Makan pagi di Jogja bukan itu-itu saja. Bukan cuma gudeg, soto ayam atau soto sapi. Yamadipati Seno dari Mojok dan Dadad Sesa, owner Javafoodie menelusuri beberapa tempat sarapan sambil tentu saja ngomongin makanan.
“Terkadang, manusia itu kalau sudah suka dengan satu hal, terutama makanan, akan sulit ganti dengan menu lain. Mereka malas menghabiskan banyak waktu untuk sekadar memikirkan mau makan apa,” kata Dadad Sesa, owner akun Javafoodie pagi itu di Bubur Yoyong.
Selepas pukul 06.00 pagi, saya janjian kopi darat dengan Dadad di Bubur Yoyong. Kami sudah lama cukup saling mengenal lewat media sosial, tapi belum pernah ketemu. Dan sarapan, salah satu waktu yang “sakral” untuk banyak orang, menjadi waktu janjian kami.
Dadad menyodorkan beberapa nama jujugan sarapan yang, bagi saya, sangat menarik. Kami mengurutkan dan mencoret beberapa nama warung. Lantaran cukup banyak tempat menarik sebagai jujugan makan pagi di Jogja, kami mengerucutkan ke empat nama saja. Yah, ketimbang pusing menentukan yang mana dari empat tempat itu, kami memutuskan mencoba semua. Untung sama-sama suka makan.
Empat tempat yang direkomendasikan oleh Javafoodie adalah Bubur Yoyong, Kereta Kopi Kota Baru, sate/tongseng Pak Tumijo Lempuyangan, dan Mie Ayam Bandung 59. Tempat pertama yang kami “serbu” adalah Bubur Yoyong yang berlokasi di Jalan Magelang nomor 11, Bumijo, Kota Yogyakarta.
Sarapan, bagi saya, adalah kegiatan makan yang “aneh”. Sudah cukup lama saya tidak pernah sarapan. Kalau tidak salah ingat, mungkin sudah sejak SMA. Entah apa alasannya, jika sarapan, perut saya malah mulas. Pengin boker, sampai begah, bikin malas beraktivitas.
Apakah karena menu sarapan saya terlalu monoton, kurang variasi? Atau memang perut saya memang jenis perut “orang susah”? Diisi makan malah memberontak. Sangat tidak estetis dan… bisa dibilang tidak sehat. Oleh sebab itu, demi lebih akrab dengan sarapan, mungkin saya perlu konsultasi dengan ahlinya di bidang jujugan badogan. Tiada ada lagi selain Javafoodie.
“Terkadang, manusia itu kalau sudah suka dengan satu hal, terutama makanan, akan sulit ganti dengan menu lain. Mereka malas menghabiskan banyak waktu untuk sekadar memikirkan mau makan apa.” Kalimat itu kembali terngiang.
Kalimat Dadad sangat nyambung dengan kehidupan pagi hari saya di Jogja ini. Menu yang bisa dan mudah saya jumpai jika mau sarapan memang “itu-itu saja”. Sebagai penduduk Jogja sejak lahir, gudeg adalah menu yang paling mudah ditemukan.
Baca Juga : Makan dan Ngobrol Ngalor-Ngidul Murah Meriah di Tenda Angkringan
Paling tidak ada empat warung gudeg di dekat rumah saya. Tiga di dekat Stadion Mandala Krida dan satu di samping Pasar Talok (sebelah selatan UIN Kalijaga). Bapak saya penggemar gudeg kepala ayam sementara ibu saya penyuka gudeg krecek. Otomatis, hampir setiap pagi saya pasti menjumpai aneka macam gudeg di rumah. Itu kalau saya mau sarapan.
Alternatif selain gudeg pun tidak banyak. Paling banter soto ayam atau sapi yang jumlah warungnya lumayan banyak di dekat rumah. “Monoton banget sarapanku, Mas. Itu kalau aku memang mau sarapan,” kata saya ke Dadad.
Dadad hanya tertawa sambil terus menyuapkan Bubur Yoyong ke mulutnya. Lahap betul. “Sebelum 2010 itu memang bisa dikata variasi makan pagi di Jogja, antara memang terbatas dan orang malas mencari. Namanya sarapan cari yang simpel. Mepet sama aktivitas sekolah atau kerja, kan,” terang Dadad.
