Bertahun-tahun, kos di Samirono jadi andalan mahasiswa UNY. Sepanjang gang, bangunan bersolek agar bisa menyewakan kamar. Namun, di balik kehidupan mahasiswa ternyata banyak juga kos memprihatinkan saksi perjuangan pekerja dan sisi gelap Jogja.
***
Begitu masuk ke pintu utama Samirono, arah selatan dari simpang empat Jalan Colombo, geliat kehidupan mahasiswa langsung terasa. Jumat (17/05/2024) pagi sekitar jam 9, kios fotokopi hingga warmindo tampak sudah ramai pelanggan.
Semakin masuk ke gang-gang bercabang di dalam kawasan Samirono, tampak banyak bangunan yang semakin apik. Bukan hanya kos biasa, di kawasan permukiman padat penduduk ini sudah banyak kos eksklusif dengan sewa di atas Rp1 juta per bulannya.
Sejak dulu, Samirono sudah jadi teritori andalan mahasiswa UNY, UGM, dan sekitarnya untuk tinggal. Jaraknya dekat. Sekaligus strategis karena diapit empat ruas jalan besar di Jogja yakni Jalan Colombo, Jalan Gejayan, Jalan Solo, dan Jalan Prof Herman Yohanes.
Seorang pemuda yang dua puluh tahunan tinggal di sana, Rama (24), melihat kampungnya sejak dulu sudah ramai dengan kos. Namun, perkembangannya memang semakin pesat.
“Dulu zaman aku kecil itu masih ada ruang buat anak bermain. Selain di gang. Rumah masih banyak yang halamannya luas. Tapi sekarang pokoknya ada ruang lapang sedikit ya pasti jadi kos,” ungkapnya saat saya wawancara.
Selain dekat dengan kampus, lokasinya yang diapit berbagai jalan besar membuat gang-gang sempit Samirono jadi jalur alternatif saat ruas jalan utama macet. Dari Jalan Colombo bisa tembus Jalan Solo lewat sini. Dari Jalan Prof Herman Yohanes ke Jalan Gejayan.
“Jalan kucing itu yang bikin Samirono tambah ramai,” tuturnya.
Kos kumuh Samirono di balik kos mewah andalan mahasiswa UNY hingga UGM
Saya juga sempat berbincang dengan Maula (25), lelaki yang pernah sekitar dua tahun menetap di salah satu sudut Samirono. Bukan kos mewah melainkan kos yang terbilang sangat murah.
“Samirono memang strategis, tapi kalau mau ke kosku, motor harus dituntun 30 meter lewat gang sempit. Kalau hujan becek dan banyak tai ayam,” kelakarnya.
Ia tinggal di sana pada medio 2018 hingga 2020. Tarif sewanya juga hanya Rp250 ribu per bulan. Belum termasuk listrik dan WiFi. Untuk listrik, ia hanya mengeluarkan kocek, maksimal Rp50 ribu per bulan. Seringnya kurang dari jumlah tersebut.
Tempat tinggalnya bisa dibilang kos paling terjangkau di kawasan strategis itu. Selain perkara harga, tempat tinggalnya juga punya aturan yang bebas. Lebih tepatnya, tidak begitu terawasi.
“Biasa bawa pacar. Cukup bebas, asal tidak ketahuan. Tapi memang pemiliknya nggak ngurus dan mengawasi,” terangnya.
Baca halaman selanjutnya…
Sisi gelap Jogja dari teman-teman kos beragam latar belakang, orang jalanan