Belakangan, tak sedikit dari driver ojek online (ojol) yang memiliki lebih dari satu akun aplikasi. Sebenarnya, beberapa perusahaan ojol telah melarang para driver-nya menginstall satu aplikasi di perangkat yang sama.
Namun, beberapa orang tetap punya cara untuk mengakalinya. Hal ini dilakukan karena punya lebih dari satu akun di aplikasi yang berbeda, mempermudah para driver mendapatkan orderan.
Jika cuma mengandalkan penghasilan dari satu aplikasi saja, banyak driver mengaku tak cukup untuk menyambung hidup.
Dulu ojol menjanjikan, kini bikin mengkis-mengkis
Bagus, bukan nama sebenarnya, sudah menjadi driver ojol sejak 2017. Saat itu adalah masa-masa bakar duit bagi beberapa perusahaan ojol. Alhasil, pendapatan dan bonus yang didapatkan Bagus amat fantastis kala itu.
“Sehari 200-300 ribu bersih aja dapat. Sampai saya mutusin resign kerja dan nelateni kerja jadi driver ojol,” ungkap Bagus, yang Mojok temui di sebuah angkringan di Condongcatur, Senin (27/1/2025).
Dari hasil ngojol, Bagus bahkan bisa nabung. Uang hasil tabungan itu ia gunakan untuk menikahi perempuan yang kini menjadi istrinya.
Sayangnya, kini kondisinya berbeda 180 derajat. Jangankan dapat Rp200-300 sehari, sekadar buat menutup uang makan, rokok, dan ongkos bensin pun mengkis-mengkis.
Dalam beberapa bulan terakhir, Bagus cuma mendapatkan uang Rp30-50 ribu untuk dibawa pulang. Baginya yang kini harus menghidupi istri dan seorang putri balita, tentu angka ini jauh dari kata cukup.
Sistem yang makin mencekik para driver ojol
Bagus mengaku, akun miliknya berada di level basic alias paling bawah. Persentasenya mendapatkan orderan lebih jarang ketimbang driver ojol level silver, gold, bahkan platinum.
“Buat dapat 10 orderan kudu ngebid (online, mangkal) sore sampai dini hari. Lebih 10 jam. Apalagi musim hujan gini, makin sepi,” curhatnya.
Belum lagi, biaya aplikasi yang dibebankan oleh aplikator kepada driver ojol semakin besar. Ia mengaku, paling tidak 30 persen pendapatannya masuk ke pihak aplikasi. Padahal, saat awal-awal narik, biaya aplikasi maksimal yang Bagus keluarkan mentok 20 persen.
“Artinya begini, ada orderan 5 kilometer, tarifnya Rp20 ribu. Berarti kami cuma dapat Rp12-14 ribu. Kecil banget,” kata Bagus.
“Makanya saya lebih suka dapat orderan jarak pendek, 2-3 kiloan tapi sering daripada jarak jauh tapi jarang. Rugi di bensin,” jelasnya.
Terpaksa pakai lebih dari satu akun di aplikasi yang berbeda
Kondisi serupa juga dialami Wahid (24), driver ojol yang Mojok temui di malam yang sama dengan Bagus. Menurut Wahid, tarif aplikasi sekarang juga makin mahal. Imbasnya, orderan yang masuk pun masih sepi.
Kalau biasanya dalam waktu tujuh jam saja Wahid bisa menyelesaikan 15 orderan, kini dapat 10 saja sudah syukur.
“Pelanggan kan pasti cari yang murah. Makanya nggak sedikit yang kabur ke aplikasi lain. Jadi sepi deh,” ungkapnya, Senin (27/1/2025).
Untuk mengakali hal tersebut, Wahid pun terpaksa mendaftar akun di aplikasi lain. Bahkan, saat ini ia narik ojol di tiga aplikasi berbeda melalui dua ponselnya.
“Kalau yang ‘kuning ini’ (nama aplikasi), baru-baru ini daftar. Nggak sering dapat, sih, tapi hasilnya lumayan karena potongan nggak nyampai 15 persen,” kata Wahid.
Ia menjelaskan, dengan punya tiga akun driver ojol, paling tidak penghasilannya bisa lebih banyak ketimbang cuma punya satu. Misalnya, ia mencontohkan, dengan punya tiga akun prioritas penghasilannya bisa dibagi.
“Misalnya akun satu kita fokus ngejar 10 orderan buat penghasilan dibawa pulang. Sisanya di akun lain buat ganjel-genjel aja, makan sama bensin.”
Cara “membagi waktu” para driver ojol
Punya tiga akun di tiga aplikasi berbeda ada plus minusnya. Di satu sisi, penghasilan Wahid memang lebih banyak. Tapi di sisi lain, ia cukup kebingungan membagi waktu ketika ada orderan yang masuk secara mepet-mepet. Apalagi kalau barengan.
“Terpaksa harus ada yang di-cancel dan itu pengaruh banget buat performa akun kita,” jelasnya.
Untuk mengatasi hal itu, Wahid kadang mengakali dengan cara “menyerahkan” orderan tersebut ke temannya yang sedang “nganggur”. Biasanya, bagi hasilnya sesuai kesepakatan saja.
“Kesepakatannya beda-beda. Kadang yaudah ambil aja semua hasilnya, dapat Rp10 ribu ya buat dia semua, demi ngejar rating aja. Atau bisa juga sistem rolling, Mas. Kalau teman saya yang dapat gitu, saya yang gantian ambil.”
Inilah mengapa di jok motornya Wahid ada tiga jaket dari tiga perusahaan ojol yang berbeda. Katanya, buat ganti-gantian kalau ada orderan masuk.
“Tapi kadang yang namanya SOP kadang tabrak aja, Mas. Pas nganter peumpang pakai aplikasi ijo, tapi jaket saya kuning. Itu sering. Penumpang nggak komplain kok,” tawanya.
Bisa terjadi karena adanya sistem gamifikasi
Peneliti Institut Pemerintahan dan Urusan Publik FISIP UGM, Arif Novianto, menyebut bahwa fenomena “satu driver ojol tiga jaket” bisa terjadi karena adanya sistem gamifikasi. Ia menjelaskan, aplikasi memperlakukan sistem kerja para driver ojol laiknya bermain game.
“Akun yang lebih banyak memperoleh order, akan lebih lancar diberikan orderan oleh operator. Poinnya pun meningkat dan potensi naik level juga besar,” jelas Arif.
Pendeknya, akun driver ojol dengan level tertinggi–yang diberikan via rating penumpang–cenderung diprioritaskan mendapat konsumen. Dan sialnya, driver ojol yang nilainya rendah, bakal sepi orderan selama berjam-jam.
Bagi Arif, dalam konteks ketenagakerjaan, ini tak manusiawi. Sebab, sistem ini sangat mungkin mendepolitisasi para driver ojol. Saat mereka tidak mendapatkan pendapatan besar, yang disalahkan adalah driver karena dianggap tak bekerja keras. Sementara aplikasi bisa cuci tangan–seolah tak bersalah.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Pengalaman Pahit Saya Mencoba Jasa Teman Nongkrong di Zendo (Ojol Muhammadiyah) atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.