Tradisi minum teh manis di Indonesia awalnya tidak ada. Di kemudian hari, minum teh khususnya di Jawa punya filosofi tersendiri, wangi, panas, legi, dan kentel (wasgitel). Bagaimana kebiasaan minum teh masuk ke kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia?
Karakter minuman teh di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta itu wasgitel ada juga yang menyebutnya nasgitel (panas, legi, dan kentel) atau panas, manis, dan kental.
“Filosofinya yaitu sabar narimo. Artinya teh itu bisa dinikmati di segala suasana, cita rasa wangi, manis itu mengharmonikan jiwa dan raga kita. Menjadi seseorang yang patut bersyukur pada Gusti Allah,” kata Kustamiyati Bambang, peneliti dari Balai Penelitian Teh dan Kina di Bandung Selatan saat sesi Grand Master Tea Ceremony Performance di Momotaro Festival 2023 yang berlangsung di Pendopo Agung Royal Ambarrukmo (24/12/2023).
Saat itu, Kustamiyati menjawab salah seorang tamu undangan yang bertanya, jika tradisi minum teh di Jepang atau yang dikenal dengan istilah chado, memiliki makna filosofis, apakah upacara minum teh di Keraton Yogyakarta atau yang dikenal dengan nama patehan juga memiliki filosofis.
Setiap daerah di Indonesia punya karakter minum teh sendiri-sendiri
Kustamiyati lantas bercerita jika teh yang tersebar di Jawa Tengah dan Yogyakarta merupakan kombinasi dari teh hijau dan melati atau jasmine tea, termasuk teh yang ada di Keraton Yogyakarta. Baik teh yang ada di Keraton Yogyakarta maupun masyarakat di kedua daerah memiliki cita rasa manis atau jadi teh manis karena penggunaan gula.
“Setiap daerah di Indonesia itu punya karakter teh maupun cara minumnya masing masing, karena sifatnya yang fleksibel,” kata Kustamiyati.
Menurut Kustamiyati, awalnya Belanda mendatangkan biji teh dari Jepang. Namun, ternyata biji tersebut tidak tumbuh bisa tumbuh di Nusantara. Pemerintah kolonial Belanda kemudian mendatangkan biji atau bibit teh dari daerah India bagian utara yaitu berjenis Camellia varietas Assamica.
Ternyata varietas ini sangat cocok. Sejak itu, tanaman teh menjadi salah satu primadona ekspor pemerintah kolonial Belanda. “Produksi teh hitam itu kemudian hampir 100 persen di ekspor karena nilainya yang tinggi,” kata Kustamiyati.
Teh hitam adalah daun teh yang pengolahannya melewati proses oksidasi sehingga daun berwarna hitam.
Menurut Kustamiyati, masyarakat biasa saat itu tidak bisa bebas menikmati teh. Kalaupun bisa itu hanya sisa-sisa pengolahan berupa batangnya saja, atau ada juga yang curi-curi daun teh untuk bisa menikmatinya.
Teh rakyat ini menurut Kustamiyati punya cita rasa yang tidak enak. Lantas, orang-orang perantauan dari Tiongkok yang saat itu tinggal di pesisir, terutama daerah pantura mengolah teh ini menjadi nikmat setelah menambahkan bunga melati.
Bagaimana teh manis kemudian tercipta?
Saat itu teh yang masyarakat biasa nikmati juga bukan teh hitam tapi teh hijau. Hal ini karena proses pembuatan teh hijau tidak seribet pembuatan teh hitam. Teh hijau cara pembuatannya lebih sederhana, cukup dengan mengeringkan.
Selain menggalakan perkebunan teh, pemerintah Hindia Belanda saat itu juga menggalakan perkebunan tebu. Lagi-lagi untuk keperluan ekspor. Wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DIY sangat cocok untuk perkebunan tebu sekaligus pabriknya.
Amsterdam 1914 menyatakan bahwa pada tahun tersebut ada 191 pabrik gula yang aktif berproduksi, sedangkan dari peta ‘Kaart der Suikerfabrieken, Spoor en Tramwegen van Java en Madoera, Bijgewerkt tot 1 Juni 1925 juga dari sumber Cartography. Inr. J.H. de Bussy, Amsterdam, menunjukkan di Jawa pada tahun 1925 ada sekitar 200 pabrik gula yang aktif berproduksi.
Di Yogyakarta sendiri, untuk wilayah yang tidak begitu luas, ada sekitar 19 pabrik gula. Pabrik gula pertama di Yogyakarta berdiri tahun 1861.
Banyaknya pabrik gula ini mempengaruhi cita rasa kuliner di kawasan yang ada pabrik gula. Salah satunya adalah minumannya. Meski gula pasir yang berkualitas baik diekspor, masyarakat masih bisa mengakses gula dengan kualitas rendah. Sejak itu, masyarakat mulai terbiasa menikmati sajian teh manis sebagai minuman.
Kebiasaan minum teh manis ini kemudian menyebar di Indonesia, meski masih ada masyarakat yang tidak terbiasa minum teh manis. Sebut saja di Jawa Barat yang masyarakatnya lebih terbiasa dengan teh tawar daripada teh manis.
Bagaimana teh masuk Keraton Yogyakarta?
Menurut Kustamiyati, tradisi minum teh di Keraton Yogyakarta awalnya dari warga di Kampung Patehan yang meramu dan menyeduh teh khas jawa. Melihat antusiasme masyarakat di kampung itu, Keraton Yogyakarta mengapresiasi dengan cara membuatkan dapur khusus yang saat ini dinamakan Gedhong Patehan.
Menurut Kustamiyati, tradisi patehan menunjukkan bagaimana proses dalam membuat teh itu dilakukan dengan hati dan nurani. Tata cara pengolahan dan penyajiannya adalah sebuah ilmu dan seni yang sarat makna. “Teh itu juga bermakna hening, tapi juga berbicara tentang semangat yang membara dan optimisme. Memelihara jiwa dan raga. Lebih dari itu mengonsumsi teh itu wujud syukur kepada Tuhan,” kata Kustamiyati.
Tradisi Patehan di Keraton Yogyakarta ini tersaji dalam Festival Momotaro 2023 yang berlangsung di Pendopo Agung Royal Ambarrukmo (24/12/2023). Kegitan ini diselenggarakan oleh Jaringan Masyarakat Budaya Nusantara (JMBN) berkolaborasi Culpedia Jepang sebagai perayaan 38 tahun persahabatan Yogyakarta Kyoto. Serta peringatan 65 tahun hubungan bilateral Indonesia Jepang dalam bentuk akulturasi budaya tradisional Jawa khususnya Yogyakarta dan Jepang.
Beberapa acara yang berlangsung selain penyajian tradisi patehan di Yogyakarta dan chado dari Jepang yaitu wayang menggunakan bahasa jawa, namun membawakan kisah cerita dari Jepang berjudul Momotaro, dialog budaya, pertunjukan kesenian dan kuliner dari dua negara.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA Kanal Van Der Wijck, Alasan Mengapa Masakan di Yogya Memiliki Rasa Manis
Cek berita dan artikel lainnya di Google News