Tak bisa ngikuti gaya hidup anak orang kaya Surabaya
Cerita lain dituturkan oleh Syarif (26), alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA).
Awalnya, Syarif pergi-pulang (pp) dari rumahnya di Benowo ke kampus selama satu semester di semester awal masa kuliahnya.
Namun, lama-lama terasa berat juga karena jaraknya terbilang jauh. Sementara jadwal kuliahnya mulai padat.
“Paling berat ya pagi pas mau berangkat, karena bareng sama orang-orang kerja dan waktu pulang (sore). Apalagi lalu lintas di Benowo semrawut, jalan sempit,” ungkapnya saat saya ajak berbincang lewat WA.
Syarif lalu memutuskan untuk ngekos di semester kedua bersama temannya. Sayangnya, memang tidak terlalu lama karena ia merasa tekor jika harus ngekos dengan orang kaya Surabaya.
“Rumahnya di Surabaya Barat. Milih ngekos ya karena pengin bebas dan banyak duit mungkin,” ujarnya.
Syarif bercerita, temannya yang orang kaya Surabaya itu memiliki gaya hidup yang luar biasa hedon untuk ukuran mahasiswa UIN sepertinya.
“Paling sering misalnya ngajak ngopi atau makan di tempat mahal. Aku nggak enakan. Tiap diajak, aku nggak bisa nolak. Dan itu membuatku nggak bisa berhemat,” tutur Syarif.
“Aku mau ngekos barengan karena waktu itu kami akrab banget. Kenal sejak awal kuliah,” imbuhnya.
Namun, karena tak kuat mengikuti gaya hidup orang kaya Surabaya itu, Syarif memilih hengkang di bulan ketiga masa ngekosnya. Ia memilih bersama temannya yang lain, yang sama-sama mendang-mending.
Syarif sendiri sebenarnya sering memberi opsi untuk nongkrong atau makan di warung-warung biasa tiap kali temannya itu ngajak keluar. Tapi, jawaban “Ah, kurang selerea” adalah yang paling sering Syarif terima.
“Berat. Wong bakso di gerobak pinggiran aja nggak doyan,” gerutu Syarif.
Orang kaya cenderung tak mau susah dan mageran?
Saat menelusuri Quora, banyak yang menyebut, ngekos bareng anak orang kaya jadi menyebalkan dan ribet karena si anak orang kaya itu terkesan pemalas, mageran, hingga tak mau susah.
Misalnya yang paling umum adalah malas gantian bersihin kamar. Pokoknya mager kalau yang berhubungan dengan kerja-kerja sosial.
Sepengalaman saya pribadi ngekos dengan anak dokter, justru si anak dokter tersebut terkesan perfeksionis. Jadi malah nggak ada malas-malasnya. Cuma ribet kalau urusan pribadi saya harus ia campuri dengan standar perfeknya tersebut.
Sementara kalau Syarif, dari pengalamannya, temannya cenderung mood-moodan. Kadang mau kerja sama untuk bersih-bersih kos, tapi tak jarang juga muncul sifat magernya.
“Kayaknya kalau malesan itu nggak pandang miskin atau kaya deh. Kalau tabiatnya males ya males aja,” ujar Syarif.
“Kalau ribet sih iya. Kita ribet nggak bisa ngimbangin,” tutupnya.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel lainnya di Google News