Beberapa orang merasa tertinggal ketika teman-teman seusia sudah menikah. Namun, ada juga orang yang dengan mantap memilih untuk tidak mencecap jenjang pernikahan dalam hidupnya. Keputusan itu diambil dengan banyak pertimbangan, salah satunya karena keinginan untuk fokus membahagiakan orang tua.
Tak menikah karena takut tak bisa berbagi rezeki dengan orang tua
“Kalau belum bisa membahagiakan orang tua (sendiri), jangan coba-coba membahagiakan anak orang tua lain,” begitu kira-kira quotes dari Fajar Sadboy.
Terdengar guyonan dan belibet. Apalagi dilontarkan di sebuah podcast komedi. Tapi kira-kira maksudnya adalah: Masa sampai hati mau membahagiakan anak orang lain, sementara orang tua sendiri saja belum dibahagiakan?
Damn! Maksud itu lah yang ditangkap oleh Izzam (25) dan mendasari kemantapan hatinya untuk tidak menikah seumur hidup.
Teman-teman seusia Izzam memang sudah banyak yang melangsungkan pernikahan. Beberapa bahkan sudah memiliki momongan. Akan tetapi, tak terbersit perasaan tertinggal atau iri untuk lekas menyusul. Kendati teman, saudara, bahkan orang tuanya kerap menggojloknya untuk lekas menikah.
“Gajiku kecil. Cukup untuk aku sendiri. Jadi aku bisa menyisakan sedikit untuk kukirim buat tambahan ibu di rumah,” ungkap pemuda asal Jawa Timur tersebut, Sabtu (13/12/2025).
“Bapakku sudah makin menua. Karja swasta. Tinggal menunggu waktu beliau nggak kerja lagi. Ibuku ibu rumah tangga, sementara adikku masih SMA,” sambungnya.
Sebagai anak pertama, ia merasa harus mengambil tanggung jawab untuk membantu ekonomi keluarga. Jika ia menikah, ia tak yakin—sekali pun pindah pekerjaan—gajinya akan cukup untuk mencukupi ia dan istrinya, lalu dibagi untuk orang tua.
“Ibu selalu bilang, kalau aku sudah nikah, tanggung jawab nafkahku ya kepada anak-istri. Ibu dan bapak nanti masih bisa cari-cari makan sekadarnya. Tapi, aku berpikir, kok tega betul aku sibuk menghidupi orang lain ketimbang orang tuaku sendiri. Bagaimana pun, istri atau pasangan hidup kita pada mulanya adalah orang asing, orang lain di luar darah keluarga,” kata Izzam.
Takut pernikahan mendistraksi banyak hal
Izzam berkaca dari kasus beberapa temannya sendiri. Kata Izzam, tidak sedikit dari mereka agak menyesali pernikahan masing-masing. Apalagi nikah di usia muda.
Sebab, belum sempat sedikit membalas jasa orang tua, malah harus jur-juran untuk pasangan. Misalnya, belum pernah membelikan emas sebagai hadiah pada ibu, eh malah harus membelikan emas/perhiasan untuk istri.
Contoh lagi, belum sempat ajak orang tua jalan-jalan ke tempat-tempat yang belum mereka kunjungi, atau makan di restoran yang belum mereka cicipi, malah seringnya uang habis buat ajak senang-senang istri.
“Lah kan bisa diajak bareng (istri dan orang tua)? Masalahnya, gaji nggak cukup,” kata Izzam. Belum lagi masih harus menyediakan uang untuk keperluan anak kalau sudah punya anak.
Kalau toh tidak mengungkapkan penyesalan, Izzam melihat beberapa temannya tampak amat kepayahan. Anak-istri mendistraksi banyak hal yang berkaitan dengan relasi antara si teman dengan orang tuanya sendiri.
“Kasusnya, misalnya rumah beda kota, si teman (suami) ikut di kota istri. Kalau teman mau ke kota orang tua untuk sekadar menengok, itu juga banyak hambatannya. Entah nunggu anak liburan sekolah, nunggu istri libur kerja, ngitung ongkus dulu,” papar Izzam.
Itu pun kalau sudah di rumah orang tua, si istri belum tentu betah berlama-lama. Baru dua hari sudah ngajak balik. Sementara rindu si teman dengan orang tuanya belum tuntas.
Izzam tak mau begitu. Ia ingin bisa leluasa—baik dari sisi keuangan maupun waktu—untuk ia dedikasikan penuh kepada orang tuanya. Tanpa distraksi. Oleh karena itu, ia membulatkan niat untuk tidak menikah seumur hidup. Tak itu membuatnya lebih lega karena merasa tak hidup dengan beban tanggung jawab pada anak-istri, sehingga bisa fokus ke orang tuanya.
Tak berani menikah, takut hidup susah
Dalam doktrin spiritual, ada ungkapan: “Menikah akan membuka pintu rezeki” hingga “Kalu punya anak, nanti pasti ada saja rezeki yang datang tak terduga.”
Hamia (28) bukannya tidak beriman. Toh ia juga masih rajin sembahyang. Namun, perempuan yang juga asal Jawa Timur itu mencoba melihat dunia dari sisi yang lebih realistis.
