Wonocolo: Daerah Terbaik di Surabaya yang Ternyata Bikin Penjual Ayam Geprek Nelangsa

Wonocolo Surabaya Tak Ramah Penjual Ayam Geprek MOJOK.CO

Ilustrasi - Wonocolo Surabaya tak ramah penjual ayam geprek (Mojok.co)

Wonocolo bisa dibilang adalah salah satu daerah terbaik di Surabaya, Jawa Timur. Namun, siapa nyana, kalau Wonocolo justru menjadi daerah yang paling tidak ramah dengan penjual ayam geprek.

***

Selama enam tahun tinggal di Surabaya, saya berani mengatakan kalau Wonocolo adalah daerah terbaik yang ada di Kota Pahlawan. Bagi saya, Wonocolo adalah daerah yang sangat ramah pendatang.

Harga-harga di Wonocolo terbilang masih murah ketimbang daerah-daerah lain di Surabaya. Entah harga sewa kos atau harga makanan. Selain itu, Wonocolo menjadi daerah kecil dengan sarana-prasarana penunjang kebutuhan sehari-hari cukup lengkap.

Tak hanya warung makan, minimarket, atau bahkan toko Madura yang berjejer di setiap gang, Wonocolo juga dekat dengan salah satu mal terkenal di Surabaya, Royal Plaza. Pokoknya akses untuk segala sesuatu sangatlah mudah di sini.

Sebagai perbandingan, teman saya, Ilham (24) pernah tinggal di dua daerah di Surabaya. Semasa kuliah (2017-2022) ia tinggal di Wonocolo. Lalu saat ini ia tinggal di Gayungsari, memilih kos yang tak jauh dari tempatnya bekerja.

“Lebih enak Wonocolo. Keluar kos sedikit sudah tinggal milih (mau makan apa). Di Gayungsari susah pol cari warung makan. Warteg aja susah,” katanya saat saya hubungi, Selasa (12/3/2024) siang WIB.

“Nyari warkop yang tempatnya enak kayak di Wonocolo juga susah. Ada pun harus muter dulu. Sementara di Wonocolo, jalan kaki sudah enak,” sambungnya.

Namun, ada desas-desus menarik perihal Wonocolo. Yakni bahwa Wonocolo sangat tidak ramah dengan penjual ayam geprek.

Persaingan terjadi terang-terangan

Dalam beberapa tahun terakhir, entah kenapa persaingan penjual ayam geprek di Wonocolo terasa sangat kenceng. Padahal di awal-awal saya kuliah (2017) tak begitu terasa.

Saya menyadarinya saat Covid-19 berangsur mereda pada akhir tahun 2021. Saat kembali ke Surabaya setelah hampir satu tahun berdiam di Rembang, Jawa Tengah, saya cukup kaget mendapati dua kios ayam geprek yang buka berjejeran.

Sementara di seberang jalannya sudah ada warung ayam geprek yang sudah ada di sana sejak saya tinggal di Wonocolo pada 2017. Ibu-ibu pemilik warung tersebut tampak lesu bertopang tagu, karena semalaman hanya satu dua orang saja yang mampir ke warungnya.

“Cuma pelanggan-pelanggan lama yang datang,” ujar Mirah (38), bukan nama sebenarnya, saat saya ajak berbincang pada awal 2022 silam.

Saya termasuk salah satu pelanggan lama Mirah. Saya sering makan di warungnya karena murah. Itu pertama. Kedua, letaknya berdempetan dengan warkop langganan saya. Jadi sekalian nongkrong di warkop, biasanya saya memilih memesan ayam geprek dari warung Mirah.

“Kalau mau marah, ya marah lah, Mas, dalam hati. Maksudnya sudah tahu di sini ayam geprek, kok buka geprek juga di situ. Mematikan rezeki orang itu namanya,” gerutu Mirah.

Hanya saja, Mirah tak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa terus buka sambil pasrah. Kalau ada pembeli syukur alhamdulillah, kalau nggak ada blas ya mau bagaimana lagi.

Desas-desus pelet dan penglaris

Di awal 2022 itu pula, satu ayam geprek yang kiosnya berdekatan tutup. Sehari-hari kios tersebut sepi pembeli. Beda dengan kios sebelahnya yang pembelinya selalu antre, bahkan hingga pantauan terakhir saya pada Januari 2024 lalu. Sementara Mirah masih tak berubah; masih nelangsa menunggu pembeli.

Kasus di atas hanyalah satu contoh saja dari sekian kasus persaingan ayam geprek di Wonocolo, Surabaya. Masih ada beberapa yang lain.

Menimbang kerasnya persaingan penjual geprek di Wonocolo yang sedemikian itu, teman saya, Dika (24), mengurungkan niatnya untuk membuka usaha ayam geprek.

“Ada lah desas-desus yang menyebut kalau nggak cuma ayam geprek, banyak usaha-usaha kuliner di Wonocolo ini pakai pelet atau penglaris,” ungkap Dika saat kembali saya hubungi, Selasa, (12/3/2024) siang WIB.

“Tapi kasus ayam geprek memang paling mencolok,” sambungnya.

Penglaris maksudnya agar dagangannya laris. Hanya sebatas itu. Sementara untuk pelet lebih ekstrem, yakni bagaimana membuat usaha orang lain tutup.

Baik Dika maupun saya sendiri tak bisa mengonfirmasi kebenaran tersebut. Hanya saja, dari pengamatan Dika, indikasi-indikasinya memang cukup kentara.

“Bayangkan, dua kios berjejeran, dengan rasa, marketing, dan harga yang sama, tapi hasilnya jomplang banget. Yang satu rame banget, yang satu bener-bener blas nggak ada pembeli,” ujar Dika.

Dika menekankan, pendapatnya bisa saja salah karena mungkin lahir dari kecurigaan dan kebencian. Akan tetapi, kira-kira seperti itulah gambaran persaingan ayam geprek di Wonocolo.

Baca halaman selanjutnya…

Siasat jualan ayam geprek di Wonocolo agar tak mati

Strategi jualan ayam geprek di Wonocolo

Saya sebenarnya belum bisa mengonfirmasi secara langsung kepada warung-warung makan di Wonocolo. Saya belum ada kesempatan lagi ke sana.

Hanya saja, rata-rata kasus seperti di atas terjadi hanya pada penjual ayam geprek, yang memang hanya menyajikan menu ayam geprek. Sementara warung-warung dengan menu campuran cenderung masih aman-aman saja.

Yakni warung-warung yang menyediakan ayam geprek sebagai menu alternatif. Seperti misalnya empat warung makan langganan saya di Wonocolo.

Keempatnya tak menjadikan ayam geprek sebagai menu utama. Hanya kalau ada pembeli yang bertanya “Apakah ada ayam geprek?”, maka si pemilik warung baru akan membuatkan.

Tentu menjadi fenomena yang unik, bagaimana persaingan penjual ayam geprek di Wonocolo terkesan lebih kenceng ketimbang warung-warung makan dengan menu campuran (seperti Warteg atau Warung Sederhana).

Lantas apa motifnya gitu, loh? Saya merasa perlu ke Surabaya lagi khusus untuk menyelidiki fenomena ini.

Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: 3 Makanan Khas Surabaya yang Tak Pantas Jadi Makanan Khas, Bebek Purnama Termasuk Meski Nikmatnya Tak Diragukan

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version