Pemerintah perlu menerapkan rumus 3S-4J-4H kalau mau petani di Indonesia maju dan mentas dari kemiskinan. Apa maksud dari rumus ini?
***
Banyak petani di Indonesia hidup di bawah bayang-bayang kemiskinan. Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) 2023, terdapat 25,9 juta penduduk miskin di negara ini.
Dari jumlah itu, 40 persen alias 10,34 juta jiwa merupakan anggota rumah tangga pertanian (RTP). Sementara 3,6 juta lainnya adalah buruh tani.
Temuan tak jauh berbeda juga dipaparkan oleh Survei Terpadu Pertanian 2021. Dalam survei tersebut, ditemukan bahwa kesejahteraan petani Indonesia masih di bawah rata-rata. Dikatakan, pendapatan para petani ini masih kurang Rp15.207 per hari atau di bawah Rp5 juta dalam setahun.
Padahal, sebagai negara agraris, petani adalah aktor sentral dalam menjamin pasokan bahan makanan pokok. Banyak penelitian menyebut, saat petani mengalami kemacetan dalam memasok bahan pokok karena suatu alasan–misalnya gagal panen–sektor lain bakal terkena impaknya.
Paling kentara, sih, adalah kenaikan harga sembako di mana-mana.
Sialnya, negara malah mengabaikan nasib para petani sehingga mereka berakhir dalam jurang kemelaratan.
Sejarah bicara, kaum tani memang selalu diinjak-injak
Narasi petani adalah kaum yang terabaikan bukan cerita baru di republik ini. Dalam konteks kolonialisme, misalnya, menempatkan kaum tani dalam kelas bawah sistem masyarakat.
Setelah penjajah di tendang jauh dari Indonesia, ternyata nasib petani tak membaik. Ia masih diinjak-injak dan selalu diposisikan pada urutan terbawah dalam piramida strata sosial.
Barisan Tani Indonesia (BTI), menyadari betul persoalan itu. Sebagai organisasi underbow Partai Komunis Indonesia (PKI), mereka merasa bahwa dalam konteks Indonesia, petani ini seharusnya ada di front paling depan dalam revolusi proletariat.
Sederhananya, kalau di Moskow kaum buruh adalah imamnya. Di Indonesia, para petani-lah yang harus pegang kendali. Alasannya sederhana: Indonesia adalah negara agraris, dan petani jumlahnya banyak.
Sayangnya, BTI juga sadar betapa rendahnya tingkat pendidikan masyarakat pedesaan, khususnya kaum tani. Banyak di antara mereka bahkan masih buta huruf. Inilah yang pernah dikeluhkan oleh Asmoe Tjiptodarsono, Ketua BTI pada masanya, dalam sebuah pidato di Kongres Nasional ke-VII PKI 1963.
“Kebanyakan anggota BTI dan petani masih buta huruf dan tingkat kebudayaan mereka secara umum masih terbelakang. Karenanya, mereka tidak sadar betapa pentingnya membaca publikasi organisasi dan mendengarkan pengajaran-pengajaran yang dilakukan oleh BTI,” ujarnya, seperti dikutip Mojok dari laman marxist.org.
Sementara di saat yang sama, kata Asmoe, kelompok yang punya privilese untuk mengakses pendidikan malah kelas-kelas sosial yang diuntungkan dari struktur agraria yang timpang.
Oleh karenanya, BTI memberi perhatian besar bagi pendidikan kaum tani dan keluarganya, terutama karena hal ini berkaitan langsung dengan kualitas organisasi.
Turba bersama petani
Dalam komunisme, seperti yang pernah dijelaskan pada bait sebelumnya, kelas pekerja adalah imamnya. Namun, dalam konteks Indonesia, petani juga sama pentingnya. Maka, PKI memaklumatkan bahwa dalam semua bidang kegiatan organisasi, baik itu berpolitik, pendidikan, kebudayaan, dan sebagainya, kaum tani harus dilibatkan.
Itulah mengapa dalam konsep 1-5-1 yang dirumuskan Lekra, angka “1” yang terakhir merujuk pada metode turun ke bawah alias turba. Melalui Turba, semua anggota PKI harus bergabung dengan masyarakat kelas terbawah, yakni petani dan nelayan.
