Jadi sarjana pengangguran, bapak minta “ganti rugi”
Jaza lulus pada 2023 lalu. Setelah menjadi sarjana, hari-harinya malah semakin berat karena terus tersudut oleh sang bapak.
Jaza sempat ikut CASN pada 2024. Sayangnya dia tidak lolos sehingga masih harus menganggur. Di saat bersamaa bapaknya terus-menerus menyudutkan, “Lulusan unversitas nganggur. Susah cari kerja. Cuma buang-buang uang.”
“Ternyata nggak semudah bayanganku, kalau jurusan politik, nanti lulus akan mudah cari pekerjaan yang berhubungan dengan politik,” ungkap Jaza. “Teman organisasiku ada yang berkiprah di partai. Ikut nempel politisi. Tapi aku minta dibukakan jalan dia nggak bisa.”
Maka, Jaza sempat mencoba mencari-cari pekerjaan formal lain. Paling tidak jika dia sudah bekerja, bapaknya tidak akan terus-menerus menyudutkan.
Tapi nyatanya juga tidak mudah. Sebab, rata-rata lowongan kerja formal hanya membuka untuk jurusan ekonomi atau akuntansi, teknik, atau desain. Bidang yang tidak begitu Jaza dalami.
Di titik itu, Jaza berpikir untuk menjadi dosen. Tapi untuk itu, dia harus menempuh Magister terlebih dulu. Dia sempat mengutarakan niatnya tersebut pada sang ibu. Lalu ketika sang ibu mencoba membicarakan kepada bapak Jaza, respons yang keluar dari sang bapak justru kalimat-kalimat menyakitkan.
“S1 saja sudah banyak buang uang tapi susah juga cari kerja, masih mau S2? Kalau cuma nganggur terus, kapan kamu bisa gantian memberi uang ke bapak? Uang bapak sudah terkuras untuk kuliah itu, rugi, investasi bodong,” begitu ucapan sang bapak yang membuat Jaza tercenung, sementara ibunya hanya bisa menangis sesenggukan.
Mencari cara ganti rugi, tapi masih buntu
Jaza menangkap ucapan sang bapak sebagai tuntutan ganti rugi. Karena rasa-rasanya sang bapak menganggap membiayai kuliah Jaza adalah bentuk investasi, sehingga harus ada timbal balik yang lebih besar.
Kini Jaza bekerja di Surabaya, sebagai pekerja swasta. Hanya saja, gajinya tidak menyentuh UMR.
“Positip masih disinggung. Karena gaji kecil nggak mungkin bisa ngasih balik ke orangtua di rumah. Hanya bisa untuk diri sendiri,” katanya.
Jaza sempat tergiur dengan kabar-kabar kalau omzet warung Madura bisa puluhan juta perbulan. Bahkan, penjaga warung bisa menerima gaji jutaan perhari. Dia ingin bekerja sebagai penjaga warung Madura.
Persoalannya, rata-rata warung Madura—sejauh penemuannya—mempekerjakan keluarga atau orang terdekat. Sedangkan jaza tidak punya keluarga atau orang dekat yang menggeluti bisnis tersebut.
“Tapi aku ada paman yang sukses di Jakarta menurut ukuran orang desaku, bisnis jual beli barang bekas. Pilihan terakhir mungkin aku bakal minta bantuan ke sana, walaupun masih buntu juga mau seperti apa nanti. Sambil terus cari-cari peluang, siapa tahu ijazah ilmu politikku bisa mengubah hidupku,” tutup Jaza.
Adakah solusi konkret untuk lulusan universitas yang susah cari kerja?
Menaker Yassierli menyebut, pemerintah saat ini sedang berupaya mengatasi pengangguran di Indonesia yang jumlahnya totalnya di angka 7,28 juta.
“Sudah jelas bahwa pemerintah, Pak Presiden, memiliki program prioritas yang menghabiskan sekian ratus triliun. Kita masih banyak wait and see,” ujar Yassierli di hari yang sama dengan Kajian Tengah Tahun INDEF 2025.
Salah satu program yang Yassierli maksud adalah Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih yang ditargetkan beroperasi pada 2025 ini.
Menurut Yassierli, program tersebut bisa jadi salah satu solusi menciptakan lapangan kerja baru untuk mengurangi pengangguran.
“Kalau seandainya pengelola, karena koperasi itu nanti ada pengelola, ada pekerja, 25 orang saja dikali 80.000 itu sudah 2,5 juta, 2 juta sekian (lapangan kerja terbentuk),” sambungnya.
Belum program-program lain yang sedang pemerintah siapkan.
Lulusan universitas pilih-pilih kerja dan gaji?
Di lain sisi, sebagaimana mengutip Kompas, Wakil Kementerian Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer menyebut, minimnya lapangan kerja tidak menjadi faktor tunggal dari maraknya sarjana menganggur.
Dia menilai, kerap kali lulusan universitas pilih-pilih gaji dan perusahaan yang diincar. Bahkan, ada juga sarjana yang tidak memiliki kompetensi sesuai kebutuhan industri. Alhasil, banyak sarjana berakhir menjadi pengangguran.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Tinggalkan Skripsi demi Jadi Penjaga Warung Madura, Cuannya bikin Gelar Sarjana Terasa Tak Guna atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












