Usulan untuk menetapkan tiket konser sebagai salah satu objek cukai menjadi sorotan. Tiket konser dibahas sebagai salah satu barang yang masuk daftar pra-kajian objek cukai.
Sebelumnya, kabar tiket konser masuk daftar pra kajian objek cukai mencuat pertama kali setelah adanya kuliah umum di PKN Stan yang membahas ekstensifikasi cukai. Selain tiket konser, beberapa barang yang disebut akan masuk daftar pra-kajian objek cukai di antaranya tisu, makanan cepat saji, hingga deterjen.
Direktur Teknis dan Fasilitas Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC), Iyan Rubianto menyebut penerapan cukai pada barang-barang di atas perlu kajian mendalam. Selain itu, tentu bakal menimbulkan gejolak di masyarakat.
“Ini tiket hiburan, ini kayak kemarin sold out. Itu sampai ada konser lagi di Singapura dan dibeli. Masyarakat Indonesia itu kaya-kaya, saya rasa perlu dinaikkan,” papar Iyan dalam Kuliah Umum Menggali Potensi Cukai yang disiarkan secara daring, Jumat (19/7).
Meski sifatnya baru usulan, ide ini telah menuai berbagai pro dan kontra di kalangan publik. Bagi penikmat acara musik secara langsung, ide ini dirasa memberatkan.
Seorang penikmat musik, Khoirul Atfifudin (23), menilai bahwa jika ide itu benar-benar ditindaklanjuti maka akan memberatkan masyarakat banyak. Baginya, konser musik adalah hiburan bagi masyarakat. Cara meredakan stres yang tidak perlu dibatasi.
“Konser saja sudah menyumbang pajak buat negara tanpa perlu diterapkan cukai. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak kreatif mencari cara untuk menambah pendapatan negara,” keluhnya.
Atfi, sapaan akrabnya, kerap mendatangi berbagai konser musik di berbagai kota. Rela menabung meski uangnya terbatas. Namun, tidak rela jika setiap tiket konser dikenakanan cukai.
Usulan cukai tiket konser bisa mematikan industri pertunjukan musik
Pengamat musik, Nuran Wibisono, menganggap usulan tersebut kontra produktif dengan upaya untuk mengembangkan industri musik di Indonesia. Penerapan cukai musik dapat menghambat laju industri yang sedang berkembang ini.
“Sesuatu yang baru akan atau sedang berkembang itu lumrahnya diberi insentif. Mulai dari insentif pajak dan kemudahan lain. Bukan malah dikenakan cukai,” terangnya kepada Mojok, Jumat (26/7/2024).
Jika benar-benar diterapkan, ia berpendapat bahwa industri musik akan mengalami goncangan. Potensi mengurangi minat masyarakat untuk membeli tiket acara musik.
“Skalanya seperti apa tentu belum bisa dipastikan. Yang jelas membayar cukai akan memberatkan,” terangnya
Nuran mencontohkan, di Australia justru pernah ada kebijakan penggantian pajak yang dikenakan pada tempat-tempat pementasan musik. Kebijakan ini dilakukan di masa pandemi untuk mendukung pemulihan ekonomi dan mendorong ekosistem pertunjukan langsung yang lebih sehat dalam jangka panjang.
Proses panjang
Jika menilik UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, barang yang dikenakan cukai adalah barang yang mempunyai sifat atau karakteristik yang konsumsinya perlu dikendalikan. Syarat lainnya adalah barang tersebut memiliki peredaran yang luas sehingga perlu diawasi dan pemakaiannya menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan hidup atau masyarakat.
Suatu barang juga dapat dijadikan objek cukai apabila pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Beberapa contoh objek cukai adalah rokok dan alkohol.
Berdasarkan beberapa syarat yang sudah disebutkan, penetapan suatu barang menjadi objek cukai memerlukan proses yang panjang dan melalui banyak tahap. Salah satunya adalah mendengarkan aspirasi dari masyarakat.
Selain itu, pemerintah juga menyampaikan rencana ini ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemerintah juga harus menentukan target penerimaan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) bersama DPR.
Prosesnya cukup panjang. Namun, jika usulan ini benar-benar menjadi kebijakan, Nuran berpendapat bahwa itu merupakan kebijakan yang buruk.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Aly Reza
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.