulin juga. Kadang yang Swallow dikumpulin sendiri, yang Melly dijadiin satu sama Melly, dan sandal yang bagus-bagus juga dijadiin satu.”
Pengumpulan berdasarkan warna, merk, maupun jenis itu, menurut Sukmo menjadi permasalahan tersendiri. “Niat bocil-bocil itu mungkin bagus, biar sandal tertata rapi. Atau entah niat iseng ya saya nggak tau. Tapi itu berpotensi membuat pemilik sandal bakal salah ambil, diikuti pemilik sandal setelahnya, dan begitu terus sampai yang pulang terakhir.”
Ketika saya menanyakan kenapa Sukmo tidak mengomeli para bocil yang entah rajin atau iseng itu, Sukmo menjawab dengan santai sambil beberapa kali mengambil french fries di meja. “Susah ngasih tau bocil.” Lebih lanjut, Sukmo mengkawatirkan bakal dilempari mercon sama sekumpulan bocil itu. “Malah dilempari mercon saya kalau ngomel-ngomeli mereka.”
Cara menangkal sandal hilang di masjid
Saya bertemu dengan Apri (23) usai salat Jumat. Dia mengatakan pernah kehilangan, tapi dulu sekali saat masih di kampung. “Kalau di Jogja belum pernah. Dulu pas di Giriwoyo ya pernah. Pas tarawih gitu.”
Dia menjelaskan, tips paling simpel untuk mengamankan sandal agar tidak hilang adalah menaruh di tempat yang benar-benar dia ingat. “Kalau menurut saya, sandal ilang itu kan karena lupa naruh biasanya. Nah saya harus ingat di mana naruhnya, misal di pojokan atau di mana.” Cara lain, menurut Apri, adalah taruh di satu lokasi dengan sandal teman-temannya. “Kalau sama temen-temen pas Jumatan, ya tinggal jadiin satu saja. Biasanya lebih aman,”
Lokasi penempatan sandal juga dianggap Ivan (19) sebagai cara paling ampuh mengamankan dari tindak pencurian. “Kalau bisa ditaruh paling depan, jangan yang paling belakang,” tegasnya.
“Kalau di belakang itu rawan ketendang-tendang. Di depan kan enak. Pas keluar masjid tinggal dipake dan langsung jalan.” Ketika saya tanya apakah dia pernah kehilangan sandal apa belum, dia mengaku belum pernah. “Kalau hilang, belum. Tapi kalau sandalnya ketendang-tendang sampai pisah yang kanan dan kirinya pernah.”
Ivan menegaskan, tidak ada pelaku tunggal dalam kejadian sandalnya yang kepisah kanan dan kirinya itu. “Nggak ada oknum yang secara khusus ngelakuin itu kayaknya. Paling karena rame dan buru-buru ambil sandal, sandal milik orang lain jadi kesepak-sepak gitu.”
Ivan berlalu meninggalkan saya yang masih mencoba mencerna fakta demi fakta terkait kasus sandal hilang di masjid. Banyak orang telah pergi saat itu sehingga suasana menjadi lengang. Pun karena tidak memiliki keperluan lebih lama lagi berada di sana, saya memutuskan untuk meninggalkan masjid juga, sampai akhirnya saya menyadari sesuatu. “Sik, sandalku di mana tadi?”
BACA JUGA Perempuan dan Walang yang Digoreng Dadakan dan liputan menarik lainnya.