Saya mendengarkan sambil mulai menyuapkan bubur telur orak-arik. Rasa gurih, manis, dan sedikit asin mulai kejar-kejaran di mulut saya. Gurih cakwe dan kekian yang menemani menu ini melengkapi kekayaan rasa dalam satu mangkok bubur.
Saya suka tekstur buburnya. Sedikit kasar dan kental. Berbeda dengan bubur yang biasa ada di warung gudeg. Lebih bersahabat untuk kamu yang tidak suka dengan bubur encer. Sementara itu, setiap topping dalam satu porsi disajikan ke dalam balutan plastik. Tujuannya supaya rasa di dalam satu porsi tetap seimbang, lagi pas.
Awalnya saya merasa “wagu” dengan cara pengemasan ini. Namun, setelah semua kondimen menyatu, saya jadi percaya ungkapan lama sak madyo atau “secukupnya” itu ada benarnya. Chef yang menciptakan menu ini ingin pelanggan merasakan kekayaan rasa yang orisinal, yang pas, tidak berlebihan. Sesuatu yang “pas” itu memang pas untuk sarapan. Bersahabat untuk perut yang mungkin belum siap dihajar rasa yang kuat.
Setelah kenyang dihajar Bubur Yoyong, kami bergeser menuju daerah Kota Baru. “Ada kedai kopi model gerobak kayak di Singapura yang harus kamu coba,” kata Dadad sebelum memuntir tuas gas motornya lalu melesat meliuk-liuk di ramainya pagi Jogja.
Namanya Kereta Kopi Kota Baru, posisinya pas di sebelah utara Gereja Kota Baru. Kedainya sangat sederhana, deretan kursi plastik warna biru ditata di depan. Pagi itu, ada dua pelanggan yang tengah asyik mengobrol dengan sang barista. Begitu melihat pemandangan seperti itu, kamu langsung bisa merasakan kehangatan dari kedai ini, di mana barista dan pelanggan tidak berjarak.
Menu Kereta Kopi ini cukup beragam. Untuk kamu pemburu kopi, bisa mencicipi kopi sejuk atau coldbrew, kopi hitam, kopi susu, dan irish coffee (es kopi dengan perisa rum. Tenang, tanpa alkohol). Untuk kudapan, kamu bisa cicipi roti bakar rasa cokelat, srikaya, dan keju.
Yang menarik Kereta Kopi juga menyediakan minuman telur ayam kampung. Sampai sekarang saya masih bingung, ini termasuk makanan atau minuman? Yang pasti, pagi itu, Dadad memesan satu porsi telur ayam kampung. Hmmm… kayaknya mau ada “lemburan” setelah sarapan, Mas Dadad? Hehehe….
Baca Juga : Jogja Tercipta dari Kenangan dan Teh di Angkringan, bukan Kopi di Kafe Tongkrongan
Saya sendiri memesan irish coffee dan roti bakar cokelat. Bagi saya yang tak pernah pilih-pilih soal kopi, racikan Kereta Kopi ini cukup menyenangkan. Kopinya kental, cukup berani, namun pas. Jenis kopi susu yang aman untuk perut sensitif kalau masih pagi. Murah lagi harganya!
Kereta Kopi meninggalkan pengalaman yang menyenangkan ketika barista dan pelanggan tidak berjarak. Kami mengobrol cukup lama di sini. Lagian, saya sedang sarapan sama Javafoodie, seorang foodgram kenamaan di Jogja. Tentu tidak mungkin barista Kereta Kopi tidak mengenal Dadad Sesa.
Terkadang, sarapan memang bukan soal apa yang masuk ke perut. Terkadang, sarapan adalah bagaimana cara kamu membangun suasana hati sebelum menjalani hari-hari yang berat. Segelas teh hangat dan sekerat roti pun bisa menjadi makan pagi yang menyenangkan jika kehangatan interaksi antar-manusia sangat terasa seperti di Kereta Kopi.
Pagi itu, perut kami sudah dipuaskan oleh Bubur Yoyong dan Kereta Kopi Kotabaru. Tentu tidak bijak jika memaksa untuk menjejalkan tongseng Pak Tumijo dan Mie Ayam Bandung 59. Kami memutuskan untuk melanjutkan perbuaran makan pagi di Jogja di esok harinya….
—
Seri Liputan Makan Pagi di Jogja:
Rekomendasi Makan Pagi di Jogja ala Javafoodie (Bagian 1)
Rekomendasi Makan Pagi di Jogja ala Javafoodie (Bagian 2)
[Sassy_Social_Share]