Dalam Jasmerah episode “Asmoe: Sumbangsih BTI dan PKI dalam Membangun Dunia Tani” yang tayang di channel Youtube Mojokdotco, Muhidin M. Dahlan mencontohkannya melalui kesaksian Joko Pekik dan Amrus Natalsya, eks perupa Lekra.
Diceritakan, sebelum melukis para perupa ini harus turba dulu ke sebuah desa di Kulonprogo. Mereka hidup berdampingan bersama petani, mendengarkan keluh-kesah dan problem yang mereka alami. Sampai akhirnya lahirlah sebuah lukisan kondang Joko Pekik berjudul “Tuan Tanah Kawin Muda” yang memotret kehidupan sosial masyarakat di desa tersebut.
Hal yang sama juga berlaku untuk para sastrawan ataupun jurnalis Lekra lain. Maka tak heran, karya-karya mereka sangat dekat dengan rakyat karena proses penciptaannya sendiri melalui metode turba.
Menurut Muhidin, ini juga menambah soliditas para petani. Sebab, jika ada seorang petani yang mengalami kriminalisasi oleh aktor negara dan tuan tanah, maka BTI, Lekra, dan anggota PKI lain siap pasang badan.
Rumus “3S-4J-4H”
Karena petani merupakan kelas utama, maka ada etika khusus yang harus dipegang oleh orang-orang untuk bisa hidup bersama kaum tani. Etika ini harus dilakukan oleh siapa saja tanpa terkecuali, termasuk anggota Politbiro PKI, organisasi underbow, sampai mahasiswa yang tergabung dalam Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI).
Etika atau rumus ini adalah “3S-4J-4H”. Ini merupakan kepanjangan dari “tiga sama”, “empat jangan”, “empat harus”.
Muhidin menjelaskan, tiga sama yang dimaksud adalah “sama-sama kerja”, “sama-sama makan”, dan “sama-sama tidur”. Adapun empat jangan meliputi “jangan tidur di rumah kaum penghisap di desa”, “jangan menggurui kaum tani”, “jangan merugikan tuan rumah dan kaum tani”, “jangan mencatat di hadapan kaum tani”.
Sementara empat harus antara lain “harus melaksanakan tiga sama”, “harus rendah hati, sopan santun, dan suka belajar dari kaum tani”, “harus tahu bahasa dan mengenal adat istiadat setempat”, “harus membantu memecahkan kesulitan kaum tani”.
“Tiga etika alias SOP itu mengikat siapapun sebagai pemuliaan petani demi soko guru revolusi–revolusi dari atas,” kata Muhidin.
Petani harus dibekali ilmu
Selain wajib menjalankan rumus 3S-4J-4H tadi, BTI juga menegaskan bahwa petani harus dibekali ilmu. Tujuannya agar mereka bisa berada dalam satu barisan yang rapi dalam menyelesaikan masalah.
Oleh karenanya BTI pun mencanangkan berbagai program untuk petani. Misalnya, yang pertama, mereka menjalankan program pemberantasan buta huruf melalui Sekolah Dasar Sederhana (SDS) yang bekerjasama dengan Universitas Rakjat (Unra). Pendidikannya biasanya berlangsung dua bulan saat musim panen.
Kedua, selain sekolah bagi petani, BTI juga merintis Institut Pertanian Egom (IPE). Tugas utamanya, selain sebagai institusi pendidikan pertanian, IPE juga melakukan penelitian-penelitian agraria.
Ketiga, mengirim analis kelas ke desa-desa. Keempat, mempromosikan koperasi sebagai Ekonomi Bersama Kaum Tani. Dalam buku Indonesian Communism, DN Aidit pernah menyebut kalau “adanya koperasi diharapkan petani miskin mempunyai bantalan yang melindungi dari tekanan ekonomi.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Menjadi Petani di Klaten hingga Temukan Padi dan Tembakau Premium, Bikin Doktor Pertanian Belanda Terkagum-kagum atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.