Masyarakat di Kemantren Wirobrajan, Jogja, memiliki inisiatif unik untuk menekan angka stunting. Inisiatif ini bernama “Segoro Bening”. Berawal dari inisiatif lokal, kini malah jadi percontohan nasional, karena kesuksesannya.
***
Setiap Jumat pagi, derap langkah puluhan relawan dan karyawan Kemantren Wirobrajan memecah keheningan gang-gang sempit di Kota Jogja. Dalam sebuah program yang mereka sebut “Jumat Sedekah,” mereka tidak sekadar berjalan sehat, melainkan mengusung misi mulia: mengantar paket bahan makanan bergizi langsung ke rumah-rumah keluarga yang membutuhkan.
Di balik paket berisi telur, tempe, tahu, dan sayuran itu, tersimpan satu harapan besar: membebaskan generasi mendatang dari ancaman stunting.
Gotong royong ini menjadi pondasi utama keberhasilan mereka menyelesaikan masalah stunting di Kemantren Wirobrajan, Kota Jogja. Sebab, masalah ini memang harus diselesaikan bersama-sama.
Kepala Jawatan Sosial Kemantren Wirobrajan, Agung Nugroho, mengakui bahwa keterbatasan anggaran seringkali menjadi penghambat. Oleh karena itu, gerakan gotong royong ini pun pun menjadi jawaban.
“Dengan melibatkan TNI, Polri, Puskesmas, sekolah, sampai hingga pelaku usaha, Alhamdulillah program yang kami sebut ‘Segoro Bening’ ini bisa berjalan secara konsisten,” kata Agung kepada Mojok, Rabu (13/8/2025).

Segoro Bening: inovasi lokal yang punya dampak nasional
Segoro Bening merupakan kepanjangan dari “Semangat Gotong Royong Bebas dari Stunting. Ia di-launching dua tahun lalu, tepatnya pada 20 September 2023.
Menurut Agung, program ini mengusung konsep “gerakan orang tua asuh” yang menjangkau 60 hingga 80 keluarga berisiko stunting. Dana operasionalnya murni berasal dari swadaya masyarakat, seperti sumbangan dari belasan pelaku usaha, UMKM, hingga donasi sukarela yang dikelola secara transparan.
“Adapun distribusi dilakukan secara rutin setiap hari Jumat, Mas. Makanya kerap disebut dengan gerakan ‘Jumat Sedekah’,” jelasnya.

Paket bantuan yang diberikan berisi protein hewani, seperti telur, tempe, tahu, dan sayuran. Menurut Agung, paket ini dipilih karena sangat efektif untuk meningkatkan berat badan dan gizi balita.
Sementara data penerima bantuan didapatkan dari Puskesmas. Para penerima merupakan para baduta dan balita berisiko (kondisi wasting dan underweight, kenaikan berat badan kurang dari 2 ons setiap bulan) serta para ibu hamil dengan kondisi KEK (Kurang Energi Kronis).

Meluruskan stigma warga Wirobrajan, bahwa stunting bukan aib
Namun, harus diakui, tim di lapangan kerap menghadapi tantangan yang tidak terduga. Agung menyebut, ada banyak keluarga yang keliru memahami stunting. Ia disamakan gizi buruk, sehingga banyak orang merasa malu dan menolak bantuan.
“Banyak yang masih menganggap stunting itu aib. Jadi begitu kami memetakan daftar penerima manfaat dari puskesmas, eh, warga menolak karena malu kalau dianggap gizi buruk,” paparnya.
Alhasil, Agung pun mengubah cara pendekatannya. Ia menerapkan sebuah pendekatan yang disebut “psikososial”. Tim lapangan menggandeng RT, RW, hingga LPMK untuk memastikan bahwa bantuan tidak cuma benar-benar sampai, tapi juga memberi pemahaman mengenai stunting.
“Jadinya di lapangan itu nggak cuma distribusi bantuan, tapi kami juga ajak ngobrol. Kami juga memberi edukasi, hati ke hati. Agar mereka menjadi paham soal stunting dan tak perlu malu lagi menerima bantuan.”

