Bagi beberapa orang, terutama yang berkantong tebal, Indomaret barang kali adalah sesuatu yang biasa saja. Belanja di sana tidak ada bedanya dengan belanja di warung Madura.
Akan tetapi, ada sebagian orang yang menganggap Indomaret sebagai sesuatu yang mewah dan identik dengan orang berduit. Sehingga, ketika pertama kali masuk untuk belanja di sana, memberi kesan yang berbeda di hati.
25 tahun tidak pernah masuk Indomaret
Fida (25) bukannya tidak tahu kalau di dunia ada minimarket bernama “Indomaret”. Kendati tinggal di pelosok Kulon Progo, Jogja, Lida tahulah keberadaan waralaba itu—karena memang sudah tersebar di banyak titik.
Namun, Fida tidak seberuntung banyak orang lain. Seumur-umur, dia hanya bisa menatap Indomaret dari luar, tidak pernah masuk ke dalamnya. Mall apalagi, malah sangat jauh dari jangkauannya.
Seumur-umur, keluarganya yang berlatar belakang petani lebih terbiasa membeli di warung-warung kelontong kecil. Tentu saja karena lebih murah.
“Aku baru tahu rasanya Indomaret sejak menikah. Itu ya 2023 lalu. Di Sleman,” ungkapnya, Minggu (29/6/2025).
Menahan ngiler di Indomaret (1)
Fida sebenarnya dinikahi tetangganya sendiri. Teman masa kecilnya.
Suami Fida mungkin lebih beruntung dari Fida. Sebab, sudah lebih dulu keluar dari plosok Kulon Progo untuk bekerja di tengah gemerlap Sleman.
“Di kos kan sering saling sapa dengan penghuni lain. Sering kalau aku nyapa ke yang cewek-cewek mau ke mana atau dari mana? Jawabnya: baru dari Indomaret, ambil uang atau beli apa. Kayak Indomaret ini sesuatu yang biasa,” katanya.
Hingga suatu kali, Fida—dengan agak takut-takut—minta diajak sang suami sesekali ke Indomaret. Misalnya untuk sekadar beli beras atau keperluan dapur lain. Tidak usah jajan-jajan. Karena Fida sendiri menyadari, gaji suaminya tidak ada lebihan jika digunakan untuk jajan-jajan.
Permintaan (sederhana) Fida itu ternyata dituruti sang suami. Sungguh, Fida membonceng dengan perasaan bungah luar biasa.
“Kami memang ewet-ewet (menghemat betul) kalau soal pengeluaran. Jadi nggak belanja apa-apa. Suami cuma membelikan Teh Kotak yang rasa-rasa. Itu kan murah. Sama wafer Tango,” beber Fida.
Menahan ngiler (2)
Sisanya, Fida hanya bisa menahan ngiler. Karena ada banyak camilan dan minuman yang menggoda. Termasuk yang selama ini iklannya hanya bisa dia lihat di televisi atau berseliweran di media sosial. Terutama saat melihat deretan es krim berbagai varian.
Sayangnya, Fida hanya bisa menatapnya saja. Tidak bisa membeli dan menikmati sensasi es krim yang lumer di lidah.
Hingga saat inipun, Fida mengaku sangat jarang ke Indomaret. Tergantung suaminya. Apalagi Fida tidak punya penghasilan sendiri.
Makanya dia heran, kok bisa ya tetangga-tetangga kosnya bisa sesering itu ke Indomaret? Bahkan untuk jajan-jajan yang tidak murah-murahan.
Salting dengan sambutan, “Selamat datang, selamat belanja”
Syarof (25) pun demikian. Pemuda asal Rembang, Jawa Tengah, itu mengaku pertama kali masuk ke Indomaret saat dia duduk di bangku SMA.
“SD-SMP dekat rumah. Jadi masih jauh dari gemerlap. Pas SMA kan agak ke kota, dari situ mulai kenal nongkrong di Indomaret,” kata Syarof.
Awal mula dia ke Indomaret waktu itu karena beberapa teman sekelasnya mengajak bareng-bareng nongkrong di sana. Untuk sekadar rokok-rokok dan membeli minuman kaleng. Syarof ikut saja, dan itu menjadi pengalaman pertama kalinya karena sejak kecil tidak pernah bersentuhan dengan waralaba bermaskot Domar itu.
Walaupun saat itu Syarof juga awalnya heran, “Edan, bocah SMA jajannya di Indomaret. Duitnya banyak sekali.”
“Bisa-bisanya waktu masuk aku kaget dan salah tingkah, pas para pegawai pada bilang, ‘Selamat datang di Indomaret, selamat belanja’. Kupikir harus dijawab, ya kujawab, ‘Iya, Mbak’. Ternyata temen-temen cuek aja, aku malah jadi malu sendiri,” ucap Syarof disertai tawa.
Begitu pula waktu membayar. Ketika si kasir bertanya, “Ada membernya, Kak?”, Syarof langsung gelagapan. Dia tidak tahu apa itu member. Sampai dia melirik teman yang antre di belakangnya.
“Eh nggak punya, Mbak,” jawab Syarof usai diberi kode geleng-geleng kepala oleh temannya.
Membayar lunas ketidakberuntungan masa kecil
Sebelumnya, Syarof pernah berbagi cerita kepada Mojok lewat tulisan, “Jajanan di Indomaret yang Tak Terbayangkan Bisa Membelinya karena Terlalu Identik dengan Orang Kaya”.
Syarof menambahi cerita itu, bahwa kendati akhirnya sering nongkrong di Indomaret sejak SMA itu, bukan berarti dia sudah langsung bisa menikmati jajanan yang di masa kecilnya tidak terbeli. Kala itu, jajanan-jajanan tersebut masih hanya masuk dalam wish list Syarof.
Lalu akhirnya Syarof lulus SMA dan mulai bekerja dari kota ke kota. Setiap pulang kampung, Syarof tak luput menyisihkan uang untuk mengajak adiknya ke Indomaret.
Membiarkan adiknya bebas memilih jajanan apa yang dia inginkan. Dari cokelat hingga es krim.
“Adikku kan juga sama sepertiku di masa kecil. Indomaret itu cuma untuk orang-orang kaya. Jadi pas kuajak ke sana, dia kelihatan melongo. Takjub. Lama sekali muter-muter dari satu rak ke rak lain. Dari satu kulkas ke kulkas lain,” tutur Syarof.
“Pas dia ambil apa terus kubelikan, matanya berbinar, seneng,” sambungnya.
Syarof pun juga senang belaka, karena bisa membayar lunas ketidakberuntungan masa kecilnya perihal Indomaret dengan cara mengajak adiknya masuk ke sana, tanpa harus menunggu masa SMA di kota.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Halaman dan Parkiran Indomaret Menguji Kesabaran, Isinya 4 Hal Menyebalkan sekaligus Merepotkan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan