Ikut bela diri karate hingga dimusuhi kakak sendiri
Singkat cerita, Bachtiar menjatuhkan pilihan ke bela diri karate. Semua bermula dari tontonan di salah satu kanal televisi yang dia lihat tanpa sengaja.
Menurutnya, cara sparing karate tidak “seserampangan” pencak silat. Paling tidak dari yang dia lihat dari cara latihan anak-anak PSHT di desanya.
Dari situ, dia lalu mencari-cari informasi seputar bela diri karate di daerahnya. Usai ketemu, dia mencoba melihat cara latihannya. Memang keras, tapi pendekatannya lebih humanis. Maka, tanpa sepengetahuan kakak, Bachtiar ikut latihan karate.
“Tapi aku sudah izin ke bapak-ibu ya. Dan bebas saja. Kan nggak harus sama dengan kakak,” tutur Bachtiar.
Akan tetapi, saat sang kakak tahu, keributan kecil sempat terjadi.
“Metu gak koen?! (Keluar nggak, kamu (dari karate)?!),” bentak si kakak.
“Aku minate karate (Aku minatnya karate),” jawab Bachtiar.
“Karate itu bela diri asing. Bela diri asli Jawa, asli Indonesia, itu ya pencak silat,” timpal sang kakak. “Koen wong Jowo gak?! (Kamu orang Jawa nggak?!).”
Beruntung, Bachtiar dibela oleh ibu-bapaknya. Sementara sang kakak hanya bisa mendengus kesal.
“Awas ae koen lak onok opo-opo, gak sampek aku bakal ngewangi (Awas saja kalau kamu kenapa-kenapa, nggak bakal aku bantu),” ancam sang kakak. Tapi Bachtiar memilih bergeming.
Adu pukul dengan kakak sendiri
Bachtiar latihan bela diri karate hingga SMA. Sejak pertengkaran kecil itu hingga SMA, sikap kakak Bachtiar memang berubah. Hubungan mereka menjadi dingin, malah tidak seperti kakak-adik. Bahkan keduanya sempat nyaris baku pukul.
Bachtiar agak lupa apa pemicunya. Namun, saat itu sang kakak langsung menantang Bachtiar berkelahi. Padahal secara umur dan fisik, keduanya jelas timpang sekali.
“Coba tunjukkan karate-karate mbokne ancok itu. Ayo diadu sama pencak silat, coba menang siapa?” Tantang sang kakak dengan emosional.
Bachtiar mencoba mengontrol emosinya agar tidak tersulut. Tapi karena sang kakak melayangkan tendangan lebih dulu, Bachtiar lantas meresponsnya dengan tendangan yang disertai dengan loncatan.
“Tapi ya nggak lanjut. Karena dipisah. Lucu kalau ingat. Bisa gelut sama kakak sendiri padahal serumah. Cuma gara-gara beda pilihan bela diri pula,” ucap Bachtiar.
Tak menyesal gabung karate karena jauh dari keributan
Meski harus bermusuhan dengan kakak sendiri, tapi Bachtiar tak menyesali keputusannya memilih karate ketimbang ikut pencak silat PSHT, meski harus dimusuhi kakak sendiri.
“Selesai latihan ya selesai aja. Ada kenaikan tingkat, ya kenaikan aja, nggak ada konvoi-konvoi. Kalau punya rival, ya diselesaikan turnamen resmi, bukan di jalanan dengan cara tawuran atau keroyokan,” beber Bachtiar.
Bachtiar mengaku miris, tiap kali ada berita keributan pencak silat—terutama di Jawa Timur—selalu saja melibatkan PSHT. Di satu sisi dia juga menyayangkan, situasi itu membuat citra pencak silat—terkhusus PSHT—jadi buruk. Padahal pencak silat adalah bela diri asli Indonesia yang sejatinya mengajarkan nilai luhur.
“Kalau ada berita viral soal PSHT, kadang tergoda pengin menunjukkan ke kakak kalau perguruannya nggak beres. Tapi itu nggak bijak lah,” kata Bachtiar.
“Toh aku sudah bisa menebak responsnya. Pertama, pasti sewot dengan bilang kalau nggak semua PSHT seperti itu. Memang. Tapi kok kalau ada rusuh-rusuh pasti ada saja yang terlibat? Kedua, pasti ditantang gelut,” tandas Bachtiar.
Sampai saat ini, hubungan Bachtiar dengan sang kakak terasa masih dingin. Hanya saja, sang kakak tampak sedikit melunak. Barangkali, dugaan Bachtiar, sang kakak sudah merenungi setiap berita-berita kerusuhan yang entah kenapa selalu saja melibatkan nama perguruannya. Siapa tahu.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Pacaran sama Pendekar PSHT: Dulu Merasa Bangga dan Keren Punya Pacar Jago Gelut, Setelah Putus Eh Imbasnya Nggak Hilang-hilang atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