Berkontribusi pada penurunan angka stunting di Jogja
Inovasi dan konsistensi ini membuahkan hasil luar biasa. Angka stunting di Kemantren Wirobrajan turun signifikan dari 11,5 persen pada awal 2023 menjadi 7,8 persen di tahun 2024.
Keberhasilan ini pun mengantarkan Wirobrajan meraih penghargaan sebagai best practice 2023 karena memiliki angka stunting terendah. Selain itu, mereka berhasil menjadi yang pertama dalam penimbangan serentak balita pada Juni 2024 dengan tingkat partisipasi mencapai 98 persen, jauh lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.
“Ini semua buah dari sinergitas. Antarlembaga saling berkontribusi, mulai dari puskesmas, tim lapangan, dan pihak lain di tataran paling kecil masyarakat,” ujarnya.

Kisah sukses ini sejalan dengan progres yang dicatatkan Pemerintah Kota Jogja secara keseluruhan. Menurut Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan Kota Jogja, Iswari Paramita, angka prevalensi stunting di Kota Jogja turun menjadi 14,8 persen pada tahun 2024.
Angka ini turun dua poin dari tahun sebelumnya dan menempatkan kota ini sebagai wilayah dengan angka stunting terendah di DIY. Jauh di bawah rata-rata provinsi yang sebesar 17,1 persen.
Namun, Mita mengakui memang ada kesenjangan antar kelurahan. Misalnya, angka stunting di Kelurahan Gedongkiwo turun hingga di bawah 10 persen, sementara beberapa kelurahan lainnya masih menghadapi tantangan lebih berat.
“Itu yang kini menjadi PR bersama, bagaimana agar ke depan semua kalurahan merata angka penurunan stuntingnya,” jelas Mita, saat dihubungi Mojok, Jumat (15/8/2025).
Kendati demikian, angka tersebut sudah melampaui target penurunan stunting di Kota Jogja. Bagi Mita, kunci dari kesuksesan ini tak lain dan tak bukan karena keterlibatan multisektor.
“Pembagian tugas penanganan antara Pemkot, dinas, dan stakeholder yang terkait, membuat percepatan penurunan stunting di Jogja dapat dilakukan dengan efektif. Wirobrajan itu salah satu bukti nyata,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Mita menjelaskan bahwa keberhasilan Kemantren Wirobrajan— yang kini program Segoro Bening bakal direplikasi oleh beberapa kabupaten lain seperti Paser, Cirebon, dan Semarang—membuktikan satu hal: “stunting bukanlah masalah yang sulit diselesaikan, asalkan ditangani bersama-sama.”
Harapan yang tumbuh dari dapur warga Wirobrajan
Bagi Siti (32), seorang ibu rumah tangga di Wirobrajan, kehadiran tim relawan di depan pintu rumahnya adalah sebuah titik balik. Dia mengaku kalau awalnya merasa malu dan takut dicap sebagai keluarga “melahirkan anak dengan gizi buruk”.

Namun, pendekatan hangat para relawan dan obrolan tentang pentingnya gizi mengubah segalanya.
“Mereka datang bukan cuma kasih bantuan, mereka juga ajak ngobrol. Saya jadi paham stunting itu bukan aib, tapi masalah yang bisa diselesaikan,” katanya, Senin (18/8/2025), sambil tersenyum.
Sejak saat itu, setiap Jumat pagi menjadi hari yang dinantikan. Paket berisi telur, tempe, tahu, dan sayuran bukan lagi sekadar bantuan, melainkan simbol kepedulian yang nyata.
Siti kini bisa memasak makanan bergizi seimbang untuk anaknya tanpa harus pusing memikirkan biaya. Ia juga aktif mengajak tetangganya untuk mengikuti program posyandu.
“Sekarang saya punya harapan,” tuturnya. “Melihat anak saya semakin berat badannya naik, saya yakin dia akan tumbuh jadi anak sehat.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Lansia di Kota Jogja Butuh Berkegiatan untuk Tetap Bugar dan Produktif, Sekolah Lansia Menjadi Jawabannya atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.















