Bagi sebagian warga desa, pengalaman pertama nongkrong di kafe adalah sesuatu yang menegangkan. Mereka bahkan sampai melakukan banyak cara agar tak terlihat kampungan, meski jatuhnya malah bikin malu diri sendiri.
***
Memang, bagi warga perkotaan, nongkrong di kafe bukan sesuatu yang spesial–kalau tak mau dibilang sudah menjadi keseharian. Apalagi bagi mahasiswa yang kuliah di Jogja, kafe ibarat rumah ketiga mereka setelah kos-kosan dan kampus.
Namun, bagi Fidel (21), kafe adalah tempat yang asing. Perempuan yang berasal dari salah satu desa di Wonogiri ini mengaku, selama 20 tahun hidup, ia belum pernah main ke tempat bernama “kafe”.
Alasannya sederhana. Yakni, karena dia tinggal di desa pelosok. Buat mencapai ke pusat kota Wonogiri, yang banyak berdiri kafe-kafe kekinian, butuh waktu sekitar 2 jam perjalanan.
Sementara di sekitar desanya, memang banyak berdiri tempat nongkrong laiknya kafe. Namun, itu cuma warung kopi biasa. Bukan tipe kafe yang ia kerap saksikan di FYP TikTok.
“Selain di tempatku nggak ada kafe, kalaupun ada niat mau nongkrong. Duitnya nggak ada sih. Waktu itu masih miskin. Hahaha,” kelakar Fidel, saat Mojok wawancarai Kamis (15/8/2024) malam.
Pada 2020 lalu, Fidel diterima kuliah di salah satu PTN di Jogja. Namun, karena masih pandemi Covid-19, ia terpaksa menjalani perkuliahan daring selama 2 tahun lamanya.
Akhirnya, pada awal 2022, Fidel memutuskan ngekos di Jogja. Pada tahun tersebut juga lah kesempatannya buat nongkrong di kafe, seperti yang ia harapkan selama ini, tiba.
Malu setengah mati karena pesan espresso di kafe
Berbeda dari tempat asalnya yang minim keberadaan kafe. Di Jogja, tempat nongkrong kekinian sangat mudah dijumpai. Nyaris tiap 100 meter Fidel berjalan, pasti ia menemukan kafe.
Ada pepatah menyebut, datang ke Jogja tak lengkap rasanya kalau belum berkunjung ke Malioboro. Tapi bagi Fidel, kafe adalah tempat nongkrong yang wajib ia datangi pertama saat tiba di kota pendidikan itu.
Mengingat belum punya banyak teman yang bisa diajak nongkrong, ia pun memutuskan pergi ke kafe sendirian. Ia memilih salah satu kafe di kawasan Seturan, dekat kosnya, sebagai tempat nugas sekaligus nongkrong.
Tapi, yang namanya asing, menu-menu yang ada di kafe tersebut juga tak familiar baginya. “Dulu aku tahunya ya menu-menu yang umum aja. Sisanya kayak americano itu apa, espresso itu apa, sama sekali asing,” ungkapnya.
Fidel mengaku, karena ingin terlihat tidak kampungan, ia memesan espresso. Selain karena paling murah, hanya Rp12 ribu, ia mengira kalau kopi ini bakal se-estetik namanya.
“Tapi waktu dateng cuma kopi gelas kecil banget, mana pahit,” kata Fidel, menceritakan kisahnya itu sambil tertawa. “Malu banget aku, kayaknya barista juga tahu kalau aku baru pertama ke kafe.”
Memesan menu yang mahal-mahal karena panik saat di antrean
Kalau Fidel punya pengalaman memalukan karena asing dengan menu di kafe, kisah berbeda dialami Yuda (26). Meski kejadiannya sudah lewat 7 tahun lalu, lelaki asal Cirebon ini mengaku rasa malunya masih membekas.
Yuda sendiri merupakan seorang santri yang melanjutkan kuliah S1 (sekarang S2) di Jogja. Sepanjang hidupnya sebelum kuliah, ia belum pernah merasakan nongkrong di kafe.
“Namanya aja santri. Sejak SMP sampai SMA mondok, jadi hidupnya ya di pondok aja,” jelasnya saat ditanyai Mojok, Kamis (15/8/2024).
Alhasil, saat pertama kali kuliah di Jogja pada 2017, ia mendapat pengalaman absurd bin bikin malu yang saat ini masih ia ingat betul.
Ceritanya, Yuda bersama teman-teman kelasnya memutuskan mengerjakan tugas kelompok di salah satu kafe kawasan Jalan Kaliurang.
“Itu pengalaman pertama. Jujur rada jujur, karena takut kelihatan kampungan belum pernah nongkrong di tempat kayak begituan,” ujarnya.
Ternyata, Yuda datang paling awal di kafe tersebut. Teman-temannya ngaret. Mau tak mau, Yuda harus me-marking tempat dengan cara memesan menu.
Namun, karena itu pengalaman pertama, Yuda mengaku tak tahu cara memesan. Ia memperhatikan orang-orang yang datang, ikut mengantre, dan “belajar” caranya memesan menu.
“Pas waktuku tiba, nggak tahu kenapa rasanya panik. Pas lihat antrean panjang banget makin panik, takut dikira bikin lama,” ujarnya, menahan tawa.
“Yaudah aku pesan aja beberapa menu yang kelihatan di papan menu atas, asal sebut aja. Sialan, ternyata pesanan mahal semua, total 80 ribuan.”
Kisah absurd Yuda ini kini menjadi “cerita rakyat” di tongkrongannya. Sampai sekarang, bahkan masih dipakai sebagai guyonan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News