Susah cari kerja di Kebayoran Baru, dua bulan luntang-lantung
Ternyata kesusahan yang dialami temannya di Kebayoran Baru, juga ia rasakan. Pasalnya, puluhan lamaran pekerjaan yang ia apply sejak beberapa minggu sebelum merantau ke Jakarta, belum ada jawaban.
Ia pun terpaksa mencari pekerjaan secara “manual”. Ade bercerita, sebetulnya ada untungnya punya kepribadian ekstrovert. Sebab, dirinya mudah bergaul dengan lingkungannya, termasuk dalam hal tanya-tanya soal lowongan pekerjaan.
Namun, seakrab-akrabnya dia dengan para pekerja di lingkungan itu, kalau memang nggak ada lowongan kerja ya sama saja. Kalau dia tak salah menghitung, lebih dari dua bulan ia menganggur. Ia bertahan hidup dari uang transferan orang tua.
“Untungnya kos bisa bayar sekamar berdua, jadi rada ringan. Ya meskipun sangat sempit dan jauh dari kata nyaman, tapi mau gimana lagi ya,” kata perantau ini.
Selama tinggal di kos sempit Kebayoran Baru, siklus hidupnya cuma berulang. Tidur, makan, nongkrong bareng tetangga, dan begitu saja seterusnya.
Jujur, ia sangat malu. Malu kepada orang tua yang masih sering memberinya uang saku. Malu juga ke temannya, karena selain numpang, Ade juga beberapa kali meminjam uang untuk makan.
Sarjana merantau ke Jakarta, berakhir jadi tukang parkir liar Blok M
Karena tak juga dapat pekerjaan selama tinggal di Kebayoran Baru, Ade nyaris frustrasi. Mau pulang kampung malu, kembali ke Jogja pun cuma bakal mengulang kisah yang sama, pikirnya.
Apalagi, saat itu menjelang lebaran. Sangat tidak mungkin baginya pulang dengan tangan kosong. Mau ditaruh di mana mukanya: sarjana, merantau ke Jakarta, tapi mudik tak bawa apa-apa.
Untungnya, menjelang bulan puasa lalu, salah seorang akamsi menawarinya kerja sebagai tukang parkir sebuah kios di Blok M. Sudah jelas itu parkir ilegal, yang selama ini diresahkan para pengunjung.
“Awalnya ragu. Takut dilaporin aparat lah, takut diapa-apain preman lah. Tapi untungnya akamsi yang nawarin aku udah jamin, kalau aku bakal aman. Katanya udah diatur gitu.”
Alhasil, selama bulan puasa Ade kerja sebagai tukang parkir di Blok M. Ia bagi hasil 70-30 dengan akamsi yang memberinya kerja.
“Kerja semaunya aja sih, kadang siang sampai malam. Kadang juga pagi sampai malam. Nggak tentu,” ujarnya. “Hasilnya ya lumayan. Sehari 200 bisa, tapi itu kadang yang 50 atau 100 gitu ke abangnya (akamsi).”
Di satu sisi, Ade mengaku beruntung karena pekerjaan tukang parkir ilegal dapat menyelamatkannya di perantauan. Setidaknya, bisa memberinya “uang saku” untuk mudik lebaran. Tapi di sisi lain, ini juga menyadarkannya kalau Jakarta Selatan–khususnya Kebayoran Baru–nggak selalu ramah bagi semua perantau.
“Aku jadi bayangin, kalau yang sarjana saja susah dapat kerja, bagaimana yang maaf cuma lulusan SMA ya,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Ironi di Balik Perkantoran Mewah Slipi Jakarta Barat: Ijazah S2 Dianggap Tak Berguna, Pekerjanya Sengsara atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.