Hamia hidup di lingkungan yang membuatnya melek: Betapa banyak manusia-manusia yang bernasib tak beruntung. Menikah, punya anak lebih dari satu, tapi hidup makin susah saja dari hari ke hari.
“Kalau sekarang aku kerja (karyawan swasta), gaji berapa pun kalau buat aku sendiri, masih bisa. Ya kalau aku hidup susah kan kutanggung sendiri. Tapi beda halnya kalau pernikahan sudah terjadi,” ucap Hamia.
Jika menikah, lanjut Hamia, ia bisa jadi akan melibatkan beberapa orang dalam kesusahan. Suami harus kerja lebih keras untuk mengatasi situasi. Sedangkan anak akan terdampak dan mengalami bagian-bagian hidup yang tidak enak.
“Aku paling nggak tega kalau sama anak kecil. Aku lihat tetangga-tetanggaku gitu mikir, seandainya mereka tahu kapasitas diri mereka, mungkin akan nunda dulu punya anak. Mereka ekonominya susah, alhasil anak harus hidup dalam situasi serba kurang. Nggak adil saja bagi si anak,” ucap Hamia.
Di tengah kondisi Indonesia yang kian memburuk dari hari ke hari, bagi Hamia, tak adil saja rasanya menambah satu manusia lagi untuk turut menderita.
Ada banyak kesenangan diri yang mesti diwujudkan
Saat mengungkapkan isi kepalanya ini, banyak orang menganggap Hamia terlalu egois. Tapi isi kepalanya ini baginya adalah bagian dari haknya sendiri.
Hamia mengaku masih punya banyak kesenangan yang ingin ia wujudkan. Ia masih ingin beli ini, beli itu. Masih ingin pergi ke sana, pergi ke situ. Dan lain-lain.
“Itu nggak akan terwujud kalau uang harus kubagi buat beli popok dan susu anak misalnya. Atau membagi waktu buat ngurus anak dan suami. Ya memang bisa ke mana-mana bareng mereka, tapi yang kumaksud adalah ruang untukku sendiri,” kata Hamia.
Di antara kesenangan lain yang ingin Hamia wujudkan adalah keleluasaannya untuk merawat orang tuanya yang menua seiring waktu. Ia hanya ingin fokus membagi apa yang ia hasilkan dari bekerja untuk orang tuanya.
Rasanya jauh lebih melegakan batin, karena sedikit bisa membalas upaya mereka merawat Haima sejak kecil. Ketimbang membaginya dengan orang (pasangan) yang baru ia kenal beberapa waktu.
“Pernikahan juga butuh modal. Buat sewa ini, order itu, macem-macem. Mending uangnya kutabung buat membangun bisnis yang bisa sustain. Hasilnya bisa buat orang tua meniti masa tua mereka. Misalnya seperti itu. Buat daftarkan mereka haji juga bisa,” tutup Hamia. Itu sungguh membuatnya merasa lebih berguna sebagai manusia. Seperti tak sia-sia dilahirkan dan dibesarkan dengan penuh perjuangan.
Tak selaras dengan opsi agama?
Sejumlah pendapat dalam doktrin Islam menyebut, sedianya tidak ada tawar-menawar seperti: Boleh kah tidak menikah karena fokus untuk merawat orang tua? Toh menikah adalah sunnah.
Salah satunya adalah pendapat Buya Yahya. Dalam sebuah kajian, Buya Yahya menyebut, untuk dua hal yang bersifat ibadah itu, ada opsi tengah: Berjalan seiring.
Dengan begitu, seseorang tetap bisa menikah, tapi juga masih bisa merawat orang tua. Nilai ibadahnya malah dobel.
Buya Yahya khawatir, jika tidak menikah, seseorang nanti terjerumus dalam godaan setan untuk mendekat pada prkatik perzinahan. Mengingat, syahwat adalah bagian dari fitrah manusia.
“Di sini, harus cari pasangan yang sejak awal dipastikan menerima kondisi. Katakan saja, aku masih merawat orang tua, apakah masih tetap mau menikah? Kalau mau, ya sudah menikah. Kalau tidak bersedia, cari pasangan lain,” kata Buya Yahya. Intinya, tetaplah menikah, tapi tanpa meninggalkan sama sekali upaya untuk merawat orang tua.
Izzam dan Hamia bukannya tak membaca atau mendengar dalil-dalil serupa: Anjuran untuk tetap menikah. Sebab, pernikahan itu memberikan kebahagiaan dan kelengkapan hidup. Selain itu, rezeki orang menikah itu sudah disediakan oleh Tuhan YME sehingga tidak ada alasan untuk overthinking.
Tapi, lagi-lagi, berkaca dari kasus-kasus di sekitar mereka, Izzam dan Hamia kelewat tak berani mengambil risiko. Mereka merasa tetap bisa bahagia walau tidak memiliki pasangan hidup (suami/istri). Mereka juga yakin, meski tidak menikah, tapi dengan niat tulus untuk merawat orang tua, rezeki Tuhan juga akan tetap tercurah.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Pengakuan Pasangan yang Nekat Menikah Meski Weton Tak Cocok, Rumah Tangga Aman dan Baik-baik Saja Tuh! atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












